Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Eko Maryadi mengatakan Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.Ad.7/2/34/70 menjadi dasar PKBI bersikukuh akan mempertahankan kantornya di Jalan Hang Jebat III.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"kita udah bilang berkali-kali bahwa kita berangkat dari SK Gubernur itu yang sampai hari ini belum dicabut. Itu yang membuat kita selalu merasa bahwa kita tuh sah berada di sini, kita tuh bukan penghuni liar,” ujar Eko saat Tempo menemuinya di depan Kantor PKBI yang sudah tertutup oleh seng putih, Rabu, 17 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan SK Gubernur tersebut yang dikeluarkan pada saat Ali Sadikin menjabat, Eko mengatakan enggan memberikan lahan kantor PKBI kepada Kementrian Kesehatan (Kemenkes) secara cuma-cuma.
Sementara itu Kemenkes berdalih mengambil alih kantor PKBI berdasarkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 374 Tahun 1999 yang dimilikinya. Direktur Eksekutif PKBI kepada Tempo mengatakan bahwa pada tahun 1996, PKBI sudah pernah mengajukan SHP kantor PKBI kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun SHP yang diajukan PKBI tersebut tidak pernah dikeluarkan.
Belakangan baru diketahui oleh PKBI pada tahun 2017 bahwa SHP tersebut keluar atas nama Kemenkes bukan nama PKBI. PKBI mengetahui karena pada tahun 2017 Kemenkes sudah mencoba melakukan pengambilalihan paksa kantor PKBI.
“Kemenkes itu merasa dia memiliki tanah ini karena punya SHP itu, sementara kita tidak punya, tetapi kita itu secara fisik menguasai berdasarkan SK Gubernur Ali Sadikin” ujar Eko.
Sejak mengetahui SHP dimiliki oleh Kemenkes, PKBI melakukan gugatan secara perdata SHP Nomor 374 Tahun 1999 tersebut ke pengadilan negeri. Namun gugatan tersebut ditolak. Kemudian PKBI mengajukan banding terhadap putusan pengadilan negeri karena menilai adanya kekhilafan hakim saat memberikan putusan. PKBI menilai hakim menggunakan peraturan yang berlaku saat ini untuk menjadi dasar pertimbangan hukum terhadap peristiwa masa lalu.
Namun upaya banding tersebut ditolak. Tak berhenti disitu, PKBI juga mengajukan kasasi ke Mahkaham Agung (MA), namun kasasi tersebut kembali ditolak. Penolakan tersebut dinilai oleh Eko karena pengadilan hanya memeriksa syarat formal.
“Karena memang kalau pengadilan itu mereka hanya memeriksa syarat formal Analoginya, ada orang terlibat kecelakaan, yang punya SIM pasti dimenangin walaupun dia bersalah dan yang tidak punya SIM, pasti dipersoalkan” jelas Eko.
MAULANI MULIANINGSIH