Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampul album itu bergambar sebuah perahu di pantai berpasir putih, berlatar langit dan laut biru. Berderet nama artis tenar asal Maluku yang tergabung dalam organisasi Insan Artis Asal Maluku atau Ina Ama ada di sana. Dari Bob Tutupoly, Harvey Malaihollo, hingga Yopie Latul. Juga ada nama Letnan Jenderal Purnawirawan Nono Sampono, yang didapuk sebagai bintang tamu. Jenderal marinir bintang tiga ini melantunkan lagu Di Tanah Orang karya Jhon Putuhena.
"Awalnya saya akan menyanyikan lagu karya Ongen untuk album itu, tapi batal karena suara saya tidak sampai," ujar Nono ketika Tempo berkunjung ke rumahnya di Tanjung Barat, Jakarta Selatan, pada akhir November lalu.
Nono mengenal Ongen—panggilan Raymond J.J. Latuihamallo—sejak kecil. Mereka pernah satu sekolah saat di bangku sekolah dasar. "Ia dua tingkat di bawah saya," kata Komandan Pasukan Pengamanan Presiden zaman Presiden Megawati Soekarnoputri ini. Hubungan itu terus terjalin saat mereka dewasa. Nono menjadi perwira tinggi TNI, sedangkan Ongen menjadi musikus sekaligus pengarang lagu.
Karier Ongen di bidang tarik suara diawali pada 1983, ketika ia merilis album pertamanya berjudul Mega Mega Biru, diiringi Jopie Item dan Pance F. Pondaag. Sejumlah lagu ciptaannya sempat tenar pada 1980-an, seperti Diantara Kita, yang dilantunkan Emillia Contessa dan masuk final Festival Lagu Populer Indonesia 1987. Setahun kemudian, lagu Untuk Kasih Sayang yang dinyanyikan Diana Nasution dan Vicky Vendy masuk final festival yang sama. Beberapa lagu yang dilantunkan Glenn Fredly, seperti Pantai Cinta dan Terpesona, juga besutan Ongen. Pria berambut gondrong itu banyak bergaul dengan para musikus. Ia pernah bergabung di Ina Ama; Nono merupakan ketua dewan pembinanya.
Pada 2000-an, Ongen bisa dibilang hampir tak pernah muncul di panggung musik nasional. Ia lebih banyak mengarang lagu Maluku dan lagu bernuansa rohani. Manggung-nya juga sering di gereja atau dalam kegiatan kerohanian. Sesekali ia terbang ke Belanda untuk menghadiri undangan manggung di Festival Tong Tong, semacam pasar malam tahunan yang diadakan warga Indonesia di sana.
Ongen kembali tenar pada 2007 ketika polisi menyebutnya dalam kasus pembunuhan Munir Said Thalib. Aktivis gerakan hak asasi manusia itu tewas diracun di atas pesawat Garuda GA-974 dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda, pada September 2004. Kecurigaan terhadap Ongen muncul tiga tahun setelah kejadian, sesudah polisi menyimpulkan racun masuk ke tubuh Munir kala pesawat transit di Bandar Udara Changi, Singapura.
Sejumlah saksi mengatakan melihat pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, Munir, dan Ongen bercengkerama di gerai The Coffee Bean & Tea Leaf di area Bandara Changi. "Saat itu seorang teman mengabari saya tentang kasus itu. Saya bilang saya tidak percaya Ongen terlibat. Dan hingga sekarang saya masih yakin itu," ujar Nono.
Ongen lahir di Desa Porto, Saparua, pada 3 April 1956. Ayahnya karyawan Pertamina. Sejak 1980-an, ia merantau ke Jakarta. Meski begitu, ia masih sering berkunjung ke Ambon. Di Ambon, ia cukup terkenal dan dianggap sebagai orang yang sukses di perantauan. Namun kawan atau tetangga di sana enggan berkomentar jika ditanya mengenai Ongen. "Oma Ongen sebagai keluarga dekat Ongen yang ada di Ambon sudah meninggal beberapa bulan lalu," kata Robby Sayori, bekas tetangga Ongen.
Hal senada diungkapkan salah seorang kerabat Ongen. "Jangan tanya saya. Saya hanya kebetulan satu marga dengan dia," ujar salah satu kerabat yang enggan disebut namanya.
Di Ibu Kota, Ongen tinggal di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. Ia banyak bergaul dengan kalangan musikus dan kerap mengisi acara kesenian gereja di Jakarta. Terkadang ia nongkrong di studio rekaman Gemini Records di kawasan Gudang Peluru, Jakarta Selatan. Dari sana, Ongen telah menghasilkan belasan album, yang sebagian besar lagu Maluku dan lagu rohani.
Selain di Ina Ama, Ongen bergabung dengan Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Maluku (Pappma) pada 2006. Letnan Jenderal Purnawirawan Suaidi Marasabessy—bekas Panglima Komando Daerah Militer Pattimura yang pernah menjadi Kepala Staf Umum TNI—adalah salah satu penasihat perkumpulan di sana. Namun, dalam sejumlah kesempatan, Suaidi membantah ada nama Ongen dalam perkumpulan itu.
Ongen terkenal ramah dan mudah bergaul. "Setiap bertemu dengan orang yang dikenalnya, ia pasti akan menyapa dan mengajak ngobrol," kata Nono. Ongen juga termasuk orang yang memperhatikan penampilan. Rambut gondrongnya selalu tersisir rapi, tak lupa kacamata hitam yang dipasangnya di atas kepala seperti bando.
Meski begitu, ia juga terkenal dekat dengan kalangan militer. Ketika kerusuhan di Bumi Pattimura meletus pada 1999, ia sering bolak-balik Jakarta-Ambon. Sejak 1990-an, Ongen memang disebut-sebut dekat dengan seorang perwira intelijen TNI berinisial HR. Konon, perwira inilah yang mengenalkan Ongen dengan dunia intelijen. Penyidik kepolisian juga membenarkan kabar bahwa Ongen anggota Badan Intelijen Negara. "Ongen itu BIN. Ada empat orang yang datang ke saya, mereka ditarik oleh Ongen," ujar polisi yang enggan disebut namanya itu.
Nono mengatakan tak yakin Ongen agen BIN. "Setidaknya saya belum pernah mendengar informasi kalau Ongen adalah agen," ujarnya. "Ongen memang mengenal sejumlah perwira tinggi TNI, termasuk saya, tapi itu pergaulan biasa."
Kepala BIN Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Marciano Norman melalui Direktur 6.4 BIN membantah kabar bahwa lembaga telik sandi negara itu memiliki hubungan dengan Ongen. "Ongen bukan agen ataupun organik BIN. BIN tidak punya hubungan dengan Ongen," katanya.
Pria bertubuh kekar dan tegap itu tampak selalu sibuk dengan telepon seluler di tangannya. Mengenakan kaus dan celana jins hitam, ia sesekali menelepon atau mengirim pesan pendek. Wartawan Tempo Asmayani Kusrini tanpa sengaja bertemu dengannya di rumah F.M.B. Pattinasarany, paman Ongen, di kompleks Wijk, Breda, Belanda, pada pertengahan April 2007.
Rumah pria yang biasa disapa Opa Bomy itu berlantai dua, berukuran sekitar 5 x 7 meter, dengan halaman kecil di depannya. Di sana, Opa Bomy tinggal seorang diri. Bila ke Belanda, Ongen sesekali berkunjung dan menginap di rumah Opa Bomy. Ketika Tempo menanyakan keberadaan Ongen, Opa Bomy mengatakan, "Tidak tahu pergi ke mana."
Pada saat itu Tempo bertemu dengan pria kekar berbaju hitam tadi. Ia tak banyak bicara, tapi mengaku sebagai alumnus Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) Polisi angkatan 1990 dan sedang mendapat tugas penting. "Disuruh mencari tahu Ongen di Belanda ada di mana," ujarnya. Sebelum pergi, ia memberikan nomor telepon dan meminta dihubungi setelah Tempo selesai wawancara dengan Opa Bomy.
Menjelang sore, Tempo menemui pria itu di Woonboulevard, pusat belanja di pinggiran Breda. Sambil minum kopi di salah satu restoran, ia mengaku sebagai mantan intel yang sudah sepuluh tahun tinggal di Belanda. Pria itu mendapat perintah dari seorang perwira tinggi di Jakarta untuk mencari Ongen.
Ia mengklaim mengenal Ongen sejak 2003 dan tahu aktivitas Ongen di Belanda. Ditanya apa tujuannya mencari Ongen, dia menjawab singkat: "Saya hanya disuruh memberi tahu Ongen, hati-hati karena dia lagi dicari."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo