Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Kekerasan Seksual dalam Film Women from Rote Island

Film Women from Rote Island menyuguhkan kisah tingginya kekerasan seksual yang masih memprihatinkan. Meraih empat Piala Citra.

26 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Film Women from Rote Island meraih empat Piala Citra tahun ini.

  • Keprihatinan atas tingginya kekerasan seksual, terutama di wilayah Nusa Tenggara Timur.

  • Kekerasan demi kekerasan yang berlapis dalam kisah Martha dan keluarganya.

TATAPAN matanya tampak kosong ke arah peti yang mulai turun ke liang lahad. Air matanya mengalir perlahan. Tak ada kata yang terucap dari bibir perempuan muda itu. Tangannya melambai sangat pelan, melepas kepergian sang ayah. Sementara itu, ibu, nenek, dan adik-adiknya meraung dalam kesedihan. Narasi visual ini segera menggeret kita ke suasana pedih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Martha (diperankan Irma Novita Rihi) akhirnya pulang setelah penantian lama yang membuat keluarganya gelisah. Semua anggota keluarga besar sudah bersiap menguburkan jenazah sang ayah. Hanya Orpa (Merlinda Dessy Adoe), ibu Martha, yang berkeras pemakaman harus menunggu kepulangan gadis sulungnya demi melaksanakan amanat suaminya. Cekcok tak ayal terjadi di antara mereka. Ia yakin anak perempuannya akan segera datang, meski tak ada kepastian soal kepulangannya dari negeri jiran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orpa dan dua anaknya yang lain, Bertha dan Carla, senang Martha pulang. Tak ada harta yang berkelimpahan dari kepulangan Martha dari Malaysia. Rumahnya sederhana dengan sebuah sepeda motor dan gawai penyambung komunikasi. Kehidupan kembali seperti biasa. Orpa memasak nira guna membuat gula dengan dibantu anak-anak gadisnya.

Martha tak banyak berkata-kata saat hadir di rumah sederhana itu. Ia seperti hidup di dunia yang asing. Orpa seperti kehilangan gadis sulungnya itu. Berempat mereka menjaga Martha. Ketika Orpa tak menemukan Martha di rumah, ternyata putrinya itu terlihat tengah berjalan dan melepas semua pakaiannya menuju tengah laut. “Apa nanti kata orang kalau dilihat banyak orang?” ujar Orpa sembari memeluk Martha dan memakaikan bajunya.

Demonstrasi menuntut penuntasan kasus pembunuhan dalam film Women From Rote Island. Busan Film Festival

Martha pulang membawa beban, luka, dan trauma yang dalam. Dia tenggelam dalam depresi dan hanya duduk termangu. Sesekali ia memandang ke kejauhan atau mencari sarang burung dengan ditunggui adiknya, Bertha (Bani Sallum Ratu Ke). Raut wajahnya suram, seperti tak ada lagi cahaya hidup. Ketakutan dan trauma itu muncul ketika pamannya datang dan membuat ibunya kebingungan. ”Datuk… Datuk, ampun,” ujarnya sambil berlari.

Kisah Martha dalam Women from Rote Island adalah sebuah kisah pedih dan pilu tentang nasib para perempuan di pulau kecil itu. Martha adalah pekerja migran di negeri jiran tanpa kejelasan dari agennya. Ketika Martha belum pulang, saudaranya sibuk mencari kepastian ihwal siapa yang bisa dihubungi.

Hidup Martha terkurung, seperti burung berkicau yang menemaninya. Burung dalam sangkar itu pemberian Damar, lelaki yang pernah dekat dengan Martha. Nasib malang Martha tak berhenti begitu saja. Ia mendapat serangkaian pelecehan dan kekerasan seksual. Pelecehan pun dialami Orpa dan Bertha. Dalam alur yang lambat, Jeremias Nyangoen, sang sutradara, membangun cerita kekerasan demi kekerasan yang berlapis-lapis dari kisah Martha dan keluarganya.

Linda Adoe dalam Women From Rote Islands. Busan Film Festival

Kisah Martha adalah cerita yang sering muncul di halaman media Tanah Air. Banyak perempuan Indonesia, khususnya dari Nusa Tenggara Timur, yang terjebak dalam perdagangan orang atau menjadi pekerja migran yang mengalami nasib buruk, dari penipuan, penyiksaan, pemerkosaan, hingga perbudakan.

Martha salah satu pekerja migran yang memiliki kisah kelam. Martha tak berdaya ketika Datuk, majikannya, merudapaksanya. Bayangan Datuk selalu muncul dalam alam bawah sadar perempuan muda itu. Segera saja penonton bisa membayangkan apa yang menimpa Martha. Apalagi ketika ia juga mengalami kekerasan seksual oleh tetangganya. Lelaki bejat itu memanfaatkan kondisi lemah Martha. “Datuk” datang lagi dalam pikiran Martha.

Martha pun harus berhadapan dengan masyarakat yang terus menyalahkannya dan menghukum ketika dia membela diri atas kekerasan seksual yang dialaminya. Ibunya harus membayar Rp 25 juta setelah berunding secara adat. Uang sebesar itu adalah pengganti rumah yang terbakar. Martha mengejar pemerkosanya dan membakar rumah orang yang melindungi pemerkosanya. Keluarga Martha pun masih berucap maaf atas peristiwa itu.

Women From Rote Islands. Busan Film Festival

Martha yang mengalami gangguan kejiwaan harus mengalami nasib mengenaskan. Tak ada upaya pengobatan, yang ada hanya pemasungan yang makin membelenggu tubuh dan jiwanya. Lapisan kekerasan yang dialami Martha kian tebal. Rentetan kekerasan seksual sungguh bertubi-tubi mendera Martha. Bertha yang berusaha melindungi kakaknya juga mengalami nasib yang menyesakkan dada.

Jeremias dengan gamblang menghadirkan tradisi masyarakat setempat yang liat. Ketika pemakaman tak kunjung dilakukan, biaya makin membengkak untuk menyuguhkan sajian bagi tetangga yang menemani dan membantu pemakaman. Seusai penguburan, para mama memberikan hiburan dengan tarian berkelompok.

Penonton juga bisa melihat bagaimana tetua adat dihadirkan untuk menyelesaikan masalah antara keluarga Orpa dan warga yang rumahnya dibakar oleh Martha. Kesepakatan tercapai di antara dua pihak yang bersengketa dan diakhiri dengan adu hidung untuk menandai masalah telah selesai dengan damai.

Penonton juga bisa melihat hukuman bagi pemerkosa, yaitu menggali makam ibunya dan bersumpah di hadapan tulang-tulang mendiang ibunya. Hukuman ini berat dan sangat memalukan karena si terhukum harus bersumpah di hadapan sisa-sisa tulang leluhurnya sebagai permintaan maaf dan cara menyelesaikan masalah secara adat.

Jeremias menulis sendiri naskah tentang lingkaran kekerasan seksual dalam film yang disutradarainya ini. Dia berkaca pada pengalaman menemui korban kekerasan seksual di dekat rumahnya dan di Rote. Ia mendasarkan cerita naskahnya pada tingginya angka kekerasan seksual, bahkan hingga berujung kematian, di tanah Rote. Termaktub pula kenyataan masih banyaknya perdagangan orang dan kasus pekerja migran ilegal atau legal yang berujung pada kecacatan atau kematian.

Ia menghadirkan fakta pelecehan dan kekerasan seksual yang masih mengancam para perempuan, tak hanya di Rote, tapi juga di sekeliling kita. Fakta yang memperlihatkan kasus-kasus semacam ini sering kali tak tersentuh, bahkan tak terselesaikan secara hukum. Hukum adat yang menjadi alat untuk menyelesaikan masalah sering kali tak berpihak kepada perempuan para korban pelecehan dan kekerasan seksual.

Dari film yang disiapkan cukup lama ini, empat Piala Citra Festival Film Indonesia 2023 dihadiahkan kepada Jeremias dan timnya. Jeremias yang lahir dari dunia teater dinobatkan sebagai sutradara dan penulis skenario asli terbaik. Film yang mengambil gambar di bumi Rote ini menyabet penghargaan kategori Film Terbaik dan Sinematografi Terbaik. Jeremias juga pernah mendapatkan Piala Citra sebagai Penulis Skenario Asli Terbaik 2006 untuk film Denias, Senandung di Atas Awan.


Women from Rote Island

Sutradara: Jeremias Nyangoen
Penulis naskah: Jeremias Nyangoen
Produser: Rizka Shakira
Pemain: Merlinda Dessy Adoe, Irma Novita Rihi Irma Novita Rihi, Bani Sallum Ratu Ke, Van Jhoov
Rumah produksi: Bintang Cahaya Sinema


Para aktor, yang sebagian besar warga Nusa Tenggara Timur dan belum pernah bermain film, memainkan karakter mereka dengan baik. Merlinda Dessy berakting cukup kuat sebagai ibu tunggal tiga anak perempuan dengan masalah yang mengoyakkan hati dan pikiran. Ia menjadi sosok perempuan warga kelas dua yang bertumbuh menjadi perempuan berdaya. Irma Novita Rihi pun berakting sebagai perempuan korban kekerasan yang mengalami depresi dengan baik.

Alam dengan pemandangan indah dan padang rumput menghijau yang terhampar ternyata menyimpan luka dan tangis para perempuan korban. Keindahan semesta tak melimpahkan kebahagiaan bagi para penduduk setempat. Mereka yang tertinggal hanya mampu berharap nasib mujur.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kisah Martha, Kisah Pilu dari Rote"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus