Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARANGKALI belum pernah ada pameran seni rupa (di Indonesia) yang melibatkan begitu banyak orang—hampir semuanya perempuan—seperti “Multiple Hands” karya “Mulyana dan Kawan-kawan” di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 3-26 Agustus 2018. Pameran ini tidak cuma menyebut nama senimannya, tapi juga semua nama dalam komunitas Konco Mogus. Tujuh puluh lebih nama perempuan dan segelintir laki-laki yang mengerjakan proyek ini muncul dalam tulisan kurator, bukan sekadar basa-basi ucapan terima kasih di halaman akhir katalog pameran.
Konco Mogus adalah nama kelompok perajut (anggotanya adalah ibu-ibu) di Yogyakarta yang dibikin oleh Mulyana untuk mengerjakan proyek-proyeknya yang berbasis rajut benang. Inilah tangan-tangan yang melahirkan proyek “Multiple Hands”, karya instalasi rajut berukuran besar yang menempati semua ruang pamer di Selasar. Puluhan tangan terampil ibu-ibu inilah yang pada kanon seni rupa (modern) memperoleh stigma sebagai “skill”. Keterampilan tangan adalah kerajinan (craft), kesibukan tambahan, melibatkan pekerjaan fisik atau manual; dibedakan dengan proses-proses mental yang melahirkan seni yang sesungguhnya (“the work of art proper”).
Satu. TEMPO/Yovita Amalia
Pameran “Multiple Hands” yang dirancang Mulyana walhasil seperti sebuah metafora perihal kemajemukan dan moralitas kerja bersama yang menautkan lagi tradisi kerja tangan (handmade), kerajinan rumahan (home craft), dengan budaya vernakular atau yang sehari-hari. Sementara estetika seni murni memberi julukan “puisi” pada lukisan dan patung karena obyek-obyek itu “non-fungsional”, di luar tradisi tersebut orang menggolongkan kerajinan dan kesenian dekoratif sebagai “prosa” karena fungsinya yang sekadar memperindah.
Mogus (Monster Gurita) adalah karakter ciptaan Mulyana 10 tahun lalu yang dibikin dengan teknik pompom (menggulung benang pada jari atau dengan benda tertentu, membentuk bola). Prinsip menyusun adalah intuisinya sejak kecil melalui permainan Tazos, yang populer pada 1990-an. Ketika belajar seni rupa di Universitas Pendidikan Indonesia pada 2005-2011, Mulyana mengikuti kelas origami dan merajut yang diadakan Toko Buku Kecil (Tobucil) di Bandung, komunitas para perajin pemula dan pembaca buku. Di sinilah ia mulai mempraktikkan teknik-teknik rajut benang, seperti amigurumi, crochet, dan knitting.
Kosong. TEMPO/Yovita Amalia
Amigurumi adalah teknik rajut benang yang dipakai untuk membikin bentuk-bentuk mungil seperti boneka atau mainan. Amigurumi toys muncul sebagai kecenderungan populer di Jepang pada awal 1970-an sebelum menjalar ke luar benua, terutama Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 2000-an. Teknik crochet dan knitting memberi berbagai kemungkinan teknik rajut benang dengan macam-macam jarum pengait. Pekerjaan home craft yang biasa dilakukan ibu-ibu di rumah inilah yang justru menantang imajinasi dan kesenimanan Mulyana.
Pada 2013, Mulyana pindah ke Yogyakarta dan makin merasa mantap dengan material benang. Ia menciptakan “Mogus World I” (2012) di Ruang Gerilya di Bandung dan setahun kemudian berpameran “Mogus World II” di Kedai Kebun Forum di Yogyakarta. Pada 2015, konfigurasi karya rajut Mulyana makin menemukan titik-titik perkembangannya yang sangat menarik, muncul dalam pameran Art | Jog | 8. Prinsip do it yourself sebagai ekspresi “budaya bawah”, estetika penciptaan patung lunak melalui teknik merakit, merajut, dan tempel-menempel berpadu dengan pendar cahaya artifisial di ruang pameran melalui interaksi pengunjung dengan kepekaan sensor. Dengan karya itu, Mulyana meneguhkan pekerjaan tangan atau keterampilan kriya tidak hanya sebagai keindahan dekoratif. Ini juga sebuah sensasi rupa yang baru pada karya instalasi yang terasa -sementara tapi meninggalkan sensasi kuat pada mata. Dalam konteks relasi-gender, kurator Maradita Sutantio menulis, dengan karya rajut, Mulyana telah “menerobos batasan (berkarya) yang biasanya hanya berlaku untuk suatu gender tertentu”.
Sea Remembers. Mulyana
Kreasi Mogus yang “prosais”, mungil, dan lucu tetap menjadi titik pijak gagasan bentuk-bentuk artistik pada karya Mulyana. Kreativitas ini meluas, menjadi konfigurasi lanskap imajinatif dunia bawah laut yang merayakan keberagaman rupa dan sensasi warna-warni benang yang terasa sebagai langgam budaya populer sedunia. Karya “Mogus World III” (2018) adalah representasi kreativitas dari seniman “perajin” yang percaya diri sekaligus bergelut dengan politik kerja berbasis komunitas yang menawarkan etika-sosial dalam penciptaan karya seni kontemporer. Mulyana berupaya melampaui sebuah stereotipe seni rupa dekoratif dan membuka jalan baru bagi kepekaan tangan di sekitar kita. Ia mengembalikan lagi keindahan karya seni melalui sensasi indrawi, menciptakan puisi visual untuk mata.
Dalam karya yang disajikan di ruang pamer yang lain, masing-masing bertajuk Satu dan Kosong (keduanya dibuat pada 2018), Mulyana menyajikan konfigurasi berbeda yang terasa lebih metaforik. Karya Satu adalah pepasang atau kerja rakitan benang yang menggunakan satu jenis benang rajut berwarna putih. Semua bentuk Mogus dan terumbu karangnya memendarkan putih seperti sebuah perlambang dunia yang lain. Pada karya Kosong, ia menggunakan benang wol yang didominasi warna hitam dengan dinding yang seluruhnya dicat hitam. Karya instalasi rajut yang monokromatik ini membawa kita pada suasana yang lain, pada semacam renungan atas kehadiran sesuatu yang magis. Pesona visual yang dirayakan pada “Mogus World III” dalam dua karya ini terasa diredam untuk menemukan suasana batin tertentu melalui kerapuhan benang.
Mulyana dan Mogus (karakter ciptaannya). Narotama
Dalam pameran “Syukuran 10 Tahun Perjalanan The Mogus”, Mul-yana membawa seni dekorativisme—selama ini selalu memiliki konotasi peyoratif (dianggap remeh)—pada langgam kreativitas baru yang mengunggulkan kerja tangan dan sensasi material yang sangat sederhana: benang. Dengan rajutan benang, Mulyana menghubungkan sejumlah titik kritis dalam dunia seni rupa kita: kelas atau hierarki dalam seni, politik dan moralitas kerja, serta relasi gender.
HENDRO WIYANTO, PENGAMAT SENI RUPA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo