Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BATIK tulis yang ia bentangkan diperkirakan berumur lebih dari seratus tahun. Namun warna merah marun dan biru tua pada mori itu tampak pekat, tak luntur termakan usia. Motifnya dilukis pada dua sisi kain sehingga bisa dipakai bolak-balik. “Karena sudah kepaten obor (patennya), kami tinggal melestarikannya,” kata Masnedi saat ditemui medio September lalu. Warna kain dibuat dari bahan alami, yaitu akar pohon mengkudu dan Indigofera.
Masnedi mendapatkan koleksi kain tua ini dari sesepuhnya saat ia menikah pada 1973. Ia berhenti kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung, lantaran Masina memintanya menekuni bisnis batik keluarga.
Masnedi -TEMPO/M Taufan Rengganis
Masnedi lalu membuka toko pajang. Ia juga memberi pelatihan bagi para perajin batik tulis. Saat itu, bapaknya tak melarang dia berinovasi dan berbagi ilmu tentang batik, asalkan tak menerangkan perihal filosofi batik. Masina khawatir penjelasan yang keliru akan merusak proses dan pemaknaan batik.
Masina muda memang tak asal-asalan mengangkat batik Trusmi sebagai kekayaan budaya Cirebon. Sekitar 1953, Masina menjadi pengurus Gabungan Koperasi Batik Indonesia di Jakarta. Ia pernah menerima pesanan 40 kodi batik tulis dari seorang pejabat Cirebon. Padahal saat itu dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk memproduksi selembar batik. Masina pulang kampung dan mengajak para pengobeng Trusmi mengerjakan pesanan itu.
Di Trusmi, Masina juga menjadi salah satu pendiri Koperasi Batik Budi Tresna. Gedung koperasi terletak sekitar 300 meter dari rumah Masina. Saat itu, koperasi berfungsi sebagai pemasok utama bahan baku dan pemasaran. Anggota koperasi ini tak hanya para perajin Trusmi, tapi juga pembatik asal Desa Ciwaringin, yang terletak sekitar 17 kilometer dari sentra batik tersebut.
Dulu, mayoritas pembatik Trusmi dan Ciwaringin juga memproduksi pesanan Keraton Kanoman, Cirebon. Ratu Raja Arimbi Nurtina, Sekretaris Kesultanan Kanoman, mengatakan keraton juga memiliki tradisi membatik di lingkungan istana, yang disebut lingsir. Pada 1950, Pemerintah Kota Cirebon mengira tradisi keraton memproduksi batik itu untuk tujuan komersial.
Pemerintah mewajibkan keraton membayar pajak atas produksi tersebut. Padahal tak ada satu pun batik yang dijual ke luar keraton. Dalam setahun, mereka menggelar 13 upacara resmi dengan busana wajib batik khas keraton. “Akhirnya banyak perajin pulang kampung dan berkembang di desa masing-masing,” ujar Arimbi.
Saat itu, motif seperti naga uta-uta, taman arum, dan sunyaragi hanya digunakan oleh raja dan kerabat keraton. Warnanya cenderung cokelat atau kekuningan. Para pembatik di Trusmi, termasuk Masina, kemudian mengembangkan motif pesisir yang terinspirasi alam, seperti dara tarung, pucang kanginan, dan megamendung. “Megamendung jadi satu-satunya batik Cirebon yang berwarna selain cokelat-kuning saat itu,” ucap Masnedi. Batik Cirebon terlihat selalu memiliki motif wadasan atau batu karang, seperti yang terdapat pada dua kereta kencana keraton: Jempana dan Paksi Naga Liman.
Meski mulai kesulitan mencari perajin di Trusmi, Masnedi tetap melayani pesanan batik tulis. Selain Masnedi, tujuh adiknya terjun ke bisnis serupa. Kini Masnedi lebih sering menerima pesanan batik motif modern dari pelanggan asal Jepang. Dalam setahun, Masnedi bisa menjual 20 potong batik tulis kontemporer kepada pelanggan dari Negeri Matahari Terbit itu dengan harga Rp 2-20 juta per potong.
Masnedi memang tak lagi sering memproduksi batik motif Cirebon dengan pewarna alami. Namun ia menjaga betul tradisi keluarga Masina. “Kami selalu membuat batik dua sisi yang sama halusnya,” tuturrnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo