Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Eko Maryadi, membantah klaim Kementrian Kesehatan (Kemenkes) yang mengatakan ruangan yang ada di kantor PKBI disewakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Itu kan kampanye busuk yang dilakukan oleh mereka (Kemenkes)” ujar Eko saat Tempo menemuinya di depan Kantor PKBI pada Rabu, 17 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko mengatakan bahwa kantor PKBI di jalan Hang Jebat III bukan hanya digunakan sebagai kantor pusat PKBI, melainkan juga training centre. Training centre tersebut digunakan PKBI untuk memberikan edukasi mengenai kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan dan lain lain.
“Jadi dulu tuh di sini itu ada namanya Wisma PKBI. Di sini tuh dulu training center. Jadi di dalam itu ada 70 kamar yang biasa dipakai oleh peserta pelatihan. Pelatihan misalnya tiga hari. Di situ sudah ada tempat penginapannya.” Ujar Eko.
Lebih lanjut, Eko menjelaskan bahwa memang training centre tersebut sudah tidak aktif semenjak pandemi Covid-19. Meski begitu, Eko membantah jika training centre yang sudah tidak aktif menjadi alasan Kemenkes mengambilalih lahan kantor PKBI. Ia mengatakan kantor PKBI selama ini masih beroperasi.
“Yang tidak aktif kan Wismanya, tapi kan kantornya beroperasi. Kita ngurusin 25 PKBI di daerah dan 178 cabang, 25 klinik, lebih dari 20 PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Bina Anaprasadi berbagai provinsi” jelas Eko.
Pada 10 Juli 2024 lalu, Pemerintah Kota Jakarta Selatan atas nama Kemenkes melakukan pengambilalihan secara paksa kantor PKBI. Hal tersebut dilakukan berdasarkan Peraturan Gubernur nomor 207, untuk menertibkan bangunan liar.
PKBI menolak karena merasa bahwa kantor PKBI bukanlah bangunan liar. Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.Ad.7/2/34/70 menjadi dasar PKBI bersikukuh akan mempertahankan kantornya.
Sementara itu Kemenkes berdalih mengambil alih kantor PKBI berdasarkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 374 Tahun 1999 yang dimilikinya. Direktur Eksekutif PKBI kepada Tempo mengatakan bahwa pada tahun 1996, PKBI sudah pernah mengajukan SHP kantor PKBI tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun SHP yang diajukan PKBI tersebut tidak pernah dikeluarkan.
Belakangan baru diketahui oleh PKBI pada tahun 2017 bahwa SHP tersebut keluar atas nama Kemenkes bukan nama PKBI. PKBI mengetahui karena pada tahun 2017 Kemenkes sudah mencoba melakukan pengambilalihan paksa kantor PKBI.
Sejak mengetahui SHP dimiliki oleh Kemenkes, PKBI melakukan gugatan secara perdata SHP Nomor 374 Tahun 1999 tersebut ke pengadilan negeri. Namun gugatan tersebut ditolak. Kemudian PKBI mengajukan banding terhadap putusan pengadilan negeri karena menilai adanya kekhilafan hakim saat memberikan putusan.
PKBI menilai hakim menggunakan peraturan yang berlaku saat ini untuk menjadi dasar pertimbanga hukum terhadap peristiwa masa lalu. Namun upaya banding tersebut ditolak. Hingga permohonan Kasasi pada Mahkamah Agung juga ditolak. Penolakan tersebut dinilai oleh Eko karena pengadilan hanya memeriksa syarat formal.
“Karena memang kalau pengadilan itu mereka hanya memeriksa syarat formal Analoginya, ada orang terlibat kecelakaan, yang punya SIM pasti dimenangin. Yang tidak punya SIM, pasti dipersoalkan” jelas Eko.
MAULANI MULIANINGSIH