Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Diniyyah Puteri, pondok pesantren di Padang Panjang, berusia seabad.
Pernah menjadi tempat belajar dan mengajar HR Rasuna Said.
Melahirkan banyak santri terkenal.
SALAWAT bergema di Aula Zainuddin Labay El Yunusy, di antara gedung-gedung tempat belajar para santri Diniyyah Puteri, Padang Panjang, Sumatera Barat. Hari itu, Sabtu, 4 November lalu, adalah momen penting bagi segenap santri, pengajar, dan alumnus pesantren atau perguruan putri ini. Hari itu mereka memperingati seabad berdirinya Diniyyah Puteri Padang Panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribuan santri dan alumnus hadir dalam acara penting itu. Para tamu undangan memenuhi kursi-kursi. Di antara mereka terlihat mantan wakil presiden Jusuf Kalla, Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas, dan sastrawan Taufiq Ismail. Taufiq rupanya alumnus Diniyyah Puteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perhatian hadirin tersedot ketika sebuah robot berwarna putih mulai bergerak. Robot itu didandani dengan tengkuluk tanduk khas Minangkabau berwarna emas. Bagian bawahnya diselubungi kain putih seperti memakai rok. Diiringi nyanyian kelompok paduan suara, robot yang membawa pataka bendera bertulisan “Seabad Diniyyah” itu bergerak dan menyerahkan pataka bendera kepada pemimpin Perguruan Diniyyah Puteri, Fauziah Fauzan.
Fauziah kemudian menyerahkan bendera itu kepada kakak-adik Taufiq Ismail dan Rahmat Ismail. Keduanya mewakili ibu mereka, Siti M. Nur, santri generasi pertama Diniyyah. Sebagai balasannya, mereka menyerahkan arsip keluarga kepada Fauziah berupa foto para santri generasi pertama yang dibingkai kayu cokelat.
Tampak dalam foto itu adalah Rasuna Said, Siti M. Nur, dan kawan-kawannya. Hajah Rangkayo Rasuna Said pernah belajar dan beberapa tahun mengajar di Diniyyah sebelum akhirnya menjadi pahlawan nasional. Ada pula Tan Sri Aishah Gani, Menteri Kebajikan Masyarakat Malaysia 1974-1984. Alumnus lain adalah Emma Yohana, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan Nurhayati Subarkat, salah satu pengusaha sukses di bidang kosmetik.
Robot itu merupakan karya santri Diniyyah Puteri, buah program terobosan perguruan ini. Program yang dimulai pada 2017 tersebut diusulkan pimpinan pondok pesantren saat itu. “Saat itu program tersebut baru dijalankan dalam skala yang kecil. Bentuknya pun masih kecil,” ucap guru pelajaran robotik Diniyyah Puteri Padang Panjang, Syafmawandi.
Dari sana program itu dilanjutkan dengan pembuatan robot yang lebih besar pada 2020, yakni robot pramusaji. Ide awalnya tercipta karena pandemi Covid-19 yang menyerang Indonesia. Pihak pesantren merasa penting menciptakan robot pramusaji. Tujuannya adalah mengurangi interaksi antara koki dan santri yang ingin berbelanja. “Ibu pimpinan minta robot ini harus selesai pada 2021,” ujar Syafmawandi.
Kegiatan belajar-mengajar siswi Pondok Pesantren Dinniyah Puteri Padang Panjang di Sumatera Barat, Januari 2023. Tempo/Fachri Hamzah
Untuk menyelesaikan pembuata robot itu, dikerahkan 13 santri dengan tiga guru pendamping. Tak seperti di banyak pondok pesantren lain, pelajaran robotik sudah bukan hal asing bagi para santri Diniyyah Puteri Padang Panjang. Pelajaran robotik diajarkan di setiap tingkat pesantren itu.
Selain memiliki program robotik, Perguruan Diniyyah Puteri mempunyai program pendidikan lain. Kemajuan sistem pendidikan dan failitas fisik pendidikan, pada peringatan seabadnya, juga dipamerkan. Sistem pendidikan Diniyyah Puteri tak hanya mencakup kurikulum pendidikan agama yang mengkaji Al-Quran dan hadis, tapi juga sains, teknologi informasi, dan pengembangan sumber daya manusia. Para santri ini juga diberi bekal berkesenian, seperti teater, seni rupa, seni musik, dan tari. Keterampilan lain seperti desain fashion pun diajarkan. Perguruan ini juga mempunyai unit lembaga pelatihan yang bekerja sama dengan berbagai perusahaan di dalam dan luar negeri.
Jusuf Kalla dan Haedar Nashir turut memuji keberadaan Diniyyah Puteri yang telah berkiprah hingga seratus tahun lamanya. Diniyyah Puteri boleh dikatakan sebagai pesantren perempuan pertama di Asia Tenggara. “Begitu jauhnya perbedaan pandangan, 100 tahun yang lalu di tempat ini sudah didirikan sekolah khusus putri,” tutur Jusuf Kalla. “Pemikiran kita lebih maju dari Afganistan yang sampai hari ini masih tidak mengizinkan perempuan bersekolah.”
Senada dengan Jusuf Kalla, Haedar Nashir berharap pesantren ini mampu melahirkan santri yang berkualitas. “Semoga dari generasi ini lahir Aisyah dan Khadijah abad modern serta Rasuna Said berikutnya yang menjadi putri-putri Islam yang melanjutkan perjuangan bangsa.”
Sehari sebelumnya, dalam rangkaian peringatan acara itu, diluncurkan pula buku tentang Rahmah El Yunusiyyah yang berjudul Rahmah El Yunusiyyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah. Buku biografi ini menceritakan perjuangan Rahmah membangun Diniyyah Puteri. Tulisan yang ditampilkan adalah karya para anggota keluarga Rahmah, anak didik, serta beberapa tokoh nasional, seperti Buya Hamka dan Mohammad Natsir. Pemerintah menganugerahkan Bintang Mahaputera Pratama dan Bintang Mahaputera Adipradana. Rahmah tiga kali diusulkan mendapatkan gelar pahlawan karena jasa-jasanya. Berkas pengusulannya sudah dibuat beberapa tahun terakhir.
Selain buku, diluncurkan pula webtoon tentang Rahmah. Webtoon serial Rahmah ini penting untuk mengenalkan tokoh perempuan tersebut kepada generasi muda. “Hal ini penting guna membuat para anak muda juga mengenal sejarah, tapi melalui media komik digital,” kata Kepala Sumber Daya Manusia Diniyyah Puteri, Fauzi Fauzan.
•••
PONDOK Pesantren Diniyyah Puteri Padang Panjang baru saja memperingati usianya yang menginjak seabad, Rabu, 1 November lalu. Rahmah El Yunusiyyah, yang lahir pada 26 Oktober 1900 di Nagari (desa) Bukit Surungan, Kota Padang Panjang, adalah pendirinya. Rahmah El Yunusiyyah mendapat gelar kehormatan syaikhah dari Al-Azhar University, Kairo, Mesir.
Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang merupakan pondok modern khusus putri. Rahmah El Yunusiyyah mendirikan Perguruan Diniyyah Puteri pada usia 23 tahun setelah mendapat inspirasi ketika mengikuti pendidikan di Diniyyahh School yang didirikan oleh kakak kandungnya, Zainuddin Labay El Yunusy, pada 1915. Rahmah pun mempunyai pengetahuan medis yang berguna untuk para santrinya.
“Rahmah El Yunusiyyah kami harapkan menjadi contoh bagi perempuan masa kini yang lebih kuat, mandiri, dan lebih siap menghadapi tantangan,” ucap pemimpin Diniyyah Puteri Padang Panjang, Fauziah Fauzan El Muhammady.
Pada masa itu, pendidikan sangat sulit didapatkan dan hanya bisa diakses oleh sekelompok orang, terlebih bagi kaum perempuan. Zainuddin dan Rahmah membuka pintu itu. Pada masa awal berdiri, Diniyyah Puteri memiliki 70 murid. Diniyyah Puteri ketika itu menjadi sekolah khusus perempuan yang ada di Sumatra Westkust. Dalam buku tentang peringatan 55 tahun Diniyyah Puteri yang ditulis Leon Salim dan kawan-kawan, disebutkan pula Rahmah mendirikan Diniyyah Puteri untuk membuktikan bahwa perempuan juga bisa bersekolah seperti laki-laki.
Fauziah adalah cucu Rahmah. Ia juga bercerita tentang alasan Rahmah mendirikan sekolah khusus perempuan. “Ibu saya pernah bercerita bahwa Rahmah berpandangan perempuan dan laki-laki punya peran yang berbeda. Jadi sekolahnya juga tidak bisa disamakan,” ucap Fauziah.
Sementara itu, Leon Salim juga menuliskan bahwa, setelah Diniyyah Puteri berdiri, Rahmah juga pernah ditawari Belanda bekerja sama. Leon Salim secara jelas menuliskan bahwa Rahmah menolak secara halus dengan mengatakan Diniyyah Puteri akan hidup dengan caranya sendiri tanpa bantuan pemerintah. Rahmah takut Belanda akan membelokkan tujuan Diniyyah Puteri. Di kemudian hari, Belanda sering memata-matai pesantren ini karena aktivitas HR Rasuna Said, salah satu murid yang kemudian mengajar di sana.
Langkah Rahmah untuk memajukan pendidikan santrinya lebih tinggi dengan mempelopori dibukanya Kuliyatul Banat di Al-Azhar University sehingga kaum wanita bisa kuliah di sana pada 1957. Pada tahun berikutnya, lima santri Diniyyah Puteri memulai kuliah di Al-Azhar dan menjadi mahasiswa perempuan pertamanya.
Sebagai salah satu pesantren tua, pesantren ini mempunyai jejak langkah sejarah yang cukup panjang. Dalam sekapur sirih situs web Diniyyah Puteri, Rahmah El Yunusiyyah dikatakan sebagai salah satu pendorong dan pendukung terlaksananya Sumpah Pemuda 1928. Sukarno muda, sebelum Proklamasi Kemerdekaan, pun pernah mampir di sekolah ini.
Rahmah juga ikut mendukung pergerakan kemerdekaan dengan ikut mendirikan Batalyon Merapi, cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat (kini Tentara Nasional Indonesia). Dia menyumbangkan uang dan perhiasan untuk pembentukan pasukan dan pembelian senjata. Rumahnya yang menyatu dengan Perguruan Diniyyah Puteri menjadi dapur umum bagi para pejuang kemerdekaan. Mereka memasok makanan untuk tentara yang setiap hari datang atau maju ke garis depan. Rahmah juga melatih santrinya menjadi tenaga Palang Merah.
Saat ini Diniyyah Puteri Padang Panjang memiliki sekolah di setiap tingkatan, dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Tak kurang dari seribu santri kini menjadi murid Diniyyah, dari Raudhatul Athfal hingga sekolah tinggi. Mereka menempati gedung-gedung berarsitektur modern. Terdapat 12 gedung yang mencakup ruangan belajar, asrama, dan Museum Rahmah El Yunusiyyah. Masih ada dua bangunan klasik yang dipertahankan. Gedung itu adalah bangunan pertama Diniyyah Puteri yang ditetapkan sebagai cagar budaya pada 2007.
Dalam buku yang ditulis Leon, bangunan yang memiliki status cagar budaya itu merupakan asrama pertama yang didirikan Rahmah. Dinding gedung berwarna hijau itu awalnya berbahan sasak, lalu direnovasi pada 1993, tapi tidak berubah bentuknya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fachri Hamzah dari PADANG berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Seabad Diniyyah Puteri, Menggembleng Para Santri"