Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gara-gara melawan penguasa Orde Baru, Wiji Thukul dikejar-kejar. Namanya disebut-sebut di televisi oleh seorang jenderal sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta. Selama dua tahun, bekas kuli pelitur mebel, aktivis buruh, dan seniman itu menjelajahi hampir separuh Indonesia untuk bersembunyi.
Ketika Orde Baru runtuh, ia tidak keluar dari persembunyiannya. Hingga kini. Banyak laporan masuk tentang keberadaan anak tukang becak Sorogenen itu. Tapi belum satu pun terbukti. Berikut ini rute pelarian Thukul dan laporan tentang keberadaannya* setelah ia dilaporkan menghilang.
Biodata
Nama asli: Widji Widodo
Nama samaran: Paulus (Kalimantan/penjual bakso), Aloysius Sumedi (Kalimantan/rohaniwan), Martinus Martin (Kalimantan, Jakarta/rohaniwan)
Tempat dan tanggal lahir: Sorogenen, Solo, 26 Agustus1963
Status: Menikah (dua anak, satu istri)
Pendidikan terakhir:
Riwayat pekerjaan:
Penghargaan:
Dalam Pelarian
Kutipan
"Hanya ada satu kata: Lawan!"
dari puisi "Peringatan"
"Satu mimpi, satu barisan!"
dari puisi "Satu Mimpi Satu Barisan"
Jejak Persembunyian
27 Juli 1996
Massa pendukung ketua umum versi kongres Partai Demokrasi Indonesia di Medan, Soerjadi, dibantu kepolisian dan TNI mengambil alih secara paksa kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Kerusuhan meledak. Pemerintah menuding Partai Rakyat Demokratik sebagai dalangnya, sehingga para aktivis PRD diburu, termasuk Wiji Thukul di Solo.
Awal Agustus 1996
Thukul memutuskan lari dari Solo. Awal pelarian itu ditulis Thukul dalam puisi "Para Jendral Marah-marah". Mula-mula ia ke Wonogiri, lalu ke Yogyakarta (kantor harian Bernas), Magelang, dan Salatiga. Pelarian di atas truk itu ia tulis menjadi puisi "Aku Diburu Pemerintahku Sendiri". Di Salatiga, ia bertemu dengan aktivis hak asasi manusia, Arief Budiman, yang menyarankannya menemui Yosep Stanley Adi Prasetyo, yang juga aktivis HAM, di Jakarta. Pertemuan dengan Arief direkam Thukul dalam puisi "Buat L.Ch & A.B".
Pertengahan Agustus 1996
Thukul mendatangi adiknya, Wahyu Susilo, di kantor Solidaritas Perempuan, Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur. Ia lalu disembunyikan di Bojong Gede, Bogor, kemudian di Kelapa Gading, Jakarta Timur, dan Bumi Serpong Damai, Tangerang, selama 1-2 pekan. Saat itu, ia menulis puisi "Kado untuk Pengantin Baru" buat Alex, salah satu tuan rumahnya, yang baru menikah. Thukul kemudian sempat dibawa tim evakuasi ke Bandung.
Akhir Agustus 1996
Ia dilarikan ke Pontianak, menginap di rumah Martin Siregar. Menggunakan nama samaran Aloysius Sumedi, ia sempat menulis cerpen berjudul "Kegelapan".
Januari 1997
Pulang ke Solo. Kepada Sipon, istrinya, ia minta dibuatkan pakaian bayi sebelum kembali ke Kalimantan. Sipon menduga Thukul sudah menikah lagi dan istrinya hendak melahirkan. Namun, menurut Martin, pakaian bayi itu sebagai hadiah untuk sang istri yang sedang hamil.
Maret 1997
Thukul kembali ke Jakarta dan aktif lagi di PRD. Ia menjabat Ketua Divisi Propaganda PRD dan menjadi editor "Suluh Pembebasan", suplemen kebudayaan PRD. Ia sempat tinggal di kontrakan aktivis PRD di Pekayon, Bekasi, dan Rumah Susun Kemayoran. Saat di Pekayon, ia sempat mengajak Sipon dan anak-anaknya datang.
Agustus 1997
Ketika berkunjung ke rumah adiknya, Thukul mengaku sedang di Tangerang bersama Linda Christanty untuk mengorganisasi buruh dan tukang becak. Di Karawaci, ia tinggal di rumah kontrakan bersama Lukman dan Andi Gembul.
November 1997
Thukul meminta izin kepada Linda, yang berada di Sekretariat Mahasiswa Universitas Indonesia di Margonda Raya, Gang Salak, untuk pulang ke Solo, menengok Fajar Merah, anaknya, yang akan merayakan ulang tahun ketiga.
Desember 1997
Thukul bertemu dengan Sipon dan anak-anaknya di Yogyakarta dan tinggal satu pekan di Parangtritis.
Januari 1998
Thukul pindah ke Cikokol. Sebelum Idul Fitri, yang jatuh akhir Januari, ia menelepon adiknya dan mengatakan hendak pulang ke Solo untuk berlebaran.
April 1998
Thukul menelepon Lawu Warta Cempe Wisesa, gurunya di Teater Jagat, menanyakan kabar Sipon dan anak-anaknya. Ia berkata sedang di Bengkulu, Sumatera, dan menitipkan anak-anaknya kepada Lawu.
Mei 1998
Kerusuhan meledak di Jakarta. Thukul menelepon Sipon, khawatir terhadap keadaan istri dan anak-anaknya karena Solo ikut rusuh. Ia juga mengatakan kondisinya baik-baik saja dan saat itu sedang di Jakarta. Tidak ada kabar dari Thukul setelah itu.
Maret 2000
Sipon melaporkan kehilangan Thukul ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Pulau Rambut, Kepulauan Seribu (Mei 1998)
Bengkulu (Oktober 1998)
Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu (1999)
Banten (2001)
Depok (2006)
Siapa Masih Hilang
1. Yani Afri
2. Sonny
3. Deddy Hamdun
4. Noval Alkatiri
5. Ismail
6. Suyat
7. Herman Hendrawan
8. Petrus Bima Anugerah
9. Ucok Munandar Siahaan
10. Yadin Muhidin
11. Hendra Hambali
12. Abdun Nasser
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo