Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Satu Rona Banyak Cerita

Racikan warna alami menggunakan kulit jengkol, kayu pohon mangga, hingga kulit rambutan. Ada yang memanfaatkan bambu serupa ujung kuas.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IIM Rohimah sempat kecewa lantaran tak mendapatkan restu orang tua untuk bekerja di Timur Tengah. Bapaknya melarang Iim merantau menjadi buruh migran. Ia hanya diperbolehkan membantu ibunya membatik di kampung. Padahal beberapa kawan sebayanya pergi ke Arab Saudi, lalu pulang membawa uang untuk membangun rumah. ”Yang mau membatik cuma orang-orang tua dan yang tidak jadi TKI seperti saya,” kata Iim saat ditemui pada pertengahan September lalu.

Keputusan itu kini berbuah manis. Bersama beberapa warga Kampung Kebon Gedang Ciwaringin, Kecamatan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, Iim berhasil mengembangkan desa ini menjadi sentra batik tulis pewarna alami dalam delapan tahun terakhir. Hampir setiap keluarga di 75 rumah Kampung Kebon Gedang memiliki usaha batik.

Kampung yang terletak 22 kilometer dari Balai Kota Cirebon ini tak seredup saat ditinggalkan para pemudanya merantau ke Timur Tengah. Pada 2010, Desa Ciwaringin mendapat dana hibah dari Dinas Koperasi Cirebon Rp 15 juta untuk modal usaha 20 pembatik. Iim dan para pembatik lain memanfaatkan dana itu untuk membeli bahan baku.

Pada 2011, pembatik Ciwaringin kembali menerima bantuan sosial kemasyarakatan dari PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk. Saat itulah pembatik Ciwaringin mendapat pembinaan untuk menghasilkan batik dengan pewarna alami.

Sawana, ibunda Iim, mengatakan banyak pembatik Ciwaringin yang dulu menggunakan pewarna alami dari kulit pohon mangga dan rambutan. Tradisi ini tak bertahan lantaran mereka kesulitan mencari bahan baku. Akibatnya, proses produksi makin lama. Pembatik kemudian banyak beralih menggunakan pewarna sintetis.

Setelah mendapat pembinaan, pembatik Ciwaringin tumbuh bergairah. Mereka membentuk kelompok usaha kerja menengah. Pada 2013, mereka mendirikan Koperasi Anugerah Batik, yang berperan menyediakan bahan baku dari pewarna alami, canting, hingga ruang pajang pemasaran. Koperasi yang beranggotakan 84 orang itu pernah memperoleh keuntungan Rp 40 juta pada 2015.

Ketua Rukun Tetangga 06, Kampung Kebon Gedang, Abdul Qodir, mengatakan lebih dari 30 persen penduduk yang dulu menjadi tenaga kerja Indonesia kini telah kembali dan menjadi pembatik. Farhan Jazuli, misalnya. Laki-laki 43 tahun yang dulu merantau ke Arab Saudi ini kini lebih senang menghasilkan batik khas Ciwaringin dengan teknik coletan di halaman rumahnya. Saat ditemui, Farhan sedang menyapukan kuas bercat kuning yang dihasilkan dari rendaman kayu pohon mangga dan warna oranye cerah dari kayu tegeran. ”Ini pelapisan yang keenam, supaya warnanya makin pekat dan tahan lama,” ucap Farhan.

Adapun bahan pewarna alami yang sering digunakan pembatik Ciwaringin adalah daun indigovera untuk menghasilkan warna biru, kulit kayu pohon mangga untuk warna kuning, dan kayu tegeran untuk warna oranye. Ada pula akar pohon mengkudu untuk warna merah cerah serta beberapa bahan lain, seperti rambutan, manggis, dan kayu mahoni.

Pada Mei lalu, Koperasi Anugerah Batik mematenkan enam motif batik khas Ciwaringin, yaitu pecutan, rajeg wesi, gribigan, yusupan, tebu sekeret, dan manggaran. Selain beberapa motif itu, Masroh, perajin batik 66 tahun, lebih suka membuat motif tiga negeri, yang polanya ia gambar langsung dengan canting di atas mori. Dengan berkembangnya batik khas Ciwaringin, Masroh kini bisa mengantongi sedikitnya Rp 60 ribu untuk sepotong kain.

Batik tanah liek yang terinspirasi dari motif kain yang dipakai para bundo kanduang dan datuk (pemuka adat) Minang. -TEMPO/Febrianti

Teknik pewarnaan membatik juga dipelajari warga Toraja, Sulawesi Selatan. Mereka memiliki kain sarita, yang biasa dipakai dalam perayaan kematian. Bagi warga Toraja, sarita adalah bagian dari kehidupan mereka. Kendati dibuat dengan teknik cetak, sarita memiliki berbagai makna doa. Budayawan dan peneliti simbol Toraja, R. D. Yans Sulo Paganna, menjelaskan, salah satu simbol pada sarita adalah passora, deretan garis yang membentuk segitiga lancip. ”Simbol ini adalah tanda hormat tertinggi manusia kepada Ilahi,” ujarnya.

Peneliti batik William Kwan mengatakan, selain sarita, ada kain ma’a atau mawa, yang memiliki motif deret lingkaran (pakara), yang berarti cinta kepada Tuhan. Sementara mawa konon berasal dari India, sarita--menurut sejumlah literatur--sebenarnya adalah kain batik. Namun batik Toraja ini berbeda dari yang ada di Jawa. ”Kami menduga motifnya dibuat tidak dengan canting, tapi bambu yang ujungnya diruncingkan,” katanya.

Tak banyak warga Toraja yang memahami bahwa sarita sejatinya adalah batik. Abed Nego, pendiri Kelompok Batik Tonga, yang pernah belajar membatik dari perajin Solo, kemudian mengeksplorasi penggunaan bambu yang ujungnya dipukul hingga pipih menyerupai ujung kuas, mirip alat yang dipakai pengukir untuk mewarnai kayu. Hasilnya, menurut Abed, menyerupai goresan pada sarita lawas. Dari pelatihan pula Abed belajar membuat motif pada dua sisi kain batik.

Di Padang, Wirda Hanim, 66 tahun, turut merevitalisasi batik tanah liek yang dibuat dengan rebusan tanah liat. Batik ini terinspirasi dari motif kain yang dipakai para bundo kanduang dan datuk (pemuka adat) Minang. Perempuan mengenakannya di pundak menutupi dada. Para datuk memakainya sebagai pengikat kepala. ”Para tetua bilang mendapatkan kain warisan itu dari Cina,” ujarnya.

Penasaran saat menemukan kain-kain batik liek di Nagari Pariangan, daerah tertua di Tanah Datar, Wirda kemudian belajar membuat warna tanah liat dari bahan kimia. Hasilnya lumayan. Bahkan ia mulai berani menjual batik tanah liek yang diwarnai dengan bahan sintetis.

Tak puas, Wirda beberapa kali melakukan riset pewarnaan batik di Yogyakarta. Sepulang dari sana, ia memperoleh formula baru. Dia mencampurkan tanah liat dengan tawas untuk mendapatkan warna dasar kain yang indah. Sedangkan untuk pewarnaannya, Wirda memanfaatkan kulit rambutan, kulit jengkol, dan kulit bawang. William Kwan mengatakan kain batik liek yang dipakai datuk di Minang memiliki kemiripan warna dan motif dengan kain lokcan di Pati, Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus