Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERDIRI di pintu gerbang D 42, Barlend Panjaitan mengawasi satu per satu penumpang Garuda GA-974 asal Jakarta yang masuk ke ruangan transit di Bandar Udara Changi, Singapura. Dinihari itu, Selasa, 7 September 2004, ada 350 lebih awak dan penumpang keluar dari pintu depan pesawat jenis Boeing 747-400. Mereka punya waktu transit satu jam sebelum terus ke Amsterdam. Barlend—waktu itu penjabat sementara Station Manager Garuda di Changi—mengenali penumpang yang keluar lebih dulu. Mereka antara lain Joseph Ririmase, kolega Barlend di Garuda, serta Pollycarpus Budihari Priyanto. Penerbang Garuda itu bergegas, menyusul aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib.
Melihat Pollycarpus, Barlend menoleh ke arah Jamaluddin Mainuddin, yang malam itu bertugas menjemput awak Garuda. Barlend menunjuk Polly dan berseru ke Jamaluddin: "Dia extracrew." Barlend menuturkan peristiwa ini kepada Tempo pada 2007. Menurut dia, Jamaluddin, asisten pengawas operasi penerbangan Garuda di Changi ketika itu, menghampiri Pollycarpus. Barlend mengaku sekilas dia melihat Jamaluddin berbicara kepada Pollycarpus. "Setelah itu, saya kembali mengawasi penumpang yang datang," kata Barlend.
Jamaluddin inilah yang oleh Pollycarpus disebut sebagai "Choi" dalam persidangan ketika dia menjadi tersangka kasus pembunuhan Munir. Polly berdalih, Choi alias Jamaluddin langsung mengantarnya ke bus khusus awak Garuda menuju Hotel Novotel Apollo Singapura, tempat awak Garuda menginap.
Polly memakai alibi ini untuk menghindari dakwaan jaksa bahwa dia bertemu dengan Munir saat transit di Bandara Changi. Siapa yang ditemui Munir dan apa yang diminum Direktur Eksekutif Imparsial ini saat transit di Changi menjadi mata rantai terpenting untuk mengungkap pembunuhan aktivis itu sepuluh tahun silam. Dia meninggal dalam pesawat GA-974, tiga jam sebelum mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam. Kecurigaan bahwa Munir dihabisi merebak setelah hasil otopsi The Netherlands Forensic Institute memastikan dia tewas akibat arsenik dosis tinggi. Sekitar 460 miligram atau empat kali lipat dari dosis mematikan racun tersebut ditemukan tersebar di dalam tubuhnya.
Ahli toksikologi forensik dari Denpasar, I Made Agung Gelgel Wirasuta, memperkirakan kematian terjadi 8-9 jam setelah racun masuk ke tubuh. Waktu tempuh Changi-Schiphol adalah 12 jam. Polisi meyakini Munir diracun saat transit di bandara Singapura itu.
Tujuan Munir ke Belanda adalah melanjutkan studi di Utrecht. Check in pukul 20.00 WIB, pendiri Kontras itu mendapat kursi nomor 40G. Satu jam sebelumnya, dia minum susu cokelat panas di Dunkin' Donuts Bandara Soekarno-Hatta, bersama Suciwati, istrinya, dan sejumlah aktivis yang mengantar.
Saat antre ke pesawat, Munir bertemu dengan Pollycarpus. Polly, yang dijuluki Munir sebagai "orang aneh dan sok tahu", menyapa dia. Ia menawari Munir duduk di kursinya, nomor 3K, di kelas bisnis. Munir pindah, sementara Polly duduk di kursi premium bebas. Sepanjang penerbangan dari Jakarta ke Singapura, Polly sempat mampir di kursi Munir dan mengobrol. Pertukaran kursi dicurigai sebagai cara memperlancar aksi menghabisi Munir.
Dalam hitungan penyidik, dengan waktu transit hanya sejam, dikorting 10 menit penumpang turun dari pesawat dan 20 menit naik lagi, hanya ada waktu setengah jam untuk menghabisi Munir. Ini susah dilakukan jika Munir duduk di kelas ekonomi: dia butuh waktu lebih lama, sekitar 20 menit, untuk antre turun. "Itu menjelaskan mengapa Munir ditaruh di kursi bisnis," kata penyidik.
Lelaki asal Malang ini menjadi orang kelima dalam pengawasan Barlend tatkala GA-974 mendarat di Changi. Dia berjalan sendirian menuju tempat transit, dekat tangga berjalan pintu D 42. Beberapa saat kemudian, seperti yang dipaparkan Barlend, Polly bergegas menyusul Munir.
Di Changi, salah satu penumpang kelas bisnis, Asrini Utami Putri, melihat Munir duduk di sofa The Coffee Bean & Tea Leaf, tak jauh dari gerbang D 42. Menurut Asrini, Munir duduk semeja dengan lelaki berkacamata yang dikenali sebagai Pollycarpus. Dia mengaku tak akan lupa dengan Polly, yang seharusnya duduk di belakang Asrini, di kursi kelas bisnis yang kemudian ditempati Munir. Perempuan ini bahkan tak sengaja berkomunikasi dengan Polly ketika ia buru-buru ke toilet. "Saat itu ia duduk di sandaran kursi, kakinya menghalangi jalan," kata Asrini.
Coffee Bean berada di ruang terbuka, tak jauh dari gerbang D 42. Siapa pun yang duduk di kafe yang kerap disambangi Asrini itu akan terlihat dari mana pun. Malam itu Asrini tak mampir ke sana. Tapi jarak kafe dengan lokasi Asrini berada hanya dua-tiga meter. "Saya melihat siapa saja yang duduk di sofa kafe," katanya di persidangan, Agustus 2007.
Selain melihat Polly, Asrini mengaku melihat lelaki gondrong di kafe itu, yang belakangan diketahui bernama Raymond J.J. Latuihamallo alias Ongen. Pria ini penumpang di kursi 50H. Polisi langsung memeriksa seniman asal Maluku itu sepulang dia dari Belanda. Ongen juga dibawa ke Singapura untuk rekonstruksi.
Kepada penyidik, Ongen mengaku ada di kafe itu selama 10 menit. Ia membeli teh panas untuk menelan Decolgen. Saat mencari kursi, dia mengaku melihat Munir dan lelaki berkacamata—seperti tertulis dalam berita acara, bernama Pollycarpus. Keduanya berbincang sambil minum dari gelas plastik Polly. Ongen duduk di meja terpisah, dua meter dari mereka.
Di pengadilan, Ongen mengubah kesaksian. Ia mengaku hanya melihat Munir dengan lelaki, tapi bukan Pollycarpus. Dia mengaku ditekan polisi ketika bersaksi soal ini. Ongen meninggal beberapa bulan setelah pengadilan menjatuhkan vonis ke Pollycarpus.
Dari Coffee Bean, Munir merapat ke ruang tunggu. Drupadi Dillon, istri pengamat pertanian H.S. Dillon, yang duduk di kelas ekonomi nomor 58B, tak melihat Munir makan atau minum di ruang tunggu. Munir terlihat pucat ketika bertemu dengan Tarmizi Hakim, dokter ahli bedah jantung dari Rumah Sakit Harapan Kita, yang menyapanya.
Munir mengeluh sakit perut pada sepuluh menit pertama pesawat akan lepas landas dari Changi. Sempat mengoleskan obat gosok di perutnya, Munir minta obat maag kepada pramugari. Obat maag tak tersedia. Munir minta dibuatkan teh hangat.
Sakitnya kian parah 40 menit kemudian. Munir wira-wiri ke toilet, muntah. Dia minta dipanggilkan Tarmizi. Sayang, tak ada obat yang cocok di kotak medis pesawat. Tarmizi memberi Munir New Diatabs dan Zantacts untuk mengatasi diare. Tak berubah, Tarmizi menyuntikkan satu ampul Primperan ke lengan kanan Munir dan diazepam di bahu kirinya. Munir tetap bolak-balik ke toilet, sebelum akhirnya minta istirahat. Ia diberi tiga selimut di kursi kelas bisnis. Di situ Munir tertidur.
Napas Munir berhenti ketika Garuda melintasi langit Rumania. Hasil otopsi memperkirakan dia meninggal pukul 09.05 waktu Belanda atau pukul 12.05 WIB. Berdasarkan hitungan lama kerja racun di tubuh manusia, Munir diduga dihabisi di Bandara Changi, Singapura.
Hingga di persidangan, Pollycarpus menyangkal bertemu dengan Munir di Coffee Bean. Ditemui Tempo di penjara Sukamiskin, Bandung, pada Rabu dua pekan lalu, dia membantah semua tuduhan. "Itu semua rekayasa," katanya.
Terpidana 14 tahun penjara kasus Munir ini berkukuh pada alibinya bahwa dia tak ada di Coffee Bean karena sudah dijemput si Choi alias Jamaluddin di gerbang D42. Alibi Polly patah tatkala Jamaluddin—kepada penyidik yang memeriksanya di Singapura—pada Maret 2007 menyangkal mengantar Polly. Malah dia mengaku Polly memintanya mengubah waktu check out hotel.
Dia juga tak banyak bicara. Hingga laporan ini diturunkan, Jamaluddin menolak menjelaskan kepada Tempo ihwal pemeriksaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo