Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KARTINI kecil sakit keras. Badannya menggigil. Dokter yang didatangkan ayahnya, Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, tak sanggup mengobati anak tujuh tahun itu. Lalu datanglah seorang Cina yang sedang dihukum pemerintah Hindia Belanda bertamu ke rumahnya.
Laki-laki Cina itu sudah dikenal oleh tiga anak Sosroningrat. Dia menawarkan bantuan dengan meminta Kartini meminum air yang dicampur abu lidi shio dari sebuah kelenteng di Welahan, kecamatan di Jepara, Jawa Tengah, tempat terdapat banyak rumah ibadah umat Konghucu. Ajaib. Demam Raden Ajeng turun dan ia sembuh.
Cerita itu kemudian ia tulis dalam surat untuk Nyonya Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Dalam surat bertarikh 27 Oktober 1902, Kartini berapi-api menceritakan pengalaman itu. "Apa yang tak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar ternyata berhasil dengan obat tukang jamu," katanya.
Dalam surat 18 halaman tersebut, Kartini bercerita tentang perbedaan dunia Jawa dan Belanda. Meski dalam surat-surat sebelumnya untuk ibu angkatnya itu ia selalu memuji Eropa sebagai "sumber rasionalitas dan ilmu pengetahuan", dalam surat itu ia menjelaskan bagaimana orang Jawa percaya kepada klenik.
Setahun sebelum menulis surat itu, ia mengunjungi Welahan. "Bagaimanapun, saya mesti belajar kenal dengan bapak saya yang besar itu," ujarnya tentang Santik-kong, arwah leluhur orang Welahan yang disucikan di kelenteng tersebut. Di sana ia menyaksikan upacara memperingati ulang tahun arwah.
Santik-kong terkenal sebagai dewa penyembuh. Setiap ada wabah yang berjangkit, patungnya diarak berkeliling desa agar asap dupanya menyebar menangkal virus. Dan desa itu biasanya terhindar dari kuman. Kartini mencoba memberikan pemahaman yang logis kepada Abendanon, yang tak percaya kepada takhayul.
Misalnya, ia menjelaskan dengan detail kosmologi Jawa tentang sumarah, sikap pasrah pada takdir yang menimpa. Menurut Kartini, sikap itu bercokol dalam benak orang Jawa sebagai kompromi atas nasib jika kena sial, sikap yang tak frontal dengan menyalahkan lingkungan. "Tapi, sebelum pasrah, sebelum menjadi takdir, wajiblah setiap orang bersungguh-sungguh berikhtiar menolaknya," kata Kartini.
Surat itu ditulisnya ketika ia berumur 23 tahun. Lahir di Jepara pada 21 April 1879, Kartini hanya lulus sekolah rendah Eropa atau Europeesche Lagere School. Ide, pikiran, dan kecerdasannya terbangun oleh ayah yang sangat ia sayangi, yang membebaskannya dengan pendidikan di rumah dan pengenalan pada alam pikiran Eropa. Kecerdasan ini kian terasah ketika ia berkorespondensi dengan banyak orang Belanda, seperti suami-istri Abendanon itu.
Oleh Abendanon, surat-surat itu kemudian dikumpulkan. Tak kurang dari 115 buah banyaknya. Surat itu diterbitkan dalam judul Door Duisternis Tot Licht pada 1911, tujuh tahun setelah Kartini meninggal. Secara harfiah, kalimat Belanda itu berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Penerbit Balai Pustaka pada 1922 menerjemahkannya menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Tapi rupanya Abendanon menyeleksi surat-surat itu. Surat bernada sangat personal ditanggalkan. Juga kecaman Kartini terhadap kebijakan pemerintah Belanda dalam memonopoli candu di Jawa serta kritiknya atas kepindahan seorang residen dari Jepara karena Jepara dianggap sudah aman dan sejahtera.
Surat tentang kelenteng itu salah satu yang disortir. Sejarawan Yayasan Nabil, Didi Kwartanada, menduga sensor tersebut berkaitan dengan situasi sosial-politik di Jawa saat penerbitan surat-surat itu. Orang Tionghoa waktu itu hanya dijadikan perisai oleh Belanda terhadap kemarahan pribumi dan sebagai kambing hitam kesalahan birokrasi. "Dalam ilmu sejarah, etnis Tionghoa itu diposisikan sebagai minoritas antara, middlemen minority," kata Didi.
Padahal setidaknya ada dua surat Kartini yang bercerita tentang etnis ini, aksi-aksi filantropis, dan empati kepada mereka. Ia bahkan tak segan menyebut diri "anak Buddha" karena sudah meminum air shio saat sakit itu. "Ketahuilah, Nyonya," tulisnya kepada Abendanon, "bahwa saya anak Buddha, dan itu sudah menjadi alasan mengapa saya tak makan daging." Seperti nada dalam seluruh surat, kalimat Kartini terasa tulus, tanpa pretensi dan motif ketika bercerita tentang apa saja.
Pada 1987, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) menerbitkan surat-surat lengkap Kartini dengan judul Kartini: Brieven aan Mevrouw R.M. Abendanon-Mandri en Haar Echtgenoot. Total ada 150 korespondensi. Selain surat Kartini, surat adik dan ayahnya juga disertakan. Sulastin Sutrisno, guru besar sastra Universitas Gadjah Mada yang menerjemahkan surat-surat itu, melihat satu kotak besar surat lengkap Kartini ketika berkunjung ke KITLV di Leiden, Belanda.
Dua tahun kemudian, terjemahan Indonesianya terbit. Dalam buku itu terkuak alasan Abendanon menyeleksi surat Kartini. Rupanya, ada beberapa surat yang dikategorikannya sebagai "intim" dan "sangat intim" sehingga tak layak dibaca khalayak. Beberapa surat juga disobek di bagian tertentu. Padahal surat itu penting karena tak hanya menyuarakan soal feminisme, seperti yang dikenal banyak orang.
Seluruh surat Kartini adalah suara feminisme itu sendiri: problem sosial, politik, adat, agama, dan ekonomi ditimang dari kacamata seorang perempuan. Surat kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar, seorang Yahudi-Belanda dan sosialis yang sangat militan, terasa sebagai suara seorang aktivis. Kalimat-kalimatnya tentang teori sosial dan kenyataan yang ia temui lebih lugas dan tajam.
Rupanya, itu pengaruh Stella dan gaya tulisan redaksi De Hollandsche Lelie, majalah gaya hidup perempuan yang terbit di Belanda. Stella salah satu penulis kolom di sana. Kartini, yang berlangganan, mengirim surat meminta sahabat pena yang mau bertukar pikiran dengan "gadis Jawa dari Hindia Belanda". Stella menyambut tawaran itu. Selama empat tahun, 1899-1903, mereka terlibat surat-menyurat yang intens.
Tema yang mereka bahas lebih beragam, terutama keadaan sosial dan politik. Kartini, misalnya, menyoroti kebijakan candu pemerintah Hindia Belanda, yang memonopoli perdagangan opium. Kemarau dan gagal panen yang memiskinkan rakyat Jawa makin menambah penderitaan karena mereka kecanduan opium. "Bagi yang punya uang tak jadi masalah, bagi yang tidak mereka akan mencuri, merampok, dan membunuh," tulisnya pada 11 Oktober 1902, yang dibukukan dalam Aku Mau… Feminisme dan Nasionalisme.
Dua tahun kemudian, soal candu ini kemudian diulas lagi ketika ia bersurat kepada Abendanon. Ketika itu, ia sudah jadi istri Bupati Rembang Raden Ario Djojoadiningrat—sebagai istri keempat. Ia menceritakan niat suaminya yang menolak monopoli opium dan menawarkan diri membuat kebijakan lokal di Rembang untuk mengatasi orang kecanduan. "Tapi apa benar niat pemerintah dengan kebijakannya itu?" tulisnya.
Kartini punya cara sendiri: ia menyerukan pendidikan, agar orang Jawa tak terjerumus pada candu dan kemiskinan. Lebih spesifik, ia menyerukan pendidikan kepada kaum perempuan. Menurut Kartini, ekonomi masyarakat sangat bergantung pada bagaimana perempuan mengatur keuangan dalam rumah tangga. "Buat apa mendidik laki-laki jika rumah tangga tak kenal nilai uang?" tulisnya kepada Stella pada 24 Oktober 1901.
Pada akhirnya, percakapan dengan Stella sampai pada agama, terutama poligami. Dengan berapi-api Kartini menentang sunah Rasul itu. Buat dia, poligami adalah dosa, meski halal. Alasannya sederhana: ia berada dalam lingkungan poligami, bahkan di keluarganya sendiri. Ia adalah anak dari selir ayahnya. Ibu yang mengurusnya adalah istri ayahnya yang sah.
Dan Stella tak habis pikir ketika pada 12 November 1903 sahabat penanya itu memutuskan menikah dengan Bupati Rembang, yang tak pernah dilihatnya dan sudah memiliki istri serta selir. Meski masih berkirim surat dengan gembira setelah menikah, Kartini tak pernah mengungkap alasan sesungguhnya ia menempuh pernikahan yang "saya benci selama-lamanya" itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo