Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tentang Skandal Empat Zaman

Dihantam serangan balik, Tempo berupaya tak lelah menjalankan jurnalisme investigasi. Tidak pernah dibayangkan para pendirinya.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA kesulitan terberat jurnalisme investigatif: ancaman fisik, gugatan hukum, atau bahkan pembredelan? Pengantar Laporan Utama majalah Tempo edisi 20 Januari 1973 memberi jawaban: ”Banyak yang dapat diketahui, tapi sedikit yang bisa dikemukakan.”

Laporan Utama edisi itu mengungkap skandal impor 290 mobil mewah sepanjang 1969-1971, yang melibatkan pengusaha Robby Tjahjadi. Mendirikan perusahaan dengan hanya tiga pegawai, termasuk dirinya, Robby menyuap aparat Bea-Cukai, tentara, dan polisi buat memuluskan kejahatannya. Mereka memalsukan aneka dokumen, termasuk paspor dan surat-surat kendaraan.

Badan Koordinasi Intelijen Negara membongkar jaringan Robby. Ketika edisi itu disiapkan, sang pengusaha sedang diadili. Koran-koran rajin memberitakannya—walau sepotong-sepotong. Agar memperoleh bahan lebih, wartawan Tempo George Junus Aditjondro merunut kembali aneka dokumen, mewawancarai sumber dari pelbagai lembaga, menemui kalangan dekat Robby, juga mereportase Pelabuhan Tanjung Priok.

Dari bahan-bahan itu tersusun Laporan Utama berjudul ”Hukuman Mati buat Robby Tjahjadi?”. Setelah melakukan liputan investigatif, Tempo menyimpulkan, ”Banyak prasangka yang hidup di masyarakat, ternyata tidak seluruhnya punya dasar kuat”. Sebaliknya, Tempo menemukan sejumlah hal yang tidak muncul di pengadilan. Antara lain adanya penyelundup kakap, seorang petinggi militer, yang telah menyelundupkan ribuan mobil.

Kurang dari dua tahun setelah diterbitkan, majalah ini telah memiliki model jurnalisme sendiri, yakni ”seni mengemukakan yang sebenarnya”. Rubrik Forum Kita pada edisi Robby Tjahjadi itu juga menekankan jurnalisme yang ”tak patut mengharapkan tepuk tangan, sementara tak ingin menerima tinju kemarahan”.

Pada penerbitan selanjutnya, Tempo menyelidiki karut-marut Bea-Cukai. Aditjondro, kini peneliti masalah korupsi, pada Juli 1973 begadang siang-malam memelototi proses bongkar-muat barang di Priok. Dari ”kerja lembur” itu, ia menemukan 26 pintu siluman buat penyelundupan. Pada artikel berjudul ”Kisah 26 Terowongan”, tertulis: ”Berbagai kisah nyata tentang congtipu, uang semir, cak-kopi, selundup, dan biaya siluman yang bisa bergeser dari meja verifikasi ke balik WC masih saja terjadi.”

Tiga tahun kemudian, wartawan Tempo Fikri Jufri membongkar skandal keuangan perusahaan minyak negara, Pertamina. Seusai serah-terima jabatan Direktur Utama Pertamina, dari Ibnu Sutowo ke Piet Haryono, pada Maret 1976, Fikri menemukan data jumlah utang perusahaan yang sudah mencapai US$ 10 miliar. Pertamina di ambang bangkrut.

Menemui sejumlah pejabat penting—termasuk Menteri Pertambangan M. Sadli yang didatangi di rumahnya ketika masih bersarung—Fikri mengumpulkan bahan-bahan. Hasilnya laporan panjang berjudul ”Pertamina: Menduga Dalamnya Sumur”. Di situ diungkapkan kesalahan-kesalahan bisnis Ibnu Sutowo, yang antara lain membeli sejumlah kapal tanker.

Bahkan, setelah dibunuh oleh Presiden Soeharto pada 1994 karena liputan investigasi kapal perang bekas Jerman Timur, Tempo tak membelokkan langkah. Ketika terbit kembali, empat tahun kemudian—setelah kejatuhan Soeharto—Tempo tetap mengibarkan bendera investigasi. Berita utama edisi perdana 1998 mengangkat isu pemerkosaan perempuan Tionghoa pada kerusuhan yang membakar Jakarta, Mei 1998.

Banyak orang ragu benar-tidaknya cerita kontroversial itu. Apalagi tim relawan mencatat ada 168 kasus pemerkosaan. Tempo menelusuri banyak informasi. Hasilnya, angka yang disebut tim relawan mungkin meleset. Tapi Tempo menemukan sejumlah perempuan yang dipaksa sekelompok orang secara seksual.

Kini, 40 tahun setelah diterbitkan, Tempo menghasilkan investigasi yang merentang sangat luas: dari megakorupsi sampai aborsi, dari penyelundupan sampai penggelapan pajak, dari pembunuhan aktivis sampai penyelewengan dana haji. Awak redaksi selalu berganti-ganti, tapi mereka selalu menghasilkan ”seni mengemukakan yang sebenarnya”.

Pertanyaannya, apakah para pendiri sejak awal telah membayangkan Tempo sebagai majalah investigatif. ”Tidak,” kata Goenawan Mohamad. Awalnya, kata dia, majalah ini dirancang hanya untuk ”menulis sesuatu yang berbeda dengan koran-koran”. Berkiblat kepada majalah Time, para pendiri merancang agar Tempo menulis ”cerita di balik berita”.

Fikri Jufri mengatakan cara kerja investigatif berkembang dari waktu ke waktu. ”Dulu, kalau ada yang perlu dikejar, ya dikejar.”

Dibayangkan dari awal atau tidak, pilihan jurnalisme investigasi ini sering mendatangkan serangan balik. Pada zaman Orde Baru, serangan berupa surat teguran sampai pembredelan. Ketika kemudian terbit kembali, tantangannya berbeda. Serangan paling ”lembut”: gugatan hukum dari obyek tulisan. Tulisan tentang kebakaran Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan skandal pajak Asian Agri, misalnya, membawa rentetan gugatan ke meja hijau—walau hasilnya sebagian besar dimenangi Tempo.

Dari fitrahnya, jurnalisme investigasi memang membawa banyak risiko dibandingkan dengan ”jurnalisme biasa”. Mulai ancaman, teror, intimidasi yang dihadapi para wartawan ataupun lembaganya, sampai tuntutan hukum yang bisa membuat gulung tikar sebuah media. Aneka serangan itu dimaksudkan agar menimbulkan rasa jeri—dikenal sebagai chilling effect—media massa yang menjalankan praktek investigasi.

Masih segar dalam ingatan, molotov yang dilempar ke kantor Redaksi Majalah Tempo, tahun lalu. Ketika itu, majalah ini menulis rekening-rekening mencurigakan milik sejumlah perwira tinggi kepolisian. Memajang sampul dengan judul ”Rekening Gendut Perwira Polisi”, majalah edisi ini lenyap diborong orang pada pagi buta.

Tugas pers adalah melacak, mencatat, dan menyebarluaskannya kepada masyarakat—demikian tertulis dalam pengantar buku kumpulan investigasi Tempo (1999). Selanjutnya, aparat hukumlah yang diharapkan bergerak. Dalam hal ini, Tempo konsisten menjalankan jurnalisme yang ”tak patut mengharapkan tepuk tangan dan tak ingin menerima tinju kemarahan”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus