SUDAH tiga bulan sekolah dibuka, tapi tak seorang murid pun mendaftar ke SD Inpres Desa Ciririp. Padahal, Chotib, kepala SD itu, mesti membuat laporan ke pusat bahwa sekolah yang dipimpinnya sudah berjalan. Anak-anak desa di dekat Bendungan Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, itu bukannya tak mau bersekolah. Hanya, selama ini mereka sudah menuntut ilmu di madrasah ibtidaiyah Nahdhatul Athfal, pimpinan Achmad, 49. Sedangkan di desa yang agak terisolir itu jumlah penduduknya terbatas. Belum lama ini sewaktu Achmad mengikuti penataran di Cimahi, Chotib diamdiam membujuk murid-murid madrasah. Terhitung 29 anak yang dapat digiringnya memasuki bangunan SD Inpres yang terdiri dari tiga kelas itu. Tentu saja, sewaktu Achmad kembali, suasana agak sedikit panas. Ia merasa tak senang. Dan, untungnya, anak-anak pun tampaknya lebih senang belajar di madrasah. Mereka yang sempat terbujuk akhirnya hanya dua hari di SD Inpres itu, lalu kembali ke ibtidaiyah. Sengketa rebutan murid itu akhirnya sampai ke telinga pejabat tingkat kecamatan. Jalan keluar segera diputuskan: waktu belajar anak didik dibagi dua. Pagi di madrasah, siang di SD Inpres. Namun, kebanyakan anak didik keberatan: tercatat hanya tiga anak yang mau masuk siang harinya di SD. Mereka kelihatannya lelah. Untuk apa, sebenarnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini