Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wiji Thukul ilang keterak jaman
Dados manungso ngoleki opo?
(Wiji Thukul hilang ditelan zaman
bManusia hidup sebenarnya mencari apa?)
BAIT pendek tembang tentang hilangnya Wiji Thukul mengalun dari mulut Cempe Lawu Warta Wisesa di Telaga Winong, Pracimantoro, Wonogiri, 6 November 1998. Di salah satu telaga kaki Gunung Kidul itu, Lawu bersama tiga muridnya—Hartono, Jantit Sonokeling, dan Lutio—saling mencukur rambut gondrong mereka hingga plontos. Bahkan alis dan bulu mata ikut dipangkas.
Menggunakan kain putih, pendiri Teater Jagat dan guru Wiji Thukul itu membungkus potongan rambut dan menanamnya di tepi telaga. "Simbol duka kami karena tidak bisa menemukan Wiji Thukul," ujar Lawu, 66 tahun, ketika ditemui Tempo pada Maret lalu.
Masih jelas di ingatan Lawu, suatu sore pada pertengahan April 1998, sebuah panggilan masuk ke telepon rumahnya di Kampung Jagalan Tengah, Solo. Di ujung telepon, suara seorang pria pelo berlogat Jawa kental menyapanya. "Saya yakin itu suara Jikul. Saya hafal suara, logat bicara, hingga lafalnya," katanya. Lawu biasa memanggil Wiji Thukul dengan sebutan Jikul.
Ketika itu, Thukul menanyakan kabar Dyah Sujirah, Fitri Nganthi Wani, dan Fajar Merah—istri dan anak-anak Thukul. Ia juga sempat berkata saat itu sedang berada di Bengkulu. Namun Thukul tidak menyebutkan alamat detail, pun nomor telepon yang bisa dihubungi. "Mungkin karena alasan keamanan," ujar Lawu.
Obrolan berlangsung beberapa menit. Awalnya tidak ada yang janggal hingga beberapa saat, sebelum mengakhiri pembicaraan, Thukul berkata menitipkan anak-anaknya ke Lawu. "Saya bilang, 'Iya, karena kamu sudah saya anggap anak sendiri'," kata Lawu mengenang.
Perasaan Lawu semakin resah ketika, selama lima bulan sejak panggilan telepon itu, Thukul tidak lagi menghubungi. Biasanya, satu-dua bulan sekali, Thukul ajek meneleponnya. Hubungan guru dan murid itu memang erat. Lawu adalah orang yang menemukan bakat dan mengarahkan Thukul untuk menulis puisi. Ia juga yang membaiatkan nama Wiji Thukul. Sebenarnya penulis puisi "Peringatan" itu bernama asli Wiji Widodo. Meski Lawu sempat berbeda paham dan tidak sepakat dengan langkah Thukul terjun ke politik praktis bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, mereka tetap intens berkomunikasi.
Mulanya Lawu menyangka Thukul berada di Bengkulu. Dasarnya, ketika Thukul masih aktif di Jagat, Lawu pernah mengajak Thukul pergi ke Desa Batu Layang, Krekap, Bengkulu. Di sana, dulu, sejumlah teman Lawu di Bengkel Teater membeli lahan untuk membuat kampung budaya. "Mungkin ia sembunyi di sana karena pernah ke sana sebelumnya," ujar Lawu. Selain itu, Thukul memiliki seorang paman bernama Slamet yang tinggal di Desa Putih Doh, Lampung.
Namun, setelah Lawu mencari informasi, dipastikan Thukul tidak ada di sana. Lawu lantas mengumpulkan Hartono, Jantit, dan Lutio—teman Thukul di Jagat—buat ikut mencari keberadaan Thukul. Ketika itu, Hartono, yang dianggap menguasai ilmu kebatinan tinggi, mengatakan telah mencari Thukul menggunakan "penerawangan" ilmu spiritual yang ia kuasai. Hasilnya nihil. "Memang saat itu keadaannya nol, kosong. Ia tidak ada di dunia roh, artinya Jikul belum mati. Tapi ia juga tidak terdeteksi di alam sini, seperti berada di alam lain," kata Hartono, 50 tahun, ketika ditemui di rumahnya di Desa Telukan, Grogol, Sukoharjo, pada Maret lalu.
Dari "penerawangan" itu, Hartono menyimpulkan pencarian terhadap Thukul kemungkinan besar tidak akan membuahkan hasil. Meski begitu, ia tetap setuju ikut Lawu mencari Thukul. "Karena bisa saja 'penerawangan' saya yang salah," pria yang kini menjadi guru spiritual para preman di Solo itu berkisah.
Dengan modal pas-pasan dan sejumlah perangkat musik, mereka berempat meninggalkan Solo. Mereka bergerak ke Jawa Timur, balik ke Jawa Tengah, Jawa Barat, hingga Jakarta. Mereka mendatangi berbagai kota yang pernah disinggahi Thukul dan menyambangi sanggar-sanggar serta orang-orang yang pernah bersinggungan dengan Thukul selama berkesenian ataupun berpolitik. "Karena sangu terbatas, kami terpaksa mencari Jikul sambil ngamen di sepanjang perjalanan," ucap Lawu.
Sejumlah tokoh gerakan yang kabarnya menyembunyikan Thukul mereka datangi. Di Salatiga, mereka menemui Arief Budiman. Arief salah satu orang yang mengajak Thukul aktif berpolitik, sehingga mereka menyangka semestinya ia tahu keberadaan Thukul. Namun Arief mengaku tidak tahu. "Katanya ia memang pernah didatangi Jikul, tapi lantas menyuruhnya pergi karena rumah Arief ketika itu juga sedang diawasi intel," ujar Lawu.
Di Jakarta, mereka mendapat kabar Thukul disembunyikan jaringan gereja melalui Ignatius Sandyawan Sumardi. Lawu lantas mendatangi Sandyawan. Berpakaian jas dan celana jins serta menenteng tas kulit kotak, Sandyawan menemui Lawu di Kafe Semanggi pada akhir Oktober 1998.
Dihubungi Tempo pekan lalu, Sandyawan membenarkan kabar pertemuannya dengan Lawu dan sejumlah anggota Teater Jagat. "Saat itu, saya katakan kepada mereka bahwa saya memang membantu menyembunyikan beberapa orang, tapi Thukul bukan saya yang menyembunyikan. Dan saya tidak tahu ia di mana," ucapnya.
Lebih dari sebulan mencari tanpa hasil, Lawu pun menyerah. Mereka pulang dan mengubur rambut di Telaga Winong. Meski begitu, hingga kini Lawu dan Hartono yakin Thukul belum mati. "Saya punya kemampuan mencari barang hilang bahkan bangkai yang sudah dimakan ikan sekalipun. Jika jasad Thukul tidak bisa saya temukan, berarti ia belum mati," kata Hartono sambil meramalkan bahwa, 30 tahun setelah menghilang, Thukul akan muncul kembali.
Keyakinan yang sama muncul dari Sipon—panggilan akrab Dyah Sujirah, istri Wiji Thukul. Hingga kini, nama Wiji Widodo masih dicantumkan sebagai kepala keluarga di kartu keluarga Sipon. Dia tidak bersedia menyandang status janda apalagi menyatakan suaminya telah meninggal. "Suami saya hilang. Kalau dibilang mati, di mana jasadnya?" kata Sipon pada Maret lalu saat ditemui di rumahnya di Jagalan, Jebres, Solo.
Thukul terakhir menghubungi Sipon pada pertengahan Mei 1998 ketika kerusuhan meledak di Jakarta dan berbagai kota lain. Seorang anggota PRD di Solo datang dan mengatakan bahwa Thukul ingin berbicara. Pemuda itu memberikan nomor telepon untuk dihubungi Sipon. "Saya lupa nama anak PRD itu, begitu juga nomor teleponnya," ujarnya.
Dalam pembicaraan telepon itu, Thukul mengaku sedang di Jakarta. Ia khawatir terhadap kondisi Sipon dan keluarga karena tahu Solo ikut bergolak serta terjadi kerusuhan besar. "Ia juga bilang kondisinya saat itu baik dan menyatakan tidak ikut-ikut kerusuhan, jadi saya tidak usah mengkhawatirkannya," kata Sipon.
Sejak saat itu, Thukul tidak pernah lagi muncul. Menurut Sipon, ada kemungkinan Thukul masih disembunyikan baik oleh teman-temannya maupun oleh jaringan gereja. "Nasri, adik Thukul yang jadi pendeta, mungkin tahu," ujarnya. "Istri Nasri pernah bilang bahwa Thukul ada di gereja."
Ditemui di rumahnya di Sorogenen, Nasri mengaku tidak tahu pasti jejak pelarian Thukul. Meski merupakan saudara paling dekat dan sering ikut ngamen puisi bersama Thukul, ia tidak pernah bertemu lagi dengan Thukul sejak sang kakak menjadi pelarian pada 1996. "Dan ia tidak pernah meminta perlindungan ke gereja saya (jaringan gereja Protestan)," kata salah satu adik Thukul yang kini menjadi rohaniwan di Gereja Generasi Pilihan, Solo, ini. Nasri dan Wiji Thukul memang berbeda keyakinan. Saat kecil, keduanya adalah pemeluk Katolik dan menjadi jemaat setia Gereja Nasarin tidak jauh dari rumah mereka. Setelah dewasa, Nasri memilih menjadi pemeluk Protestan.
Menurut Nasri, Thukul lebih banyak menggunakan jaringan aktivis pergerakan dan aktivis gereja Katolik semasa dalam pelarian. "Kebanyakan jaringan Thukul dari pemuka Katolik," ujarnya. Dari beberapa kabar yang dia dapatkan, Thukul sering mendapat perlindungan dari sejumlah romo. Ia juga pernah mendapat kabar Thukul pernah bersembunyi di Katedral Jakarta selama beberapa bulan. Namun Nasri tidak memiliki akses informasi ke sana untuk membuktikannya.
Pernyataan Nasri senada dengan informasi Thomas Daliman, yang sempat menampung Thukul selama di Pontianak. Thomas mengatakan pelarian Thukul di Kalimantan difasilitasi Keuskupan Agung. Thukul berada di Kalimantan sejak Agustus 1996 hingga Maret 1997. Di sana ia memakai nama samaran Paulus.
Kini Nasri tidak ingin berspekulasi perihal keberadaan Thukul. Namun ia masih berharap kakak sulungnya itu belum mati dan segera pulang. "Jika masih hidup dan sehat jiwanya, ia pasti akan pulang," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo