Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkali-kali Raden Muhammad Patma Anwar alias Ucok membuat geram anggota majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Musababnya, dalam sidang terdakwa kasus pembunuhan Munir, Muchdi Purwoprandjono, 9 Oktober enam tahun silam, Ucok melulu lupa. Ia tak ingat ketika ditanya hakim perihal pekerjaannya. Juga soal agen muda Badan Intelijen Negara bernama Sentot Waluyo alias Pak De. Kepada hakim, Ucok mengaku sedang sakit.
Sikap itu membuat hakim tak bisa mengkonfirmasi berbagai keterangan Ucok pada saat diperiksa polisi. Dalam pemeriksaan itu, Ucok menyatakan identitasnya sebagai agen muda BIN golongan III/C. Seorang polisi yang dulu memeriksanya mengatakan Ucok menunjukkan sejumlah bukti, antara lain kartu anggota BIN, surat perintah tugas, dan dua senjata api. Ia bahkan menjelaskan detail lokasi ruang kerja Sentot di kantor BIN.
Polisi tersebut menambahkan, pria 42 tahun itu juga memberi tahu polisi soal arsenik yang dipakai untuk membunuh Munir dan diujicobakan kepada anjing di kampus Universitas Indonesia. "Arsenik itu dibeli di Mampang, Jakarta Selatan, tapi tokonya sekarang sudah tutup," kata polisi itu. Sebelumnya, Ucok sempat menjadi fotografer media Ibu Kota dan aktif mengurus propaganda untuk Partai Rakyat Demokratik.
Pengakuan Ucok disangkal bekas Kepala BIN Abdullah Makhmud Hendropriyono dalam wawancara dengan Tempo, Selasa pekan lalu. "Cerita dia simpang-siur," ujarnya. Sedangkan Wakil Ketua BIN saat itu, As'ad Said Ali, menyebutkan di BIN ada agen resmi yang dilatih dan ada pula informan yang hanya didata tapi tidak diakui jika terjadi sesuatu padanya. "Itu perorangan," kata As'ad bulan lalu.
Dalam kesaksiannya kepada polisi di berita acara pemeriksaan, pria bertubuh ceking itu mengaku pernah diberi tugas melenyapkan Munir sebelum Pemilihan Presiden 2004. "Munir harus dibunuh sebelum pemilihan presiden karena membahayakan," ujarnya kepada penyidik. Karena itu, Ucok mengaku tak kaget saat mendengar Munir meninggal dalam penerbangan pesawat ke Belanda, 7 September satu dekade lalu.
Kepada polisi, Ucok mengungkapkan, adalah Sentot yang mengajak Ucok terlibat dalam operasi pembunuhan Munir. Operasi itu, kata Ucok, melibatkan antara lain Deputi Kepala BIN Urusan Penyelidikan Dalam Negeri ketika itu, Manunggal Maladi, dan Deputi Urusan Kontra-Intelijen Wahyu Saronto.
Sederet skenario sudah disiapkan. Caranya dengan mengawasi, meneror, menyantet, dan terakhir meracuni. Untuk skenario santet, Ucok bersama Wahyu dan Sentot, kini Direktur Logistik PT Mega Maroci Lines, perusahaan penarik kapal pengeboran minyak milik Hendropriyono, sempat mencari rumah paranormal Ki Gendeng Pamungkas di Baranangsiang, Bogor. "Tapi tidak bertemu," kata Ucok. Ucok juga pernah meneror Munir via telepon ke kantor Imparsial.
Ocehan Ucok itu menjadi dasar Kejaksaan Agung mengajukan permohonan peninjauan kembali atas perkara pembunuhan Munir. Sebelumnya, pada Oktober 2006, Mahkamah Agung membebaskan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot senior Garuda Indonesia, terpidana kasus ini.
Permohonan peninjauan kembali kejaksaan ini diterima Mahkamah pada 2007, yang kemudian memutus Pollycarpus bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. "Keberadaan Ucok mempertegas bahwa BIN melakukan perencanaan pembunuhan secara sistematis, terencana, dan terukur," kata Sekretaris Jenderal Komite Solidaritas untuk Munir, Choirul Anam.
Oktober tahun lalu, MA mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan Pollycarpus terhadap peninjauan kejaksaan. Walhasil, bulan ini ia bebas setelah menjalani hukuman 8 tahun dari vonis 14 tahun kurungan di penjara Sukamiskin, Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo