Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA usia 48 tahun, perawakan Rochi Putiray hampir tidak berbeda dengan saat ia membela tim nasional sepak bola Indonesia pada 1990-an. Tubuhnya yang 1,74 meter tetap langsing. Gerakannya lincah seperti saat dua kali menjebol gawang AC Milan, 15 tahun silam. Sepatu beda warna, ciri khas penampilannya, dia pertahankan. Hanya, rambutnya tidak lagi berkelir terang seperti dulu.
Rochi kembali membuat riuh persepakbolaan nasional. Saat Liga 1 menyisakan dua pertandingan, awal Desember lalu, dia menyatakan Persija Jakarta—waktu itu di peringkat kedua dengan selisih satu poin di bawah PSM Makassar—diatur agar menjadi juara. Pada hari pertandingan terakhir, Ahad, 9 Desember, omongannya menjadi kenyataan. Persija mengalahkan Mitra Kukar 2-1 di hadapan 77 ribu penonton di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. “Melihat dua gol Persija, itu rekayasa,” kata pencetak dua gol pada SEA Games 1991 di Manila—turnamen terakhir tim Garuda yang menghasilkan emas—itu. Dia hakulyakin wasit membantu kemenangan tim berjulukan Macan Kemayoran tersebut.
Rochi percaya pengaturan hasil pertandingan terjadi di Liga 3 sampai Liga 1, juga di tim nasional. Dia merasakan sendiri rayuan match fixer yang mengguyurnya dengan Rp 50 juta untuk tidak mencetak gol. “Saya ambil uangnya, tapi saya cetak dua gol,” ucapnya, enteng.
Kamis malam pekan lalu, Rochi menerima wartawan Tempo, Reza Maulana, untuk wawancara khusus di Studio Coffee, Tebet, Jakarta Selatan. Dia didampingi Budi Sudarsono, mantan tandemnya di lini serang tim Garuda. Keduanya sama-sama menjauh dari hiruk-pikuk sepak bola nasional. “Seperti Rochi, saya lebih tertarik ngelatih anak-anak karena mereka tidak terkontaminasi,” tutur Budi, 39 tahun.
Apa yang membuat Anda yakin Persija diatur untuk menjadi juara Liga 1?
Kunci yang membuat saya yakin Persija bakal jadi juara adalah pertandingan melawan Persipura, 25 Oktober lalu, di Jayapura. Saya tidak pernah nonton sepak bola Indonesia karena sudah tahu siapa yang akan menang. Tapi, waktu itu, saya sedang nongkrong bersama teman-teman di Solo. Mereka menonton streaming siaran langsung di telepon seluler. Awalnya seri, 1-1. Tapi semua kaget saat tuan rumah kalah 1-2. Saya bilang, Persija pasti jadi juara.
Mengapa Anda langsung menuding itu hasil match fixing?
Sejak zaman saya bermain, hampir mustahil bisa mengalahkan Persipura di kandang mereka. Persija juga mengalahkan Persipura 2-0 di Jakarta. Di luar kepemimpinan wasit dan faktor nonteknis lain, ada hal yang dibikin sama pengurus. Misalnya lihat Persib Bandung dan PSM Makassar, pesaing Persija di tiga besar klasemen. Di satu pertandingan sebelum terakhir, 3 Desember, melawan Bhayangkara FC di Jakarta, PSM seharusnya bisa menang. Kalau menang, PSM menjalani pertandingan terakhir dengan keunggulan satu poin. PSM membombardir dengan segala macam cara, tetap tidak bisa menang. Seri, 0-0. Lalu Persib, yang terus digembosi di putaran kedua.
Bukankah Persib kehilangan banyak poin setelah sanksi tragedi kematian Haringga, suporter Persija, di Bandung pada 23 September, dengan hanya sekali menang dalam sebelas pertandingan terakhir?
Sebelum itu, Persib sudah mulai dikerjain. Pemain intinya banyak dikenai larangan bermain. Saat satu tim, yang biasanya punya lima atau enam pemain kunci, kehilangan satu pemain saja, tim itu pincang. Apalagi kehilangan dua-tiga pemain.
Hingga pertandingan terakhir, PSM juga masih berpeluang jadi juara….
Waktu saya sampaikan Persija pasti jadi juara, sisa dua pertandingan. PSM, yang waktu itu masih unggul satu poin, akan melawan Bhayangkara di Jakarta. Persija melawan Bali United di Bali. Persija main duluan pada 2 Desember, menang 1-2. Sebelumnya, pelatih Bali, Widodo C. Putro, mengundurkan diri. Saya tanya Francis Wewengkang (teman seangkatan Rochi dan Widodo di tim nasional), katanya Widodo mundur karena ada klausul tiga kekalahan berturut-turut. Saya tidak percaya. Pasti ada sebab lain. April-Mei lalu, Bali juga kalah tiga kali beruntun. Kalau Widodo masih melatih, minimal seri melawan Persija. Enggak mungkin sampai empat kali kalah berturut-turut.
Bisa saja Bali United sedang apes....
Widodo pelatih dengan prinsip kuat. Dia membawa Bali United ke AFC Cup setelah menjadi runner-up Liga 1 2017.
Anda menonton pertandingan terakhir Liga 1 pada 9 Desember?
Saya baru nonton rekamannya setelah ramai di media sosial.
Adakah keputusan wasit yang mengarah ke pengaturan hasil pertandingan?
Melihat dua gol Persija, menurut saya, itu rekayasa. Dalam arti, bagaimanapun, Persija harus jadi juara. Wasit mencari celah untuk mencapai itu. Gol pertama dari penalti. Apa dasar pemberian penalti?
Bukankah Marko Simic, penyerang Persija, dilanggar bek Saepulloh Maulana di kotak penalti?
Bagaimana bisa? Waktu itu bek lagi menjaga pemain lain (Novri Setiawan, gelandang sayap Persija). Simic melompat untuk mengambil umpan silang, menabrak bek itu, dua-duanya terjatuh. Apalagi dua menit sebelumnya PSM, yang main berbarengan, sudah unggul atas PSMS Medan di Makassar. Pada gol kedua, masak wasit enggak melihat pelanggaran Ramdani Lestaluhu, gelandang Persija, yang menahan kiper Mitra Kukar, Yoo Jae-hoon. Akibatnya, kiper tidak bisa menghalau bola atas dan disundul Simic.
Mungkinkah itu kealpaan wasit tanpa ada unsur pemihakan?
Kalau satu kali kesalahan, mungkin bisa. Tapi masak sampai dua kali? Pelanggaran Ramdani terjadi di kotak kecil, yang seharusnya seratus persen menjadi wilayah kiper. Mungkin saja penglihatan wasit terhalang karena di kotak penalti ada banyak pemain, tapi seharusnya hakim garis melihat. Enggak mungkin enggak terlihat. Itu hal yang biasa terjadi di sepak bola kita.
Biasa bagaimana?
Kembali lagi ke Liga 2, saat PSS Sleman menang 1-0 atas Madura FC (pada babak delapan besar Liga 2 di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta, 6 November lalu) itu offside-nya sampai dua meter. Tidak mungkin wasit dan hakim garis tidak ada yang melihat. Masak, di semua pertandingan penting ada kesalahan wasit?
Pelatih Persija, Stefano “Teco” Cugurra, membantah dengan fakta Mitra Kukar dapat menggagalkan kemenangan Persija dengan adanya penalti di menit ke-71. Namun kiper Andritany menghalau tembakan Fernando Rodriguez….
Saya malah melihat hal lain yang lebih aneh. Masak, orang habis jadi juara, pelatihnya malah dipecat?
Teco beralasan mencari tantangan baru setelah dua musim di Ibu Kota....
Ini peristiwa langka, lho. Pelatih yang habis membawa timnya menjuarai liga dan Piala Presiden kontraknya tidak diperpanjang. Apalagi sebentar lagi mesti mempersiapkan diri di turnamen Asia. Penggantinya, Ivan Kolev, seberapa bagus catatannya?
Saat masih bermain, Anda sempat merasakan pengaturan hasil pertandingan?
Ya. Tapi, buat saya, itu enggak penting. Saya sudah tanda tangan kontrak. Tugas saya cuma berlatih dan bermain.
Tidak ingin jadi juara?
Semua tim pasti menargetkan jadi juara. Tapi, melihat satu-dua pertandingan dikerjain wasit, jadi tidak lagi memikirkan itu. Misalnya tim kami sudah menang, lawan mendapat penalti dengan alasan konyol. Lama-lama jadi merasa biasa. Jadi saya main semata karena senang dan membuat badan sehat.
Anda pernah ditawari uang agar tidak mencetak gol. Bagaimana ceritanya?
Pertama kali saat saya main di Arseto Solo, lupa tahun berapa. Waktu itu kami akan melawan Barito Putra. Barito terancam terdegradasi. Ada yang mendatangi saya. Namanya Andi Ahmad, mantan pemain Barito. Dia nawarin uang, tapi saya tolak. Gaji saya lebih gede. Tawaran kedua, saat saya bermain di Persijatim pada 2003. Kami akan melawan PSM Makassar, yang mau ke babak delapan besar. Datang orang yang sama, Andi Ahmad. Saya ditawari Rp 50 juta dengan syarat tidak mencetak gol ke gawang PSM.
Orang itu pengurus PSM?
Bukan. Dia runner (pelaksana pengaturan hasil pertandingan). Saat itu saya baru tahu, seperti itulah runner bekerja.
Anda terima tawarannya?
Saya ambil uangnya karena saya anggap ini gaji yang belum PSM bayarkan. Setahun sebelumnya, saya bermain di PSM dengan gaji Rp 50 juta sebulan, tapi mereka tidak membayar tiga bulan gaji saya. Saya juga lapor ke manajer soal Rp 50 juta itu. Saya bilang, kalau nanti saya bermain jelek, saya terima semua sanksi. Ternyata, saya bikin dua gol dan PSM tidak lolos ke babak delapan besar.
Runner itu tidak marah?
Dia tidak pernah nongol. Baru ketemu lagi setelah saya bermain di PSPS Pekanbaru pada 2004-2005. Kami menghadapi Pelita Krakatau Steel di babak delapan besar di Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung. Andi Ahmad datang lagi, menawarkan duit. Saya cuma bilang, “Kamu enggak kapok dulu Rp 50 juta-nya saya ambil.” Dia langsung pergi. Jadi saya tiga kali ditawari uang untuk match fixing, di tiga klub berbeda, oleh orang yang sama. Terakhir dia menjadi Manajer PS Mojokerto Putra (periode 2014-2015). Bagaimana liga mau berjalan benar kalau runner bisa menjadi manajer tim? Tidak aneh Mojokerto Putra kena sanksi larangan main sepanjang 2019 karena pengaturan skor. (Meski tidak lagi tercantum dalam kepengurusan, Andi Ahmad dipanggil Komisi Disiplin Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia terkait dengan pengaturan laga di Liga 2 musim 2018.)
Anda merasakan gangguan match fixing saat bermain di klub Hong Kong?
Tidak ada. Bermain di sana lebih enjoy. Mungkin karena judi legal. Kita cukup beli tiket seperti beli tiket kereta, pasang taruhan. Kalau tebakan benar, bisa ambil uang di loket mana pun. Semua transparan.
Selain dari runner, adakah intervensi dari manajemen klub terkait dengan hasil pertandingan?
Saat saya di PSPS Pekanbaru. Waktu itu saya kapten. Pas meeting, manajer panggil saya. Dia bilang akan membayar wasit. Saya bilang, daripada bayar wasit, mending uangnya dipakai buat menambahi bonus teman-teman.
Pertandingan melawan siapa?
Saya lupa lawannya. Cuma ingat waktu itu kami harus menggeser laga kandang ke Padang karena kena sanksi.
Manajemen mengikuti saran Anda?
Saya tidak tahu tindak lanjutnya.
Dalam pertandingan itu Anda merasa PSPS diuntungkan wasit?
Enggak juga, karena wasit belum tentu cuma dapat dari kami. Bisa dapat juga dari tim lawan. Kalau ujungnya kami kalah, mereka cuma bilang sudah memimpin pertandingan dengan maksimal.
Ada pengalaman pengaturan laga tim nasional?
Di tim nasional SEA Games 1997 di Jakarta. Di pertandingan terakhir fase grup, kami melawan Filipina. Sebelum pertandingan, kami sudah pasti lolos ke babak knockout. Kami menang 2-0, tapi malah dimaki-maki manajer, Andre Amin (almarhum). Dibilang goblok, tolol. Belakangan, ada kabar kami seharusnya menang 5-0 karena ada pengurus federasi yang bertaruh dengan skor itu.
Pada 2014, Anda menyatakan juara liga Indonesia bisa diketahui sebelum kompetisi berakhir dan membuat marah pendukung Persipura, juara 2013. Sekarang juga mendapat ancaman?
Banyak, di media sosial. Kalau kelewatan, saya direct message, kasih alamat tempat tinggal dan nomor telepon. Saya bilang, saya tunggu bacotmu. Tidak ada jawaban.
Anda aktif di sepak bola sejak Ketua Umum PSSI dijabat Kardono pada 1983-1991. Bagaimana memandang kepengurusan Ketua Umum Edy Rahmayadi selama dua tahun ini?
Saya menyesalkan kepergian Luis Milla (pelatih tim nasional 2017-2018). Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha ngerti sepak bola enggak, sih? Dari mana mereka menilai kegagalan Milla? Di bawah Milla, cara bermain timnas meningkat jauh. Bisa masuk 16 besar Asian Games, dengan rata-rata kualitas lawan di atas Indonesia, bukan hal mudah. Pengurus menyalahkan pelatih karena tidak memberikan hasil. Saya kembalikan, memang Pak Joko Driyono (Wakil Ketua Umum PSSI) sudah berapa abad di PSSI? Dia menjadi pengurus sejak kepengurusan Pak Azwar Anas (1991-1999). Sudah enam ketua umum. Apa hasilnya? Yang ngurus sepak bola tidak harus orang pintar atau bisa bermain bola. Banyak orang pintar di PSSI, tapi kejujurannya kurang.
Sekarang PSSI dipimpin gubernur….
Nah, bisa jadi jenderal dan gubernur, Pak Edy Rahmayadi kurang pintar apa? Jadi apa yang salah?
Waktunya tersita karena melayani warga Sumatera Utara?
Kalau tidak cinta sepak bola, pasti dia tidak punya waktu. Tapi, kalau cinta sepak bola, mau berprestasi, dia bisa memilih, mana yang lebih penting. Jadi ketua umum atau gubernur.
Seberapa besar harapan Anda terhadap Satuan Tugas Antimafia Bola?
Saya senang banget dengan adanya satgas itu. Sudah lima yang tertangkap. Itu cukup membuka mata masyarakat bahwa match fixing itu benar-benar terjadi. Sekarang baru Komite Eksekutif dan wasit. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ada mantan pemain yang ketangkap, ada pemain aktif yang ketangkap, ada pelatih ketangkap. Itu akan sangat membantu penyadaran penonton.
Kesadaran penonton seperti apa?
Saya cuma mengulangi pernyataan Manajer Madura United Haruna Soemitro. Dia bingung kepada suporter PSS Sleman yang pasang spanduk “Mbuh, Piye Carane Kudu Menang, Ra Urusan“ (apa pun caranya, harus menang). Kesannya menghalalkan segala cara. Contohnya saat gol offside dua meter itu. Penonton tahu kok itu offside. Tapi mereka merayakan dan bersyukur. Kita jadi bingung, doa apa yang mereka panjatkan kepada Tuhan?
Sorotan mengarah kepada anggota tim nasional Piala AFF 2010, yaitu Maman Abdurrahman, Hamka Hamzah, dan Markus Haris. Bagaimana Anda melihat tudingan ini?
Mereka sudah dituduh, tapi mereka juga sudah memberikan klarifikasi. Dengan keberadaan satgas, saya berharap kasus ini terungkap. Siapa yang benar, siapa yang salah. Adik-adik pemain bisa membantu satgas dengan berbicara. Yang ditunggu dari kerja satgas adalah pemain karena mereka pelaku di lapangan.
Mengapa dulu Anda doyan bergonta-ganti kelir rambut?
Sejak awal 1990-an, saya sudah bolak-balik masuk timnas dan jadi pemain inti di Arseto. Jadi kehilangan motivasi. Pada 1994, prestasi saya drop. Mulai cari sensasi. Kebetulan lihat John Banting di iklan sabun cuci Daia. Saya coba-coba bikin sendiri pakai cat semprot sebelum pertandingan. Awal main, ngejreng. Babak kedua, hujan, luntur semua. Akhirnya ke salon. Begitu tahu caranya, saya cat sendiri. Sering berangkat ke stadion masih pakai penutup kepala.
Cat rambut jadi motivasi?
Ya. Di lapangan, lawan pada sorakin, “Banyak gaya, lu!” Jadi pusat perhatian membuat motivasi saya tumbuh lagi. Saya bisa berlatih sehari tiga-empat kali. Pukul 11 siang saya masih joging dari Pasar Kembang sampai Kartasura, bolak-balik. Seminggu tiga kali fitness sampai malam.
Dua dekade sebelum tren sepatu sepak bola beda warna, Anda sudah mengenakannya. Ide dari mana?
Saya bertemu dengan pemain Vietnam di Pra-Piala Asia 1996. Tim mereka baru terbentuk. Mereka pakai sepatu KW (palsu) yang gampang sobek. Sisa yang utuh dipakai. Bisa kanan Nike, kiri Adidas. Saya pikir, asyik juga nih. Dua tahun kemudian, mereka rapi. Sekarang kita kalah terus oleh Vietnam.
Anda dituduh pakai ilmu gaib karena sering menanggalkan decker (pelindung tulang kering) saat bertanding. Betulkah?
Orang bilang saya pakai susuk, silakan. Yang terjadi adalah setiap akan terjadi benturan, saya bersiap. Dengan begitu, semua otot tubuh saya juga bersiap dan tidak mengalami cedera.
Namun lawan Anda banyak yang cedera....
Di Hong Kong, saya dijuluki goalkeeper killer. Setiap kali saya berbenturan dengan kiper, mereka cedera. Tapi tidak pernah sekali pun saya berpikir ingin mencederai lawan. Saya memang tidak pernah menghindari benturan. Sekalinya menghindari, malah cedera. Itu waktu membela timnas melawan Sampdoria di Stadion Teladan, Medan, pada 1996. Saya patah tulang betis karena terkena pool sepatu kiper.
Rochi Melkiano Edfen Putiray
Tempat dan tanggal lahir: Ambon, 26 Juni 1970
Posisi: Penyerang
Tinggi: 1,74 meter
Pekerjaan: Pelatih Sekolah Sepak Bola R21 di Solo, SSB Gelora Putra di Jakarta, tim amatir Jakarta 69, dan Nitro FC di Jakarta
Pendidikan: Sarjana Ilmu Administrasi Universitas Surakarta, S-2 Hukum Universitas Surakarta-ASMI (belum lulus)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo