Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sepotong Iklan yang Membuka Dunia

Kartini banyak berkorespondensi dengan tokoh feminis dan pendukung Politik Etis Belanda. Menarik Belanda untuk memperhatikan nasib perempuan Jawa.

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meja belajar dan kursi kecil dari kayu jati tua itu jadi saksi bisu gairah seorang gadis Jepara menyuarakan pikiran dan impiannya dalam pingitan. Perabot bergaya Victoria yang dicat hitam itu menghadap sebuah lemari tinggi dan ramping yang merapat ke sudut ruang putih. Mejanya berlaci dua dengan empat kaki yang agak melengkung, sementara kursinya tanpa lengan dan punya sepotong bantalan tipis di dudukannya. Semuanya tampak terawat baik untuk perabot yang usianya lebih dari seabad. "Itu merupakan meja-kursi tempat Kartini menuangkan gagasan dan kegelisahannya," kata Hadi Priyanto, penulis buku Kartini Pembaharu Peradaban, awal April lalu.

Ruang pingitan itu kini jadi bagian dari rumah dinas Bupati Jepara Ahmad Marzuki. Di sanalah Kartini sejak berusia 12 tahun 6 bulan, pada 1892, kemudian dua adiknya, Roekmini dan Kardinah, mendekam selama enam tahun. Di situ pula Kartini muda dulu mulai menulis surat-surat dan artikel yang memikat perhatian kaum elite Belanda.

Korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh Belanda dibuka lewat perkenalannya dengan Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara Ovink, yang mulai bertugas di sana tepat sesaat sebelum Kartini masuk pingitan.

Baik selama di Jepara maupun setelah pindah ke kota lain, keluarga Ovink akrab dengan keluarga Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, ayah Kartini. Dalam buku kenangannya, Persoonlijke herinnering aan Raden-Adjeng Kartini (1925), Marie mengisahkan bahwa Kartini dan adik-adiknya memanggilnya "Moedertje" (ibu tersayang) dan mereka sering ia ajak mandi ke pantai atau piknik. Suami-istri Ovink pula yang terus-menerus melunakkan hati Sosroningrat agar melonggarkan ikatan pada putri-putrinya hingga akhirnya melepaskan mereka dari pingitan.

Marie Ovink adalah pengarang novel remaja Belanda yang produktif dan terkenal. Dia juga termasuk tokoh feminis pada masa ketika feminisme sedang tumbuh pesat di Negeri Kincir Angin. Dalam sebuah artikelnya di majalah mingguan perempuan muda Belanda, De Hollandsche Lelie, misalnya, Marie menilai adat perjodohan dan poligami di masyarakat Jawa itu mengerikan. Tulisan ini pastilah dibaca Kartini dan bisa jadi mempengaruhinya dalam memandang poligami.

Marie terpikat pada Kartini—yang dia sebut lembut dan cerdas—dan mulai mengenalkannya pada sastra feminis Belanda, seni lukis, dan kefasihan berbahasa Belanda, serta mendorong gadis itu mengarang. Ketika Marie harus pindah ke kota lain, hubungan mereka terus berlanjut lewat surat-menyurat.

Marie juga berhasil membujuk Sosroningrat agar berlangganan De Hollandsche Lelie untuk Kartini dan adik-adiknya. Majalah itu diasuh Johanna van Woude, nama pena Sophie Margaretha Cornelia van Wermeskerken, salah satu perempuan pertama yang jadi anggota Masyarakat Sastra Belanda.

Kartini lantas berinisiatif menulis surat kepada Johanna agar menerbitkan iklan yang memuat permintaannya mencari seorang sahabat pena. Iklan kecil itu terbit pada edisi 15 Maret 1899. "Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, umur sekian dan seterusnya, ingin berkenalan dengan seorang 'teman pena wanita' untuk saling surat-menyurat. Yang dicari ialah seorang gadis dari Belanda yang umurnya sebaya dengan dia dan mempunyai banyak perhatian terhadap zaman modern serta perubahan-perubahan demokrasi yang sedang berkembang di seluruh Eropa," demikian bunyi iklan itu seperti dikutip Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi.

Estelle Zeehandelaar, aktivis feminis yang lima tahun lebih tua daripada Kartini, menjawab iklan tersebut dan dimulailah korespondensi di antara dua gadis berpikiran maju dari dua bangsa berbeda yang belum pernah bertemu seumur hidup itu. Stella, demikian Kartini memanggilnya, bekerja di Kantor Pos, Telepon, dan Telegram di Amsterdam. Ia anggota Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (SDAP), partai buruh sosial-demokratik Belanda, dan bersahabat dengan Henri Hubert van Kol, tokoh SDAP yang duduk di Tweede Kamer (parlemen Belanda), yang belakangan juga jadi sahabat pena Kartini. Stella adalah pembela hak-hak perempuan, anak-anak, kaum miskin, binatang, dan rakyat jajahan.

Surat pertama Kartini kepada Stella bertitimangsa 25 Mei 1899, yang memperkenalkan dirinya sebagai anak Bupati Jepara dari keluarga yang sadar pendidikan tapi terkurung dalam pingitan. "Panggil saja aku Kartini—itu namaku," tulisnya.

Surat-surat Kartini bernada intim dan menunjukkan dialog yang intens tentang berbagai topik, seperti buku yang dibacanya dan tulisannya di berbagai media. Dia juga membahas tradisi perjodohan, poligami, opium, agama, bahasa Belanda sebagai pembuka pintu pengetahuan, nasib perempuan Jawa yang tertindas, kebijakan politik kolonial yang merugikan pribumi, keinginannya mendirikan sekolah, dan rencananya bersekolah di negeri kelahiran pelukis Rembrandt itu.

Tulisannya yang tajam dan jernih itu mengguncang Amsterdam ketika diterbitkan pertama kali pada 1911 dalam buku Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) oleh Jacques Henrij Abendanon, direktur di Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda dan tokoh Ethische Koers (Politik Etis). Buku itu laris dan dicetak berkali-kali. Koran-koran di Hindia Belanda dan Negara Belanda banyak memuat iklan yang menawarkan buku itu seharga 4,75 gulden.

Namun peneliti perempuan dan gender Amerika Serikat, Tiffany K. Wayne, dalam Feminist Writings from Ancient Times to the Modern World mencatat, masyarakat sukar mempercayai bahwa surat-surat itu, yang disusun dalam bahasa Belanda yang sempurna, ditulis oleh seorang perempuan Jawa. Salah satunya karena motif Abendanon mempublikasikan surat Kartini adalah juga untuk mempromosikan Politik Etis. Bahkan Abendanon dituduh telah menulis sendiri sebagian besar surat itu.

Haryati Soebadio juga meneliti keaslian surat Kartini itu dengan membandingkan buku tersebut dengan surat Kartini yang belum diterbitkan dan tersimpan di Arsip Nasional, Jakarta. Menurut dia, bahasa Belanda Kartini "cukup baik dan nadanya sesuai benar dengan nada surat-surat yang diterbitkan oleh Abendanon". "Dalam hal itu nyata bahwa Abendanon hanya menyingkat surat asli Kartini, terutama karena isinya di beberapa tempat kurang-lebih sama," tulisnya dalam Satu Abad Kartini.

Pada saat itu, gerakan Politik Etis sedang naik daun. Gerakan yang sebagian besar didukung pegawai muda sosialis Belanda itu antara lain menginginkan pendidikan bagi pribumi serta perbaikan jalan dan pengairan. Ini sebenarnya masih kelanjutan dari kolonialisme: pembangunan berarti proyek dan peningkatan produksi, sementara pendidikan berarti tenaga terdidik yang murah.

Perkenalan Kartini dengan Stella dan Marie Ovink membuka jalur perkenalannya—lewat pertemuan dan surat—dengan tokoh feminis dan pendukung Politik Etis lain, seperti Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Abendanon-Mandri, serta anak mereka, E.C. Abendanon; Hendrik de Booy, ajudan Gubernur Jenderal Rooseboom, dan istrinya, Hilda Gerarda de Booy-Boissevain; Henri Hubert van Kol, anggota parlemen dari SDAP, dan istrinya, Nellie van Kol Porreij, editor Hollandsche Lelie; Dr Nicolaus Adriani, pendeta dan ahli bahasa di Poso; serta G.K. Anton, guru besar ilmu kenegaraan di Jena, Jerman.

Snouck Hurgronje, ahli Islam yang membantu Belanda menaklukkan Aceh, tidak pernah bersuratan dengan Kartini. Tapi dialah yang menyarankan Abendanon bertemu dengan Kartini, terkait dengan rencana Abendanon mendirikan Kostschool (sekolah-asrama) bagi gadis-gadis Jawa. Pada 7 Agustus 1900, Abendanon dan Rosa bertandang ke rumah Bupati Jepara dan bertemu dengan Kartini serta adik-adiknya. Inilah kesempatan Kartini menyampaikan gagasannya mengenai pendidikan bagi perempuan dan masalahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus