Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Polly Si Peluluk

Pollycarpus berperan sebagai jejaring lembaga telik sandi negara. Mendekati banyak aktivis dan berlibur di daerah rawan konflik.

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HENDARDI hanya bisa melongo ketika mendengar Suciwati menanyakan keberadaan pegawai bernama Polly kepada Direktur Utama PT Garuda Indonesia Indra Setiawan. Diam-diam otaknya berupaya mengingat nama itu. Hingga seketika kemudian memori pendiri Imparsial yang kini menjabat Direktur Setara Institute ini kembali tatkala Indra menyebut nama lengkap pegawai yang menurut dia adalah pilot armada Airbus itu: Pollycarpus.

"Seusai pertemuan, saya langsung menarik Suci dan menanyakan soal Polly," kata Hendardi pekan lalu mereka ulang betapa dia luar biasa mencoba menahan diri untuk tak membahas kelakuan Pollycarpus di depan bosnya. "Dia (Pollycarpus) juga sempat beberapa kali mendatangi kantor dan menghubungi saya."

Pertemuan tersebut digelar pada pertengahan Oktober 2004. Sekitar sebulan sebelumnya, suami Suciwati yang dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib, tewas dalam penerbangan GA-974 dari Singapura menuju Amsterdam, Belanda. Karena itulah, didampingi Hendardi beserta aktivis Imparsial, seperti Todung Mulya Lubis dan Poengky Indarti, Suci hendak mengetahui detail kematian suaminya.

Dalam pertemuan, Suciwati kadung penasaran dengan sebuah nama yang sebulan terakhir mengganjal di benaknya—dan karena itu dia menanyakannya. Lima hari sebelum suaminya berangkat, seseorang mengaku bernama Polly dari Garuda menghubungi nomor seluler Munir. Suci menerimanya karena Munir pergi menggandakan sejumlah dokumen. Polly, kata Suci, bertanya kapan tepatnya Munir berangkat karena dia juga akan pergi ke Belanda.

Munir, menurut Suci, hanya menyebut Polly sebagai orang aneh yang pernah dua kali bertemu dengannya di bandar udara ketika hendak pergi ke Swiss pada Mei 2004. Kala itu, Polly sempat menitipkan surat agar diposkan dari bandara tempat Munir mendarat. Permintaan itu ditolak Munir. "Mas Munir bilang orang itu sok akrab," ujar Suci.

Kelak pemilik nama lengkap Pollycarpus Budihari Priyanto itu benar-benar satu pesawat dengan Munir dalam penerbangan GA-974 dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Internasional Changi, Singapura. Keberadaan pria kelahiran Solo, 53 tahun lalu, ini makin mencurigakan setelah manajemen Garuda menginformasikan Polly-lah yang memindahkan tempat duduk Munir dari kelas ekonomi ke bisnis.

Mendengar cerita Suci malam itu, barulah Hendardi tahu Pollycarpus, yang sejak akhir 2003 dikenalnya, juga berkomunikasi dengan Munir. "Saya bertemu dengan dia beberapa kali," kata Hendardi. "Tak sekali pun dia pernah menyebut kenal dengan aktivis lain."

Hendardi masih ingat pertama kali bertemu dengan Polly di kantor Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Cikini, Jakarta Pusat. Waktu itu, Hendardi masih menjabat Ketua Dewan Pengurus PBHI. Berseragam putih, lengkap dengan atribut pilot, Polly datang mengantar dua orang yang katanya berasal dari Timor Leste.

Pada awalnya, Pollycarpus memang menyampaikan niat kedua rekannya itu untuk kembali ke Timor Leste. Dia mencari tahu apakah PBHI bisa membantu, terlebih Hendardi selama ini dikenal sebagai pengacara pemimpin Timor Leste, Xanana Gusmao. Ujung-ujungnya, Polly, yang mengaku pernah menjadi misionaris di Papua dan Timor Leste, mulai mendominasi pembicaraan dengan menanyakan situasi politik dan keamanan Indonesia.

Sejak saat itu, hampir setiap pekan Polly menghubunginya. Suatu kali, keduanya kembali bertemu dan Polly mulai menelisik "dapur" PBHI, dari jumlah cabang, area kerja, hingga sumber pendanaan. Tak curiga, Hendardi menjawab polos bahwa dana untuk lembaga bantuan hukum lagi seret. "Akhirnya, dia beberapa kali menawarkan tiket gratis khusus untuk saya jika ingin ke Papua," ujar Hendardi. "Dia bilang siap cuti untuk menemani."

Belakangan, ketika Hendardi menjadi anggota Tim Pencari Fakta Kasus Pembunuhan Munir, informasi soal gerak-gerik Pollycarpus yang misterius menggunung. Pada saat berhubungan dengan Hendardi dan Munir, Polly juga mengontak aktivis perempuan, Yeni Rosa Damayanti. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) juga memperoleh informasi bahwa Polly mendekati para aktivis Solidaritas untuk Penyelesaian Damai Timor Leste (Solidamor).

Di kantornya, seorang pilot Garuda Indonesia menyatakan Polly pernah memperlihatkan sebuah kartu pers kantor berita Antara atas nama Pollycarpus. Adapun wartawan Kantor Berita Radio (KBR) 68H, Citra Dyah Prastuti, hakulyakin pernah bertemu dengan Polly di Hotel Vina Vira, Lhokseumawe, sekitar Mei 2003. Kala itu, rombongan wartawan membanjiri Serambi Mekah ketika pemerintah Presiden Megawati menetapkan darurat militer di Aceh. "Dia mengaku pilot Garuda yang sedang berwisata," kata Citra. "Aneh sekali, wisata pada masa darurat militer."

Tak jelas apa niat Pollycarpus berkomunikasi dengan para aktivis, punya kartu wartawan, dan berada di daerah konflik. Namun temuan Tim Pencari Fakta, dan kelak putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 20 Desember 2005, menjawab perilaku ganjil itu. Pollycarpus punya kegiatan sampingan yang sama dengan pemilik nomor 0811900978.

Belakangan nomor itu diketahui milik Mayor Jenderal Purnawirawan Muchdi Purwoprandjono, Deputi V Bidang Penggalangan Badan Intelijen Negara. Dari penyidik hingga jaksa meyakini keterangan bekas Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi Budi Santoso, yang menyebutkan bekas Komandan Jenderal Kopassus itulah yang merekrut Polly menjadi peluluk alias intel.

Keyakinan mereka merujuk pada bukti-bukti catatan komunikasi yang cukup intens, sebelum dan sesudah kematian Munir, via telepon seluler dan telepon rumah antara Polly dan Muchdi. Keduanya juga kerap berhubungan lewat nomor rahasia, yang menurut catatan PT Telekomunikasi Indonesia adalah milik markas BIN.

Semula, hubungan keduanya diperkuat keterangan saksi-saksi yang pernah melihat Polly berada di lingkungan Pejaten—sebutan BIN, yang menunjuk markas mereka di daerah Jakarta Selatan. Anggota Staf Tata Usaha Deputi V BIN, Zondy Anwar dan Aripin Rachman, misalnya, dalam berita acara pemeriksaan keduanya, mengaku pernah melihat Polly di ruangan Muchdi. Begitu pula Suradi dan Imam Mustofa, sopir Muchdi. Tapi, belakangan, mereka ramai-ramai mencabut keterangan dalam persidangan.

Penelusuran Kasum menemukan hubungan Polly dan Muchdi yang ternyata telah dimulai jauh sebelum nama Munir berkibar. Berawal dari seorang kolega yang mengaku pernah satu sekolah dengan Polly di Papua, Poengky Indarti pun terbang mengecek informasi ini. Di sana, Direktur Eksekutif Imparsial ini mendapatkan pengakuan dari Sekolah Menengah Atas 1 Abepura yang menyatakan Polly adalah alumnus mereka. "Setelah tamat, dia bekerja di AMA," kata Poengky.

AMA yang dimaksud adalah Associated Mission Aviation, perusahaan penerbangan misionaris yang berbasis di Bandara Sentani, Jayapura. Awalnya, Poengky mendengar nama perusahaan ini langsung dari mulut Polly. Kala itu, Poengky dan Suci berjumpa dengan Polly dalam pertemuan ketiga dengan Garuda Indonesia.

Menurut keterangan teman-temannya di Jayapura, Poengky menjelaskan, Pollycarpus bekerja sebagai pilot AMA pada 1985-1988. Saat itu—Poengky meminta identitas narasumbernya tak dipublikasikan—Polly mulai mengenal Muchdi, yang bertugas sebagai Komandan Komando Distrik Militer 1701, Jayapura. Keduanya kerap berlatih menembak bersama.

Muchdi membantah keterangan yang disampaikan Poengky dalam persidangan enam tahun lalu. Adapun Pollycarpus, ketika ditemui Tempo dua pekan lalu, saat masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, tak membantah dan tak membenarkan keterkaitannya di lembaga telik sandi. "Tanya saja sama BIN. Tidak usah saya jawab, nanti kan dia jawab, apa saya anggota BIN atau bukan," ujarnya. "Saya bilang tidak, nanti dibilang iya. Saya bilang iya, nanti dibilang tidak. Iya kan?"

Yang jelas, setelah kasus Munir meledak, kecurigaan para pilot AMA terhadap Polly sedikit terjawab. Selama ini, mereka heran terhadap keputusan Garuda menerima Polly sebagai pilotnya, padahal di lingkungan AMA dia dikenal kurang cakap menerbangkan pesawat. Sedangkan pilot-pilot terbaik dari tempat yang sama paling banter masuk Merpati Airlines atau Airfast.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus