Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ada Dilema Saat Menjatuhkan Sanksi

Pemerintah Kota Yogyakarta dan aparat penegak hukum masih ragu mengeluarkan pelaku kekerasan jalanan dan klitih keluar dari sekolah. Ada yang dihukum melayani panti jompo. 

 

16 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Walikota Yogyakarta, Heroe Poerwadi di Balaikota Yogyakarta, 12 April 2022/TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah berupaya memutus kaderisasi pelaku kekerasan jalanan dan klitih dengan menjauhkan alumni dari sekolah.

  • Ada sekolah yang berhasil keluar dari masalah tawuran.

  • Polisi diminta mengintensifkan patroli rutin.

KEKERASAN jalanan kelompok remaja di Yogyakarta, di antaranya tawuran antargeng dan klitih, terus meningkat dalam beberapa tahun belakangan. Tawuran acap kali dipicu hal remeh, misalnya suara sepeda motor. Korban dan pelaku klitih pun kian acak. Para pelaku penganiayaan itu berasal dari pelajar hingga mahasiswa. Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi menyatakan pemerintah berupaya mengatasi fenomena ini dengan menggencarkan patroli hingga pembinaan. “Kuncinya jangan sampai ada interaksi dengan alumnus yang pernah terlibat kekerasan,” kata Heroe kepada Shinta Maharani dari Tempo di ruang kerjanya pada Selasa, 12 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana peta kekerasan jalanan di Yogyakarta saat ini?

Geng kelompok remaja saat ini tak hanya berasal dari satu sekolah, tapi dari luar sekolah juga. Kekerasan lazim terjadi pada malam hari. Korbannya terkadang acak, kadang tidak. Pemicunya bisa karena masalah ketersinggungan atau tantangan dari kelompok tertentu, seperti menggeber gas sepeda motor, saling memaki, dan kejar-kejaran. Yang jelas ada provokasi.

Apakah faktor perseteruan antarsekolah masih ada?

Sekarang tidak lagi berbasis di sekolah. Anggota geng bisa dari sekolah, bisa dari luar. Jadi tidak lagi beridentitas di sekolah tertentu. Kami menengarai itu seperti kasus perkelahian pelajar. Selalu ada alumnus yang secara aktif menjaring teman-teman baru untuk masuk geng. Pertemuan itu biasanya di tempat-tempat yang menjadi basis mereka.

Bagaimana memutus mata rantai pola kaderisasi itu?

Kami pernah punya pengalaman di Sekolah Menengah Atas Negeri 6. Untuk memutus interaksi alumnus dengan para juniornya, sekolah tidak pernah menerima murid laki-laki selama lima tahun. Sekarang track record SMAN 6 sudah bagus. Kuncinya jangan sampai ada interaksi dengan para alumnus yang pernah melakukan kekerasan dan tindak kriminalitas jalanan.

Bagaimana dengan sekolah lain?

Sejak 2018, kami mengajak peran semua organisasi perangkat daerah, polisi, jaksa, guru, hingga aktivis pemerhati anak. Sekolah kami minta mengidentifikasi anak-anak yang terindikasi masuk geng untuk mendapatkan pembinaan. Ada beberapa parameter untuk menilai perilaku mereka. Jika banyak negatifnya, mereka bisa dikeluarkan dari sekolah.

Klitih salah satu bentuk kekerasan jalanan yang paling banyak terjadi. Apa kendala pemerintah kota mengatasinya?

Kadang ada dilema memberi sanksi pelaku klitih keluar dari sekolah. Karena dengan hukuman itu mereka bisa makin liar di jalan. Intinya harus ada edukasi baik dari lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Kami ingin kembalikan istilah klitih ke makna sebenarnya. Klitih itu dimaknai kegiatan jalan-jalan cari makan, siapa tahu dapat pekerjaan.

Lalu, apa upaya pemerintah daerah?

Kami menambah sanksi sosial untuk para pelaku, yakni melayani orang-orang di panti jompo. Mereka dilibatkan dalam kerja sosial supaya tumbuh rasa kasih sayang. Selain itu, sedang disiapkan penampungan remaja bermasalah supaya mereka punya asupan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka juga bisa belajar wirausaha, bergabung dengan karang taruna. 

Apa penyebab anak-anak itu terlibat kekerasan?

Pelaku banyak yang berasal dari rumah tangga yang kurang harmonis atau orang tua sibuk bekerja. Hubungan anak dan orang tua tidak bagus. Anak dimanja dan orang tua tidak punya kontrol di rumah. Mereka terjerumus di jalan karena tidak menemukan suasana nyaman di keluarga. Ada pula dampak game-game kekerasan.

Bagaimana pengawasan aparat pemerintah di lapangan?

Ada patroli rutin di tempat anak-anak nongkrong. Kami berkoordinasi dengan polisi di semua jenjang untuk memantau kerumunan remaja di warung angkringan dan bubur kacang hijau. Ini tempat-tempat yang biasa dijadikan basis berkumpul kelompok remaja itu. Kalau di sekolah mereka jelas tidak punya akses bertemu dengan junior.

Bagaimana mencegah kekerasan jalanan ini terus berulang?

Tahun ini kami menerbitkan Peraturan Daerah tentang Ketahanan Keluarga. Salah satunya meminta peran para orang tua memastikan keberadaan anak mereka di rumah setiap pukul 10 malam. Dukungan anggaran pemerintah juga bisa dilihat dari program layanan konseling tenaga psikolog yang kami terjunkan ke kampung-kampung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus