Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dari Rumus Menjadi Motif

Anak muda Bandung menciptakan perangkat lunak untuk mendesain motif batik. Dipesan Twitter dan Google.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN dengan Nancy Margried enam tahun lalu menjadi titik balik usaha batik Wahid Al Amin. Waktu itu Nancy sedang berbelanja batik di toko Wahid di Desa Pilang, Sragen, Jawa Tengah. Sambil lalu Nancy menawari Wahid menjajal jBatik, software yang ia buat bersama dua rekannya, Yun Hariadi dan Muhamad Lukman.

Saat itu, perangkat lunak tersebut menyimpan ratusan desain motif batik yang bisa disesuaikan dengan selera pembatik. Pola itu bisa langsung dicetak pada kertas plano untuk dijiplakkan ke kain putih. “Proses menggambar yang biasanya sampai empat hari bisa dihemat menjadi lima jam,” ujar Wahid, Senin pekan lalu.

Wahid tertarik menjajal tawaran Nancy. Sebelumnya, usaha Batik Abimanyu yang didirikan Wahid pada 2008 bertumpu pada kemahiran tangan. Wahid menggambar pola motif batik secara manual pada selembar kain menggunakan pensil. Tahap ini biasanya paling menyita waktu. Setelah itu, barulah kain dilukis dengan canting sehingga menjadi batik tulis.

Tak hanya memudahkan menggambar batik tulis, jBatik juga bisa digunakan untuk membuat batik cap. Wahid pernah membawa berkas desain ke salah satu perajin batik cap di Solo, Jawa Tengah. Menurut dia, hasil desain dari program jBatik di komputer sudah kompatibel dengan mesin cap.

Aplikasi jBatik membantu menghemat biaya produksi. Sebelum akrab dengan teknologi tersebut, Wahid harus membeli sketsa dari desainer batik yang dihargai sedikitnya Rp 500 ribu per lembar. Sedangkan jBatik, meski aplikasi berbayar, rutin memperbarui variasi motif sehingga ongkosnya jauh lebih murah.

Program jBatik tercetus ketika Muhamad Lukman mengikuti sayembara arsitektur di Thailand pada 2007. Lukman, lulusan program magister arsitektur Institut Teknologi Bandung, merancang desain Tsunami Memorial Park di Phuket dengan rumus fraktal. Rancang bangun tugu tsunami itu berbentuk geometri yang rumit tapi menawan.

Fraktal adalah cabang ilmu matematika yang meneliti proses pengulangan dan kesamaan karakter. Proses itu biasanya bermula dari suatu kondisi tak beraturan yang lama-kelamaan membentuk keteraturan.

Nancy melihat peluang pada inovasi Lukman. Dari desain bangunan yang dirancang Lukman, ia samar-samar melihat pola seperti motif pada kain batik. “Jangan-jangan batik bisa dibuat dari rumus matematika,” ucap Nancy.

Untuk menjawab rasa penasaran tersebut, Lukman dan Nancy mengajak Yun Hariadi, pakar matematika dari ITB, berkolaborasi. Ketiganya kebetulan tinggal di Bandung. Mereka kemudian mengumpulkan lebih dari 300 motif batik tradisional di seluruh Indonesia. Yun bertugas meneliti unsur fraktal dalam pola-pola batik tersebut.

Yun bisa memastikan sebagian motif memenuhi kaidah matematika hanya dengan melihat. Tapi ia harus membuktikan motif-motif tersebut punya unsur fraktal lewat kalkulasi matematika yang rumit.

Yun menemukan fraktal pada isen, motif besar yang diisi corak-corak lebih kecil. Pada kain batik tradisional yang mereka kumpulkan, Yun mendapati pengulangan bentuk motif besar dan kecil tersebut. Tak jarang dia harus menghitung pengulangan motif batik dengan rumus fraktal dan mencermati statistiknya. “Motif batik dihitung dengan hasil bilangan pecahan yang secara matematis bisa disebut fraktal,” katanya.

Bilangan pecahan itu mewakili jenis penggambaran. Bilangan 3 untuk ruang atau dimensi, 2 untuk bidang, dan 1 untuk titik. Riset Yun menemukan pola batik Yogyakarta dan Solo memiliki bilangan 1,5. Adapun batik pesisir seperti Cirebon bilangan fraktalnya 2. “Makin tinggi bilangan fraktal, bisa dikatakan motifnya makin dinamis,” ucapnya.

Setelah Yun yakin bahwa corak batik bisa dihitung dengan rumus fraktal, mereka membuat perangkat lunak. Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (USAID) tertarik pada inovasi trio Nancy, Lukman, dan Yun. USAID memberikan modal Rp 250 juta untuk mengembangkan software tersebut. Kini, aplikasi yang dinamai jBatik itu dihargai Rp 300 ribu dengan keuntungan pembaruan motif secara berkala bagi pengguna.

Motif batik Fractal. -TEMPO/Prima Mulia

Dalam pengoperasian jBatik, perancang mula-mula memasukkan rumus fraktal. Begitu rumus dimasukkan, aplikasi langsung menyajikan citra garis, kotak, dan lingkaran. Citra itu kemudian dipadukan menjadi pola-pola batik, seperti kawung atau parang.

Pengguna jBatik tak harus ahli matematika. Yun Hariadi dan tim pengembang aplikasi sudah memasukkan motif siap pakai pada galeri pola. Perancang tinggal memilih corak yang diinginkan, lalu memodifikasinya dengan rumus fraktal sederhana.

Cara kerja kedua agak pelik. Desainer harus mengoperasikan rumus fraktal sejak awal. Rumus-rumus itu tersedia di aplikasi. Metode ini biasanya dipakai untuk membuat obyek gambar yang lebih rumit, seperti motif gurdo alias burung garuda.

Desainer awam tak perlu khawatir gagal merancang pola batik dengan rumus fraktal. Muhamad Lukman membuat program kursus yang bisa diikuti siapa pun yang ingin belajar membatik lewat jBatik. “Kami juga jemput bola dengan mengadakan pelatihan software di kampus dan sekolah,” ucapnya.

Sejak jBatik diluncurkan, sedikitnya 3.000 pembatik pernah mencoba dan berlatih membuat batik dengan rumus fraktal. Lukman dan kawan-kawan juga menjalin kemitraan dengan para pembatik sekaligus mengurasi karya mereka.

Selain menggaet pembatik, batik fraktal memiliki penggemar khusus. Menurut Nancy Margried, sejumlah perusahaan bonafide, seperti Facebook di Singapura, Google, dan Twitter, pernah memesan batik fraktal dari studio Piksel Indonesia yang didirikan Nancy, Lukman, dan Yun. Harga batik dengan motif eksklusif seperti yang dipesan ketiga perusahaan teknologi tersebut dipatok US$ 1.000 atau sekitar Rp 14 juta per desain. Adapun kain batik fraktal dengan teknik batik tulis dihargai Rp 3 juta per 2 meter.

Penggemar batik fraktal, Raden Aswin Rahadi, mengatakan software jBatik menciptakan pakem motif yang berbeda dengan batik pada umumnya. “Warnanya juga beragam sehingga konsumen punya banyak pilihan,” kata Aswin, yang mengaku punya hampir selusin baju batik fraktal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus