Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI bertelanjang dada dan bercelana merah itu muncul dengan menunggangi kudanya. Dia layaknya menaiki kuda kepang. Kudanya terbuat dari kawat berbalut kain merah, menandakan surai, ekor, dan kakinya. Di tangan kanan, ia menggenggam erat tiang bendera yang berkibar-kibar berwarna merah yang bolong-bolong dan disobek memanjang. Sedangkan tangan kirinya seperti memegang kendali kudanya. Dengan gagah ia maju menerjang tiga pilar yang berjajar, pilar istana yang dijaga sesosok anjing yang galak. Sosok itu merangkak-rangkak di sela-sela pilar yang terbuat dari seng tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Breng... breng... breng.... Berisik sekali suara ketika pilar seng itu berulang kali digebuk, ditusuk, dan ditabraknya. Ia bergerak agak ke belakang, lalu berputar dan menabrak seng itu. Suara berisik meneror ruang dengar penonton di Gedung Kesenian Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Rabu, 22 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, laki-laki penunggang kuda itu gagal mengobrak-abrik istana, gagal melewati anjing penjaga yang beringas dan brutal tersebut. Tubuhnya terjerembap tak berdaya bersama kuda tunggangannya. Ia seperti lumpuh, tak berdaya, kehilangan kekuatannya.
Pembuka pentas Teater Api Indonesia berjudul Dinasti Bulldog itu langsung mengentak penonton yang memenuhi kapasitas tempat duduk Gedung Kesenian Cak Durasim. Hanya dengan enam pemain, kelompok teater Dewan Kesenian Surabaya yang telah berusia 27 tahun itu setidaknya mampu menghegemoni panggung hingga 45 menit lamanya.
Mereka, misalnya, secara cepat memindahkan suasana keji tewasnya penunggang kuda ke penampakan cerobong asap pabrik. Seng partisi yang semula digambarkan sebagai pilar-pilar istana dibalik, beralih fungsi menjadi cerobong. Simbol antinuklir serta tengkorak tanda bahaya limbah beracun terlihat di sana.
Seseorang bertelanjang dada dan bersarung cokelat lusuh terhuyung-huyung memikul delapan sapu lidi. Ia meletakkan sapu itu setengah melingkar di depan cerobong asap sebuah pabrik. Namun industrialisasi meringkusnya hingga porak-poranda. Tali-tali sapu terlepas. Lidi yang tercerai-berai mengubur tubuhnya. Tak ada sepatah pun kata dalam pementasan ini. Hanya laku tubuh dan sesekali teriakan panjang pemain yang meramaikan panggung.
Diadaptasi dari naskah Mesin Hamlet karya Heiner Müller, Dinasti Bulldog sejatinya tidak sedang mengkritik secara khusus praktik dinasti politik yang saat ini tengah menggejala. Namun, menurut sutradara pertunjukan tersebut, Luhur Kayungga, bila penonton menafsirkannya ke arah sana, itu boleh-boleh saja.
“Kami sebenarnya tidak ingin masuk ke isu besar dinasti politik yang sedang ramai, tapi muncul kesadaran bahwa ternyata persoalan dinasti itu secara substansi memang tidak hanya ada di dalam sistem monarki, tapi sesuatu yang abadi,” kata Luhur.
Praktik dinasti politik, Luhur menambahkan, nyatanya terus berjalan setelah berakhirnya era kerajaan dan memasuki zaman industrialisasi. Dinasti, dia mengungkapkan, mengembangkan praktik turunan-turunannya hingga beranak-pinak. Dari sana kemudian muncul dinasti-dinasti baru dalam industri yang kapitalistik, praktik kekuasaan negara dengan pemerintahan yang konspiratif dan barbar. Kapitalis yang berkonspirasi dengan sistem kekuasaan itu, dia melanjutkan, pada kenyataannya cenderung menihilkan kearifan lokal. “Mereka (dinasti) menjelajah pada satu wilayah ruang dalam masyarakat, yang ternyata hanya bermetamorfosis,” ujar Luhur.
Autar Abdillah, pengajar seni teater Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, mengatakan pementasan oleh Teater Api Indonesia ini kreatif dari sisi tema ataupun bagaimana orang ingin mengetahui suatu pertunjukan.
Selain itu, Autar melihat para seniman teater mulai melihat praktik kekuasaan yang begitu keras sehingga menampilkannya dalam bentuk pertunjukan nonrealis mengenai betapa kerasnya dinasti politik berjuang untuk membela diri sendiri. “Itu kesan saya, ya,” tuturnya.
Walaupun sutradara mengatakan tidak secara khusus menyoroti isu dinasti politik yang sedang terjadi, kata Autar, penonton pertunjukan sah-sah saja membuat tafsir sendiri. Sebab, dengan satu kata "dinasti" saja, pemikiran orang langsung tertuju pada kondisi perpolitikan yang sedang ramai diperdebatkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menggoyang Dinasti Bulldog"