Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Surat-surat Pikiran dan Impian

Iklan Kartini, yang mencari sahabat pena, di majalah De Hollandsche Lelie itu dijawab oleh Estelle "Stella" Zeehandelaar, aktivis feminis Belanda, dan dimulailah korespondensi panjang dan intens di antara dua perempuan berpikiran maju dari dua negeri yang berbeda. Hubungan itu membuka jalan bagi si gadis Jepara dalam pingitan untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh feminis dan Politik Etis di Negeri Kincir Angin, termasuk J.H. Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Abendanon-Mandri.

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia Minta Dipanggil Kartini Saja
Kartini memberontak terhadap feodalisme, poligami, dan adat-istiadat yang mengungkung perempuan. Dia yakin pemberian pendidikan yang lebih merata merupakan kunci kemajuan.


Surat bertanggal 25 Mei 1899 itu terdiri atas 32 paragraf—sebuah surat yang panjang, apalagi untuk ukuran sekarang. Kepada penerimanya, Estelle "Stella" Zeehandelaar, sahabat pena pertamanya dari Belanda, Raden Ajeng Kartini menulis banyak hal, tentang belenggu adat, pingit, azab sengsara pernikahan, silsilah, dan bahaya candu. Sebelum menutup suratnya, dia memperkenalkan diri: "Panggil aku Kartini saja, itu namaku. Kami orang Jawa tidak punya nama keluarga. Kartini adalah sekaligus nama keluarga dan nama kecilku."

Di tanah Jawa pada akhir abad ke-19, saat feodalisme masih mencengkeram kuat, permintaan itu tergolong tak lazim. Kartini, sebagaimana dia uraikan sendiri saat menyinggung soal silsilah keluarga, adalah anak perempuan kedua Bupati Jepara Sosroningrat. Dalam tubuhnya jelas mengalir darah bangsawan, meski ibunya perempuan dari kalangan kebanyakan. Dia bergelar raden ajeng. Tapi dia tak peduli. Dengan meminta dipanggil Kartini saja, dia ingin menunjukkan bahwa semua orang sama, tidak dibedakan oleh pangkat, jabatan, atau gelar kebangsawanan.

Permintaan ini sesungguhnya merupakan pernyataan sikap, deklarasi pendiriannya, yang menolak hal-hal yang sudah usang dan membelenggu dalam masyarakat kala itu. "Kartini adalah prototipe manusia Indonesia baru," kata Didi Kwartanada, sejarawan dari Yayasan Nabil, Jakarta, Selasa tiga pekan lalu.

Mengaku jatuh cinta pada Kartini sejak 2008, di yayasan yang berupaya meneguhkan pluralisme dan multikulturalisme itu, Didi menelaah berbagai literatur yang membahas Kartini. Dia berkesimpulan Kartini secara gamblang menunjukkan penghargaannya kepada orang atau budaya lain, hal yang sebelumnya tak dilakukan orang. "Ia menganggap semuanya egaliter. Ini hal penting. Kartini harus didudukkan di situ," ujarnya.

Dengan watak seperti itu, tak aneh jika Kartini memberontak terhadap berbagai hal yang dia nilai tak memperlakukan manusia secara setara. Substansi pemberontakannya bisa ditemukan dalam kumpulan suratnya yang sudah diterbitkan, yakni Door Duisternis Tot Licht (diterjemahkan sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang), dan buku berikutnya yang lebih lengkap, Kartini: Brieven aan Mevrouw R.M. Abendanon-Mandri en Haar Echtgenoot (diterbitkan dalam bahasa Indonesia menjadi Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya).

Perlawanan itu dia mulai di lingkungan keluarganya sendiri. Dia, bersama dengan dua adiknya, misalnya, berani melepaskan berbagai unggah-ungguh atau etiket yang dinilai ruwet. Kartini mengizinkan adik-adiknya memanggil dengan kata "kamu", begitu pula Kartini memanggil adik-adiknya, hal yang sebelumnya terlarang. Kartini tak butuh panggilan dengan kromo inggil atau bahasa halus, apalagi sembah setelah berbicara, dari adik-adiknya.

Kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan, inilah semboyan di masa Revolusi Prancis yang didapat Kartini dari bacaannya. Dia terpikat dan mencoba menerapkannya. Adik-adik Kartini menyambut gembira "aturan" baru soal tata krama itu. Maklum, dengan cara itulah kekakuan hubungan di antara mereka meleleh. Kartini dan adik-adiknya jadi bisa bergaul dengan bebas dan gembira laiknya antarsaudara.

Sitisoemandari Soeroto, penulis buku Kartini: Sebuah Biografi, menyebut tindakan Kartini itu revolusioner dan Kartini menjadi perintis yang patut dicatat dalam sejarah. Sebelumnya, tak pernah terjadi perubahan sedrastis itu dalam kehidupan kaum ningrat Jawa. "Peduli apa aku dengan segala tata cara itu," kata Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899. "Segala peraturan, semua itu bikinan manusia dan menyiksa diriku saja."

Pramoedya Ananta Toer, yang menulis biografi Panggil Aku Kartini Saja, menyebutkan Kartini melihat baik atau buruk tak ada batasnya dalam tata kehidupan feodal. Ukurannya hanyalah anggukan atau gelengan kaum aristokrat feodal, yang bisa sesuka-sukanya. Dalam keadaan itu, ilmu pengetahuan tak berharga sama sekali.

Pramoedya menunjukkan contoh betapa tak berartinya ilmu pengetahuan dan kemajuan lewat sebuah anekdot di Tegal, Jawa Tengah. Pada permulaan abad ke-20, pesawat telepon sudah mulai masuk di tanah Jawa dan hendak dipergunakan di Tegal. Pangeran di Tegal, yaitu bupatinya, kata Pramoedya, meminta wilayahnya dibebaskan dari penggunaan pesawat telepon. Dia tak peduli telepon bisa memudahkan urusan karena orang bisa berbicara langsung meski berada dalam jarak jauh.

Saat asisten residen menanyakan alasan penolakan itu, sang Pangeran menjawab, "Saya akui, tapi kalau sekiranya saya bicara dengan seorang asisten wedana dengan pesawat itu, atau seorang amtenar lain yang sederajat dengan itu, saya tidak bisa lihat apakah dia menyembah saya atau tidak."

Dari Stella, Kartini mengenal konsep adeldom verplicht, kebangsawanan menanggung kewajiban. Dia percaya feodalisme yang absurd itu bisa dibendung dengan konsep yang meneguhkan prinsip "makin tinggi kebangsawanan, tugas dan kewajibannya terhadap rakyat makin berat" ini.

Ada kata-kata lain untuk mengatakan hal yang sama: noblesse oblige atau keningratan membawa kewajiban. Kata-kata inilah yang dipilih Toeti Adhitama sebagai judul tulisannya dalam buku Satu Abad Kartini, kumpulan karangan mengenai Kartini yang terbit pada 1979.

Menurut Kartini, agar kaum bangsawan menyadari kewajibannya, pendidikan dan ilmu pengetahuan harus diperluas. Dalam nota Kartini untuk Kementerian Jajahan Belanda pada 1903, Kartini menegaskan hal ini. Bila tidak mungkin sekaligus mendidik suatu bangsa yang terdiri atas 27 juta orang, kata Kartini, untuk sementara kalangan teratas saja yang diberi pendidikan dan pengetahuan. Hal ini dinilai bermanfaat karena rakyat sangat setia kepada bangsawannya. Karena manfaat ini belum dirasakan saat itu, Kartini tegas menyatakan pemerintah harus mendorong kaum ningrat ke arah sana.

Pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan pula yang ditekankan Kartini untuk memajukan kaum perempuan. Dengan pendidikan, seorang perempuan tak perlu dipingit. Pendidikan, melalui sekolah dan cara-cara lain, akan melengkapinya dengan keahlian yang bisa menopang hidupnya sendiri, juga menentukan jalan hidupnya dalam urusan perkawinan.

Dalam urusan pernikahan, Kartini begitu geram terhadap aturan yang berlaku saat itu. Perempuan tak memiliki hak bicara dan bisa dikawinkan oleh orang tuanya begitu saja. Repotnya, si pria besar kemungkinan sudah beristri. Menjelang peralihan ke abad ke-20 itu, poligami merupakan hal yang lumrah dilakukan kaum bangsawan.

Kartini mencoba mencari tahu pendapat kaumnya tentang masalah itu. Dalam surat kepada Stella pada 23 Agustus 1900, dia membagikan temuannya: hampir semua perempuan yang dia tahu mengutuk hak-hak yang dimiliki laki-laki. Kartini paham harapan saja pasti sia-sia. Sesuatu harus dilakukan. Dia menulis: "Mari, wahai perempuan, gadis-gadis muda, bangkitlah, mari bergandeng tangan dan bekerja bersama untuk mengubah keadaan yang tak tertahankan ini."

Memberontak terhadap feodalisme, menentang keras poligami, dan memperjuangkan akses pendidikan bagi perempuan adalah pokok-pokok perjuangan Kartini. Dia tahu ini upaya yang tak mudah dan butuh waktu yang panjang. Tapi dia percaya perjuangannya suatu saat akan membuahkan hasil. "Perubahan akan datang di Bumiputera," Kartini menulis dalam surat kepada Stella pada 9 Januari 1901. "Jika tidak karena kami, pasti dari orang lain. Emansipasi telah berkibar di udara—sudah ditakdirkan."

Terkesan ada energi yang bergelora, ada optimisme. Memang begitulah Kartini. Dalam kata-kata Aristides Katoppo, editor buku Satu Abad Kartini, "Ia peka menyongsong masa depan, (sementara) yang lain masih terkungkung dan tersandera keadaan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus