Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku Memoar Orang-Orang Singkawang dirilis Februari 2022
Mencatat kisah personal para perantau dari Cina di Singkawang
Diperkaya foto bersejarah dan arsip pribadi
Dipersiapkan sejak lebih dari satu dekade lalu, buku Memoar Orang-orang Singkawang akhirnya dirilis pada Februari 2022. Buku tersebut mencatat sejarah para pendatang Kota Singkawang yang pernah mendiami kawasan di utara Kalimantan Barat tersebut sejak akhir abad ke-18. Ini dimulai dari migrasi orang-orang Guangdong, Cina, ke Monterado, Kalimantan, untuk menambang emas; keberadaan kongsi dagang Lanfang; hingga tragedi Mandor Berdarah (1943-1944) dan Peristiwa Mangkuk Merah (1967)—periode kelam yang menewaskan puluhan ribu orang. Senarai peristiwa itu dikisahkan kembali di buku ini, bertautan dengan kisah personal mereka yang pulang ke Cina dan mereka yang tetap tinggal di Singkawang hingga kini.
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI antara bangunan-bangunan sepuh di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, rumah keluarga Tjhia adalah salah satu legenda. Usianya kini 121 tahun. Ini berarti lebih dari dua kali lipat umur kebanyakan orang yang tinggal dalam rumah berbentuk huruf U di Jalan Budi Utomo No. 37 tersebut. Di kompleks hunian seluas 5.000 meter persegi itu terdapat 14 kamar, 1 vihara atau kelenteng, juga 1 aula untuk tempat berkumpulnya keluarga besar.
Desain bangunannya yang ikonik mengadopsi karakteristik Tiongkok Utara, yakni “Si He Yuan”. Dulu, leluhur marga Tjhia, Tjhia Siu Si, mendatangkan langsung arsitek dari kampung halamannya di Provinsi Fujian. Bahan bangunan dan sebagian ornamen rumah keluarga Tjhia pun didatangkan langsung dari sana. Tubuh bangunannya tersusun dari kayu, pun atap sirapnya dibikin dari belahan tipis kayu ulin.
Rumah itu kini tak hanya menjadi salah satu jujugan wisata Singkawang, ataupun tempat menjajakan choi pan, kudapan khas yang bentuknya mirip pangsit kukus. Rumah itu juga menjadi hunian bagi sejumlah orang bermarga Tjhia. Dari 14 kamar di sana, delapan di antaranya masih dihuni oleh sekitar 20 orang.
Salah satu keturunan dari generasi kelima, Tjhia Djun Nen, 52 tahun, adalah pedagang obat tradisional di kawasan Pasar Hong Kong Singkawang yang sekaligus menjabat bendahara Yayasan Marga Tjhia. Menurut A Nen—panggilan akrab Tjhia Djun Nen—perguliran generasi sedikit banyak melentikkan perubahan tradisi di rumah mereka. Dulu, misalnya, jika ada keluarga yang meninggal, jenazah wajib diletakkan di depan vihara dalam kompleks ini. Namun sekarang aturannya tak sebaku itu. “Kalau ada keluarga yang meninggal, jenazah bisa disemayamkan di rumah duka, atau bisa di rumah masing-masing,” ujar A Nen saat ditemui pada Kamis, 14 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerbang Marga Tjhia di Singkawang, Kalimantan Barat. Foto: Yuliana Wisudyaningsih
Rumah Tjhia adalah salah satu jejak yang melukiskan kejayaan para pedagang tajir Singkawang di masa lalu. A Nen menuturkan sejarah rumah ini lahir dari leluhurnya, Tjhia Siu Si, seorang petani dari Fujian, Cina. Dalam perantauan, Tjhia Siu Si dan sejumlah orang dari kampung halamannya sempat terdampar di Semenanjung Malaysia. Mereka pun tinggal beberapa tahun di sana, bekerja sebagai kuli. Sampai suatu ketika, terdesak oleh satu peristiwa kerusuhan, mereka memutuskan melanjutkan pelayaran hingga akhirnya tiba di Sungai Singkawang.
Ketika itu sungai yang membelah kota menjadi jalur utama perdagangan di sana. Peluang itu dimanfaatkan Tjhia Siu Si yang mulai menjajaki bisnis pertanian dan perkebunan. Ia menggarap kebun karet, kelapa, juga buah-buahan yang lantas diekspor ke luar negeri, seperti Singapura, melalui jalur laut. Prospek usaha ini ternyata mengkilap. Seiring dengan perkembangan ekonomi yang pesat, Singkawang perlahan-lahan bersolek dari dusun kecil yang tandus menjadi bandar dagang yang ramai. “Saat itu Tjhia Siu Si menjadi seorang pesohor yang penting di keluarga dan masyarakat,” tutur A Nen.
Pada 1901, pemerintah Belanda menghadiahi Tjhia Siu Si sebidang tanah. Lahan inilah yang kemudian dibangun menjadi hunian keluarga. Berisikan dua ruangan besar, rumah ini berhias ukiran dan kaligrafi warna emas mengkilap di ambang pintunya. A Nen menyebutkan leluhurnya punya tujuh anak lelaki, satu di antaranya tinggal di Singapura. “Keturunan generasi kedua ini ada yang masih tinggal di Singkawang, tapi banyak juga yang pindah ke kota lain karena pekerjaan. Kebanyakan berprofesi sebagai pedagang, walau ada juga yang menjadi petani atau guru,” ujarnya.
Kisah rumah keluarga Tjhia menjadi salah satu bagian buku Memoar Orang-orang Singkawang yang dirilis pada Selasa, 15 Februari lalu. Ditulis oleh Bina Bektiati, mantan wartawan majalah Tempo, buku ini dilengkapi foto-foto hasil kurasi Oscar Motuloh, fotografer sekaligus pendiri Yayasan Riset Visual MataWaktu. Memoar Orang-orang Singkawang memotret sejarah Kota Seribu Kelenteng dan kisah para pendatang dari Cina ke kawasan itu dalam lima babak yang membentang di 448 halaman buku.
Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Singkawang Luhur Abadi bekerja sama dengan Yayasan Riset Visual MataWaktu ini ditulis dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Teks itu bertautan dengan karya foto yang dihimpun dari Sjaiful Boen, John Suryaatmadja, Oscar Motuloh, Enrico Soekarno, Jay Subiakto, Julian Sihombing, Sigi Wimala, Yori Antar, Octa Christi, Andreas Loka, Victor Fidelis, dan Khaw Technography.
Klenteng di dalam komplek rumah keluarga Tjhia di Singkawang, Kalimantan Barat. Foto: Yuliana Wisudyaningsih
Dalam bab pertama yang bertajuk “Reruntuhan Kejayaan Masa Silam”, Bina merunut tetenger-tetenger di Singkawang, seperti rumah keluarga Tjhia, relief pembantaian warga Singkawang oleh tentara Jepang, juga bioskop bergaya art deco yang bertengger di Jalan Diponegoro. Peninggalan itu menjadi media yang membawa pembaca untuk memahami sejarah Kota Singkawang, orang-orangnya, dan riwayat yang dirajut sejak para pendatang itu tiba dari Cina pada akhir abad ke-18.
Rumah keluarga Tjhia sendiri tak ubahnya monumen yang merekam masa kejayaan pedagang Singkawang pada eranya; bagaimana mereka menggerakkan perekonomian dan mempertahankan tradisi juga bertahan dari ancaman diskriminasi. Teddy Karsono atau Tjhia Khun Nyian dalam buku ini menyebutkan bahwa kini keluarga Tjhia sudah mencapai keturunan ketujuh dengan jumlah anggota keluarga sekitar 1.000 orang. Uniknya, menurut Teddy, tak ada syarat siapa yang boleh tinggal di rumah tua itu. Tapi biasanya jika sudah merasa cukup dan bisa mandiri, seorang anggota keluarga langsung memilih keluar dan tinggal di rumah lain (halaman 42).
•••
NASKAH Memoar Orang-orang Singkawang sejatinya sudah disiapkan Bina Bektiati sejak 2009 bersama dua fotografer, Sjaifoel Boen dan John Suryaatmadja. Adapun pada 2012 pameran foto yang bertajuk sama digelar di Salihara dan Galeri Antara Jakarta. Setelah pameran digelar, pengerjaan buku sempat mandek. Baru empat tahun terakhir materinya dimatangkan dengan sejumlah penyesuaian. Oscar sebagai kurator foto menyebutkan proyek ini adalah katarsis dari euforia perayaan Cap Go Meh di Indonesia yang festivalnya mulai dirayakan besar-besaran sejak era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Bangunan utama rumah keluarga Tjhia di Singkawang, Kalimantan Barat, 15 April 2022. Foto: Yuliana Wisudyaningsih
Dari situlah didapati bahwa tradisi ini menyangkut periode demi periode suram yang dialami etnis Cina di Indonesia. Sejarah mencatat kota yang diberi nama dari bahasa Hakka, San Khew Jong—bermakna kota di bukit dekat laut dan muara—ini beberapa kali dibenturkan dengan problem identitas politik etnis pada masa lalu. Para pendatang di Singkawang juga mengalami pasang-surut perekonomian. Setelah kilau Monterado mulai redup sebagai tempat tambang emas, posisi Singkawang sebagai kawasan permukiman justru mulai berkembang. Pada 1981, Singkawang resmi tercatat sebagai kota administratif.
Teks dirangkai Bina berdasarkan wawancara dengan narasumber-narasumber terkait di Singkawang, baik yang masih tinggal di kota itu maupun yang sudah pulang ke kampung halaman. Untuk mengumpulkan kisah, Bina menyambangi mereka ke Guangzhou, Cina, juga ke Hong Kong dan Taiwan. Tiga tempat itu menjadi tujuan tinggal warga Singkawang yang bermigrasi pada periode 1950-an. “Jadi buku ini pertalian sastra dan citra; kisah tentang mereka yang pulang, dan yang tinggal (di Singkawang),” ujar Oscar, Kamis, 14 April lalu.
Disebut “pulang” karena mereka memandang Cina sebagai kampung halaman, sebelum bermigrasi ke Asia Tenggara pada akhir abad ke-18. Walaupun demikian, dalam buku ini sejumlah narasumber menyebutkan bahwa di Tiongkok mereka tak betul-betul diterima sebagaimana yang diharapkan berdasarkan propaganda yang tersebar. Di sana, mereka justru dianggap sebagai orang-orang yang kembali dari perantauan. Di kutub berbeda, ada mereka yang tak ikut dalam arus migrasi 1950-an. Mereka yang tinggal di Singkawang pun menghadapi perjuangan yang berbeda, seperti melawan pengusiran dan bertahan dari tragedi berdarah Mangkuk Merah 1967.
Pengunjung melihat pameran foto dari buku "Memoar Orang-Orang Singkawang" di Jakarta, 11 Maret 2022. ANTARA/Rivan Awal Lingga
Oscar menyebutkan riset foto difokuskan untuk menempatkan Singkawang sebagai sentral. Salah satunya peran kawasan ini sebagai titik transit saat Monterado berjaya sebagai kota tambang emas. Menurut Oscar, jalan meriset foto mulai benderang saat tim menemukan buku Sui Yue Liu atau Album Jejak Nostalgia. Kitab itu semacam katalog yang merekam kenangan para sesepuh dari Singkawang dan sekitarnya yang pulang ke Cina pada 1950-1960-an. “Pas nemu buku itu, kami kayak mendapat pelita lagi,” ujar Oscar.
Album Jejak Nostalgia (AJN) berisikan foto-foto arsip pribadi. Foto itu sebelumnya disimpan dengan baik sebagai obat rindu mereka akan Singkawang. Sebagian foto di buku tersebut dipotret ulang oleh John dan Sjaiful saat keduanya meriset di Cina. Materi itu dipadukan dengan foto-foto yang dihimpun tim fotografer, serta riset dari berbagai sumber seperti situs Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dan Bronbeek Museum. “Kami susun fotonya dalam lima bab, mulai dari masa suram yang dialami di Singkawang hingga saat akhirnya mereka ‘terbebaskan’ (dari berbagai bentuk diskriminasi),” katanya.
Orang-orang Singkawang terkenal suka berfoto. Demikian disebutkan Bina dalam halaman 47 buku ini. Itu sebabnya bisnis studio foto di sini dulu maju, seperti dibuktikan dengan keberadaan AJN. Koleksi dari kitab itu mewarnai banyak halaman Memoar Orang-orang Singkawang dan menjadi penanda bahwa pada zamannya kawasan ini sudah otonom dan maju. Lihat saja foto bangunan rumah toko di Singkawang bertarikh 1950-an yang berarsitektur paduan Eropa dan Cina. Juga dua tempat nonton film keren pada masanya: Singkawang Bioscope dan Metropole yang di foto AJN terlihat ramai pengunjung.
Pengunjung melihat pameran foto bertajuk 'Memoar Orang-Orang Singkawang' di Rumah Marga Tjhia, Singkawang, Kalimantan Barat, 5 April 2022. ANTARA/Jessica Helena Wuysang
Memori kejayaan masa lalu juga terekam dalam foto-foto murid Nan Hwa—setara dengan sekolah menengah pertama, pada circa 1950. Pada halaman 48-49, kita bisa melihat foto bersama para siswa dengan baju seragam, satu area yang terlihat seperti perpustakaan, serta papan sekolah bertulisan “Nan Hwa Middle School” yang disertai tulisan dalam bahasa Mandarin. Tak hanya merekam yang elok-elok, peristiwa bencana seperti banjir di Singkawang pada 19 November 1972 serta tragedi Mandor pun ada di dalamnya. Salah satu foto koleksi AJN mempertontonkan kumpulan tengkorak manusia, sebagai bukti pembantaian massal—termasuk etnis Cina di Mandor, yang dilakukan Jepang pada 1942-1945.
•••
BELUM diketahui pasti kapan orang Cina, terutama suku Hakka, datang ke Singkawang. Namun navigator asal Inggris, George Windsor Earl, mencatat pernah melihat rumah sederhana orang-orang Cina berdampingan dengan milik orang Dayak dan Melayu pada abad ke-18. Pada masa itu pula, menurut Earl, sudah ada penggalian emas di Monterado oleh pendatang dari Cina, salah satunya orang Hakka. Di Kalimantan Barat ketika itu dua suku Cina yang paling besar adalah Hakka dan Teochiu. Orang Hakka, seperti disebutkan Ikhsan Tanggong dalam bukunya, Sejarah Orang Hakka di Singkawang, berasal dari Guangdong dan Fujian.
Para pendatang ini membentuk kongsi-kongsi bisnis di Kalimantan Barat, terutama untuk menggarap tambang emas. Kongsi Lanfang menjadi yang paling tersohor ketika itu. Pendirinya, Lo Fong Pak, juga menjadi gubernur untuk orang-orang Cina di Kalimantan Barat yang berpusat di Mandor. Ketika itu, Singkawang “semata” menjadi kota perdagangan, tidak semenjanjikan Mandor dan Monterado dalam hal bisnis. Namun, seiring dengan kian surutnya pamor Monterado, dan terjadinya peristiwa berdarah Mandor, warga Cina mulai meninggalkan dua daerah itu dan memilih tinggal di Singkawang.
Walikota Singkawang Tjhai Chui Mie (tengah) bersama Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid (kedua kanan), Kurator Foto Oscar Motuloh (kiri), Ketua Dewan Adat Dayak Stepanus (kedua kiri), dan Penulis buku Bina bektiati (kanan) saat pameran sekaligus peluncuran buku Memoar Orang-orang Singkawang di Jakarta, 11 Maret 2022. ANTARA/Rivan Awal Lingga
Kepedihan dan luka yang tersisa dari peristiwa berdarah Mangkuk Merah juga diungkapkan lewat pengakuan narasumber di Memoar Orang-orang Singkawang. Kisah horor itu dibagikan warga Burhani, Singkawang Barat, Liu Njat Hiong, yang sempat menghabiskan masa kecilnya di pengungsian. Rumah di Samalantan, tanah, dan harta ditinggalkan keluarganya. Putri seorang pengusaha karet ini mengungsi bersama serombongan orang sekampungnya ke daerah Monterado, lalu ke Pakucing. Pakaian yang menempel di badan menjadi satu-satunya bekal.
Selama di pengungsian, tak ada anak-anak yang bersekolah. Bahkan, sebagian dari mereka bekerja membantu orang tuanya berladang. Di pengungsian, kekurangan makan, wabah penyakit, dan orang mati kelaparan menjadi pemandangan sehari-hari. “Hingga kini saya tak pernah lagi menjenguk kampung halaman di Samalantan. Beruntung kami tak dibunuh. Saya mengalami trauma kalau mendengar nama Samalantan (halaman 200),” kata A Hong.
Jauh dari tanah kelahirannya, A Hong berjumpa dengan seorang pemuda yang lalu menjadi suaminya, Pui Njan Khong. Dengan lelaki ini, A Hong membangun keluarga baru, meninggalkan kenangannya di Samalantan. “Yang penting sekarang menatap masa depan,” ujar Pui Njan Khong. Doanya terkabul. Keenam anaknya tamat sekolah menengah atas, bahkan ada yang mendapat beasiswa sekolah di Guangzhou.
Dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada yang menggarap film dokumenter bertajuk Multikulturalisme Singkawang, Dr Rizal Mustansyir, teringat situasi pilu di Singkawang pada 1960-an. Ketika itu, ada sejumlah mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang dikirim ke Singkawang untuk mengajar. “Kayaknya saat itu Singkawang sampai kekurangan guru karena didera tragedi-tragedi yang menelan banyak korban jiwa,” ucap Rizal, Jumat, 15 April lalu. Pria kelahiran Kota Singkawang ini juga ingat pada dekade itu banyak pengungsi yang kelaparan di kotanya. Saking miskinnya, para pengungsi itu tak jarang mengetuk pintu rumah Rizal saat sahur dinihari, meminta dibagi penganan. “Itu situasi yang berat dan butuh tahun yang panjang untuk memulihkannya,” ujarnya.
YULIANA WISUDYANINGSIH (SINGKAWANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo