Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Senja di negeri sosialis

Soviet tak lagi muram seperti periode kepemimpinan stalin. mikhail gorbachev, 58, merubahnya dengan trinitinya: glasnost, perestroika & demokratizatya. KGB makin ramah. rakyat bebas mengkritik pemerintah.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah perubahan menarik tampaknya sedang berlangsung di negeri-negeri sosialis, terutama Eropa Timur, memasuki abad ke-21 kini. Konsep-konsep sosialisme lama diingkari, dan konsep baru diterapkan. Dan orang melihat, konsep baru tak untuk memperbaiki sosialisme, tapi untuk meninggalkannya. Selingan berikut, cacatan singkat tentang perubahan-perubahan itu, ditulis oleh Praginanto, berdasarkan riset perpustakaan oleh Yudhi Soerjoatmodjo. BARANGKALI komunisme sedang memasuki masa senja. Tuntutan mahasiswa di Republik Rakyat Cina -- didukung oleh cendekiawan dan kaum akademisi serta wartawan, juga oleh buruh dan petani -- akhir-akhir ini, untuk diterapkannya demokrasi, tak ada dalam kamus komunisme. Perubahan-perubahan yang berlangsung di Soviet, Polandia, dan Hungaria terutama, tak bisa disebut sekadar tambal-sulam sistem sosialisme. Kini Gorbachev tentu menolak bila dikatakan reformasi politik dan ekonominya mengarah ke sistem yang lebih bebas, liberal -- suatu bentuk sosial-ekonomi-politik yang lazim disebut kapitalistis. Tapi cobalah dengar kata Gorby sekian tahun yang lalu. Ia mengecam "deformasi" ekonomi yang dilakukan Stalin. Ia mengkritik keras "kemacetan ekonomi"-nya Brezhnev. Lalu ia lahirkan triniti: perestroika, glasnost, dan demokratizatya. Boleh saja ia mengatakan bahwa itu bukan sistem kapitalisme, melainkan sosialisme baru. Yang jelas, semua itu sudah jauh dari sistem sosialisme pada lazimnya, dari patokan yang diletakkan oleh Marx. Dan ingatlah keluhan Zhao Ziyang, Sekjen Partai Komunis Cina yang kini sedang bersaing keras dengan anggota Politbiro yang lain, juga dengan Deng Xiaoping. Katanya, "Setelah 40 tahun berjalan, kami masih saja berada di tahap awal sosialisme." Pertanyaannya kini adalah, di negeri manakah yang disebut sosialisme -- yakni sosialisme sebelum ada reformasi dari Gorbachev -- mendatangkan kesejahteraan, dan karenanya disebut berhasil? Sosialisme yang bisa berderap seiring dengan tuntutan zaman? Bisa jadi pertanyaan itulah yang melahirkan glasnost dan pasangannya itu. Apalah atinya sosialisme tanpa pasar bebas dan demokrasi? Kemacetan di salah satu dari dua itu mau tak mau akan menimbulkan frustrasi. Krisis di RRC kini adalah sebuah contoh. Para pemimpin negeri sosialis mesti menghadapi kenyatan itu. Kenyataan bahwa reformasi ekonomi dan politik bukanlah makin mendekatkan orang pada sosialisme, tapi makin menjauhinya. Barangkali sosialisme memang sedang memasuki masa senjanya. UNI SOVIET DARI udara. Moskow memang tak berubah. Kota dengan bangunan-bangunan yang kaku dan lapangan-lapangan kosong itu bak kapal tua yang terdampar di pantai dan dilupakan. Sebuah kesan muram dan kelabu yang mengingatkan orang pada Stalin yang memimpin Soviet dengan tangan besi. Tapi cobalah menukik dan mengamati detailnya. Di sebuah kelas di Sekolah No. 32, misalnya, tiba-tiba seorang murid lelaki berusia 13 tahun mengacungkan tangannya dan bertanya kepada Ibu Guru tentang pentingnya agama bagi manusia. Sungguh, 4 tahun yang lalu hal seperti itu musykil terjadi. Agama adalah salah satu tabu dari banyak larangan di Soviet. Kata penyair kondang Bulat Okudzhava: "Selama ini rakyat Soviet diubah menjadi manusia patuh dan penakut." Tapi kini, tahun 1989, bukan saja ada keberanian bertanya hampir tentang segala hal, guru-guru pun dengan senang menyediakan waktu buat sebuah diskusi. Lihatlah Bu Guru Galina Boyko, guru kesusastraan itu. Ialu mendiskusikan agama selama setengah jam dengan murid-muridnya. Di kelas lain, di sekolah lain, Kepala Sekolah Semyon Boguslovsky membuka diskusi bebas. Volodkya, 16 tahun, maju ke depan. Ia lalu mengecam pemerintah yang menurut dia terlalu banyak bicara tapi sedikit yang menjadi kenyataan. Itulah perubahan di Uni Soviet, yang kini jarang disebut-sebut sebagai Negeri Tirai Besi. Semua itu terjadi setelah seorang lelaki kelahiran tanah hitam Rusia Selatan memimpin negeri serikat berpenduduk sekitar 285 juta itu sejak Maret 1985. Mikhail Gorbachev, 58 tahun, pemimpin itu, kini senng diibaratkan Tsar Peter Agung Pertama abad ke-20, yang sangat gandrung untuk memajukan bangsanya. Dengan trinihnya -- glasnost (keterbukaan), perestroika (pembangunan ekonomi). dan demokratizatya (demokratisasi) -- Gorbachev membawa udara baru di seluruh daratan Soviet yang hampir seluas 22,5 juta km persegi itu. Ia ubah sistem pertanian kolektif. Ia beri hak petani atau sekelompok petani untuk mengelola tanah pertanian atas tanggung jawab mereka sendin dengan sistem kontrak. Artinya tanah lalu bisa diwariskan kepada anak-cucu. Yang lebih penting lagi, mereka bebas menanami tanahnya dengan apa saja dan bebas memasarkan hasilnya. Sedangkan petani di pertanian kolektif, yang arealnya tinggal sekitar 40%, cuma diwajibkan menjual 30% dari hasil panen kepada pemerintah. Selebihnya silakan jual di pasar bebas. Di sektor lain ia bebaskan surat kabar dan majalah mengkritik kebijaksanaan Partai. Bahkan koran bawah tanah dan partai baru tak ditindak secara tegas. Di Moskow koran Glasnost, yang tak berizin, dijajakan terang-terangan di samping polisi yang sedang bertugas. Kehidupan pun jadi semarak. Pemanggungan rock dan jazz tak lagi dikontrol ketat. Bukan lagi pemandangan aneh anak-anak muda mengenakan jaket kulit dan berkalungkan rantai perak menenggak sebotol Pepsi Cola, soft drink Amerika. Dan seks, salah satu musuh Partai, katanya? Oh, buku tentang seks ditulis oleh dokter Soviet kini bisa dibeli di toko-toko buku di sana. Lukisan telanjang dipajang di etalase galeri milik swasta. Lalu kamera film pun mulai dihadapkan ke ranjang. Natalia Negoda dalam film Vera si Mungil, film pertama yang menyinggung adegan kamar tidur, jadi box-office. Si Natalia-nya, ketika menyertai filmnya ke Amerika, cepat ditangkap oleh Playboy dan disajikan bersetengah telanjang dalam salah satu edisi majalah tersebut. Takkah kamu, Natalia mendapat kesulitan setelah pulang? Jawabnya setengah bercanda: "Majalah itu tak akan dilihat orang Soviet, karena tak beredar di negeri saya." Yang tak dikatakan si cantik seksi itu, politik luar negeri Gorbachev pun kini longgar. Ia memutuskan menarik tentara Rusia dan Afghanistan, perbatasan dengan RRC, dan negeri Eropa Timur. Bahkan Gorbachev mengendurkan kontrolnya terhadap negara-negara Pakta Warsama dan negara lain yang masuk blok Soviet. Ia pun mendukung penarikan tentara Vietnam dan Kamboja. Dan ini: Gorby bersedia bertemu Deng Xiaoping di Beijing bulan lalu. Itu pertanda perang dingin dua raksasa sosialis yang berlangsung sejak 30 tahun lalu dihentikan sudah. Langkah-langkah kongkret lain yang diayunkan Gorbachev, pemimpin negeri sosialis yang bergaya liberal itu, tak kurang mencengangkannya. Dia tak keberatan tokoh oposisi yang bukan anggota partai komunis dan kaum pembaru radikal ikut pemilu. Andrei Sakharov, pembangkang kelas wahid yang pernah dibuang selama bertahun-tahun, dalam pemilu bulan lalu merontokkan banyak tokoh partai. Sakharov menggaet kursi parlemen dengan kemenangan mutlak. Gorby pun membiarkan nasionalisme tumbuh di tiga republik satelit Soviet di kawasan Laut Baltik. Kaum nasionalis sukses menggaet separuh lebih dari semua kursi parlemen. Lalu disahkanlah undang-undang baru, yang memberi hak kepada pemerintah dan parlemen setempat menolak segala kebijaksanaan dari Moskow yang dianggap tak cocok. KGB (dinas rahasia Soviet) pun menanggalkan topeng angkernya. Lembaga yang dulu dianggap sebagai hantu paling menakutkan itu beberapa waktu lalu menyatakan ikut ber-glasnost. Para pejabatnya dibolehkan berbincang dengan rakyat dan wartawan. Meski tak menyebut-nyebut kata kapitalisme, Gorby tampaknya yakin, tanpa boleh mengantungi keuntungan pribadi, seseorang tak akan bersedia bekerja semaksimal mungkin. Maka, bisnis swasta tak lagi diharamkan. Kini ada 300 ribu perusahaan swasta dan 14 ribu koperasi independen di Soviet. "Mereka baru memenuhi 0,04% dari seluruh kebutuhan. Tapi paling tidak bisa menampung 2 juta tenaga kerja," tulis koran Pravda. Modal asing pun dipancing masuk, industri diefisienkan dengan mengganti mesin-mesin kedaluwarsa agar bisa menghasilkan produk dengan model yang sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan para manajernya diberi kebebasan memilih sendiri model manajemen, menyusun strategi pemasaran, dan mencari utang dan mancanegara. Salah satu yang kemudian sukses adalah Elektrosila, pabrik generator turbin pembangkit tenaga listrik dan nuklir di Leningrad. Sejak perestroika dicanangkan, Elektrosila tak lagi 100% diatur negara. Hanya 30% produknya yang harus disetorkan ke pemerintah. Sisanya, 70%, menjadi tangung jawab para manajernya sendiri. "Kami sekarang raja di istana sendiri," kata Valentina Murinas, seorang ekonom yang menjadi salah seorang manajer di pabrik ini. Maka, ekspor meningkat 25%, gaji naik lebih dari 7% (14% lebih tinggi dan gaji di pabrik-pabrik lain). Langkah selanjutnya, pabrik merencanakan menjual saham perusahaan kepada para karyawan sendiri. Tapi memetik panen dalam waktu singkat memang sulit. Menurut Abel Aganbegyan, ahli ekonomi perestroika Soviet, diperlukan 20 sampai 30 tahun untu mengubah Soviet. Ekonomi Soviet sudah kelewa parah. Ibarat seorang atlet yang lama tak berlatih, Soviet mesti lebih dulu membakar lemak-lemaknya agar bisa kompetitif. Meski neraca perdagangannya cukup sehat -- bernilai US$ 20 milyar per tahun terhadap Jepang dan negara Barat -- negeri ini masih kalah dibandingkan Taiwan dan Korea Selatan. Dan seperti di mana saja, korban pembangunan pun ada. Diperhitungkan sampai tahun depan 16 juta buruh akan kehilangan pekerjaannya. Mereka akan dialihkan ke bidang jasa. Bila dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi, tak sulit dipahami bahwa poll majalah Time, yang disebarkan kepada 1.000 warga Moskow, mendapatkan 32% responden mengatakan ekonomi mereka makin payah. Bayangkan, dari 1970-an pertumbuhan ekonomi terus menukik, dari sekitar 6% per tahun menjadi 0% pada 1985. Sementara itu, nilai tukar rubel tak menentu. Di pasar resmi satu rubel sama dengan US$ 1.6. Di pasar gelap cuma US$ 0,10. Selain itu, masih terjadi kesalahpahaman di kalangan pimpinan perusahaan. Banyak di antara mereka yang jadi lebih berorientasi pada keuntungan semata, sehingga cuma mau memproduksi barang mahal. Salah satu hasilnya, pada musim dingin lalu banyak orang Soviet terpaksa mandi tanpa sabun gara-gara harganya kelewat mahal: sekitar Rp 2. 750 per potong. Maka, orang yang sinis lalu menyimpulkan mengapa jumlah tabungan orang Soviet naik menjadi 300 milyar rubel, atau hampir separuh dan pendapatan nasional. Katanya, "Itu lantaran tak ada barang yang layak dibeli, karena barang buatan Soviet ketinggalan zaman dan mahal." Hasil negatif lain dari pembangunan: kejahatan yang meningkat. Koran-koran Moskow kini sering memberitakan bahwa mafia, kejahatan terorganisasi, mulai beroperasi di kota-kota besar Soviet. Semua sisi buruk itu semula dimanfaatkan kaum "konservatif", yang masih memandang ideologi Partai di atas segalanya, untuk menohok Gorbachev. Yigor Ligachev, anggota Politbiro klik "konservatif", memperingatkan Gorbachev bahwa pembaruan yang menjiplak model Barat bisa menjadi senjata makan tuan. Tampaknya Ligachev, yang belakang ini dituduh melakukan korupsi, salah hitung. Dalam pemilu parlemen terakhir, Maret lalu, kubu konservatif kalah telak. Itu membuktikan bahwa kebijaksanaan keseluruhan lebih dipercaya daripada yang sebagian-sebagian. Meski pembangunan ekonomi Soviet bagi sebagian rakyatnya belum dirasakan. bahkan justru terasa lebih pahit, mereka percaya dengan kebijaksanaan reformasi ekonomi dan politik sekaligus hari depan memang bisa diharapkan. Inilah kelebihan Gorby dibandingkan Deng Xiaoping, yang telah terlebih dahulu menggelindingkan pembangunan ekonomi empat bidang: ia melakukan pembaruan di semua bidang. Kebijaksanaan Deng mengerem pembaruan politik justru jadi bumerang kini. Bila pada pemilihan presiden eksekutif (berkuasa mirip perdana menteri yang berhak mengangkat menteri) 1 Juni ini Gorbachev terpilih, siapa tahu komunisme memang sudah disiapkan untuk berlayar entah ke mana dan Uni Soviet -- dan mungkin juga dari negeri sosialis yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus