Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia atau PKBI melaporkan Pemerintah Kota Jakarta Selatan (Pemkot Jaksel) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kepada Ombudsman RI pada Selasa, 23 Juli 2024. PKBI menuding keduanya telah merampas kantor pusatnya di Jalan Hang Jebat, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami sampaikan penggusuran paksa terhadap kantor PKBI Nasional 10 Juli 2024 itu melanggar HAM dan mencederai rasa kemanusiaan," kata DED PKBI Jawa Timur, Zahrotul Ulya, dalam keterangan resmi pada Rabu, 24 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengklaim penggusuran kantor pusat mereka bukan hanya merugikan staf PKBI nasional. Tapi juga dirasakan warga sebagai penerima manfaat PKBI di berbagai daerah.
Sementara itu DED PKBI Lampung, Fajar Santoso, mempermasalahkan penggunaan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 207 Tahun 2016 yang menjadi acuan 'penggusuran'. Dia menuding pengenaan beleid itu problematik.
"Penggunaan Pergub 207 sebagai dasar penggusuran kantor PKBI itu tidak tepat dan membuka tafsir bahwa penguasaan asset negara harus selalu menggusur warga, termasuk merugikan lembaga yang berkontribusi dalam program kesehatan nasional," beber Fajar.
Pihaknya juga mempertanyakan proses Kemenkes mendapatkan Sertifikat Hak Pakai atau SHP Nomor 374/1999. Menurut Fajar, sertifikat itu pada dasarnya bukan hak milik.
"Kami memohon Ombudsman RI dan Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN) memeriksa prosedur pengajuan SHP oleh Kemenkes RI, mengingat PKBI sebagai pihak yang memakai lahan Hang Jebat sejak 1970 pernah mengajukan Sertifikat kepada BPN namun justru SHP-nya malah diberikan ke Kemenkes RI," lanjut DED PKBI Jakarta Putri Utami.
Selain itu, PKBI juga meminta Kemenkes menghentikan 'perampasan' kantor mereka. Ini untuk menghormati peran PKBI yang selama 67 tahun berkontribusi dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
"Apa salahnya Kemenkes dan PKBI duduk bersama mencari solusi yang bermartabat, berdialog?" ujar DED PKBI Jawa Barat Dian Mardiana. "Jika perlu ada mediator yang adil dan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan, karena PKBI bukan musuh pemerintah."
Sebelumnya, ratusan aparat gabungan Satpol PP, Polri, hingga TNI mengawal pengosongan kantor PKBI pada Rabu, 10 Juli 2024. Pengosongan ini buntut sengketa antara PKBI dengan Kemenkes.
Direktur Eksekutif PKBI Eko Maryadi mengatakan pihaknya sudah mendapatkan informasi eksekusi tersebut sejak kemarin malam. "Saya tidak mengira mereka mempersiapkan proses penggusuran dan pengusiran sedemikian masif," kata Eko saat ditemui Tempo di kantor PKBI, Jakarta Selatan, Rabu.
Dia pun mempertanyakan jalannya eksekusi ini karena tak memiliki surat perintah dari pengadilan. Apalagi, menurut dia, PKBI masih mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung dalam sengketa ini. Selain itu, Eko menilai putusan pengadilan sejak tingkat pertama hingga kasasi non-executable atau tidak bisa dieksekusi.
Tenaga Ahli Bidang Hukum Kemenkes, Misyal Achmad, membantah bahwa kegiatan tersebut merupakan eksekusi. "Kami sebenarnya tidak melakukan eksekusi, kami melakukan penertiban," kata dia saat ditemui Tempo di kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Rabu.
Dia menjelaskan eksekusi pengadilan bisa dilakukan apabila majelis hakim mengabulkan gugatan pemohon. Namun, Kemenkes tidak mengajukan gugatan kepada pengadilan." Aset tersebut berdasarkan legalitas tertinggi di negara kita sertifikat, itu milik Kementerian Kesehatan," ujar Misyal.
Misyal menyatakan pihaknya memang sempat memperbolehkan PKBI memakai aset tersebut. Namun, menurut dia, saat ini Kemenkes akan menggunakan aset tersebut. "Nah kami ke Pemerintah Kota, minta sesuai dengan aturan yang ada, minta dilakukan penertiban. Ini aset kami, milik kami, kembalikan dong ke kami," kata Misyal.