Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FILM Jatuh Cinta Seperti di Film-film ternyata tidak seperti kisah cinta dalam film-film biasa. Meski penulis skenario dan sutradara Yandy Laurens mencoba menggunakan tema yang sudah aus diutak-atik para sineas, dia tetap mencoba menyajikan sebuah film cinta yang berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasilnya, Jatuh Cinta Seperti di Film-film adalah sebuah film yang unik, memukau, dan kelak tidak menjadi bagian dari makam sinema yang hilang begitu saja dalam sejarah. Dan sebagian besar juri sepakat itu semua disebabkan oleh skenario yang kuat dan rapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, Bagus (Ringgo Agus Rahman) adalah seorang penulis skenario yang selama ini menulis untuk serial dan film-film komersial. Dia merasa sudah waktunya menulis cerita yang sudah lama diinginkannya: kisah cinta yang harus ditampilkan dengan film hitam-putih.
“Hitam-putih?” ucap produser Pak Yoram (Alex Abbad yang tampil luar biasa lucu), terpana.
“Betul, Pak. Judulnya Jatuh Cinta Seperti di Film-film,” kata Bagus, bersemangat.
“Jatuh Cinta Seperti di Film-film…. Horor, kan? Bagus, tuh….”
Inilah kecerdasan Yandy Laurens mengikat penonton dengan kalimat dialog yang pas, cerdas, ringan, tapi tetap bermakna. Film ini istimewa bukan sekadar karena Yandy “berani” menggunakan warna hitam-putih yang dominan, tapi juga lantaran persoalan teknis film yang menjadi bagian dari storytelling.
Yandy Laurens berbincang dengan aktor Ringgo Agus Rachman di lokasi syuting Jatuh Cinta Seperti di Film Film. Jozz Felix
Dari sisi bentuk, Yandy menggunakan film hitam-putih sebagai bagian dari imajinasi tokoh Bagus yang kemudian dibagi menjadi beberapa babak persis seperti bentuk skenario film.
Dalam kisah hidup Bagus, perempuan yang ia sukai adalah Hana (Nirina Zubir dengan penampilan terbaiknya), kawan lama yang masih berduka karena suaminya wafat. Dalam film yang kelak diproduksi di film ini, Hana diperankan oleh Julie Estelle.
Pada saat Bagus menceritakan bagian dari kesehariannya dengan Hana, di layar akan tersaji adegan film berwarna, yang kemudian membuat kita menyadari betapa karakter Hana dalam bayangan Bagus sebetulnya berbeda dengan kenyataan. Maka drama kemudian menyala-nyala pada babak-babak pertengahan film ini dengan Bagus dan Hana mencoba menggali arti cinta. Kesederhanaan cerita film ini di tangan Yandy diwujudkan menjadi skenario yang bersinar karena dia meramu segala unsur sinema—visual, audio, dan warna—menjadi cerita yang disajikan dengan cara unik.
Lahir di Makassar 36 tahun lalu sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, pria bernama lengkap Alexander Yandy Laurens ini menempuh studi perfilman di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sejak kecil Yandy sudah memperlihatkan bakatnya dalam bercerita secara visual karena kegemarannya membuat komik. Belakangan, Yandy mengungkapkan, berbagai karya sineas membuatnya tertarik pada sinema. “Karya-karya sutradara Martin Scorsese yang membuat saya menyukai film,” ujarnya. Setelah dewasa, dia mengaku selalu mengikuti karya-karya humor Stephen Chow dan Edgar Wright serta menikmati tekanan film keluarga dalam karya Hirokazu Kore-eda dan Bong Joon-ho.
Sebagai alumnus IKJ, tentu saja Yandy juga memperhatikan dan mengagumi para sineas Indonesia. “Saya suka cara berpikir Mas Riri (Riza), kejujuran Kamila Andini, dan humanisme Garin Nugroho,” utur Yandy.
Film Keluarga Cemara yang diadaptasi dari serial televisi dengan judul sama dari novel karya Arswendo Atmowiloto adalah film layar lebar pertama yang disutradarai Yandy. Skenario film yang ditulis bersama oleh Yandy dan Gina S. Noer ini mendapatkan penghargaan Skenario Adaptasi Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2019. Sebelumnya dia menghasilkan film pendek Wan An yang diganjar Piala Citra FFI 2012.
Ide film terbarunya ini lahir dari sesuatu yang personal. Yandy menjelaskan, semula dia ingin berkisah tentang seorang ibu sebagai orang tua tunggal. “Ayah saya meninggal saat saya berusia 14 tahun,” katanya. Dalam proses perenungan penciptaan itu, akhirnya kisah yang berpusat pada ibu berbelok menjadi kisah cinta. Tapi tampaknya Yandy tetap mempertahankan sosok Hana sebagai perempuan yang berduka atas kematian suaminya, dan bagaimana dia mencoba bertahan.
Yandy Laurens di lokasi syuting Jatuh Cinta Seperti di Film Film. Jozz Felix
Skenario Yandy menarik bukan hanya secara konsep dan bentuk, tapi juga dalam hal bagaimana dia membentuk dan mengembangkan karakter tokoh utama Bagus yang sibuk dengan perasaan sendiri dan tak paham bahwa masa duka seseorang tak mempunyai titik kedaluwarsa. Yandy menuliskan perkembangan karakter Bagus dengan kesabaran hingga perkembangannya menjadi sosok yang mencintai tanpa pamrih terasa organik dan alami.
Pilihan menulis dan membuat film dengan tema keseharian, seperti dalam film pertamanya, Keluarga Cemara, dan kini kisah cinta dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-film, adalah “sesuatu” yang berani justru karena tema ini sudah terlalu sering digarap oleh sinetron, serial, ataupun film. Sineas yang memilih tema “biasa” harus mencari cara, format, dan warna penyajian yang berbeda. Yandy berhasil menyajikannya dengan memukau.
Dengan keinginan selalu belajar dan mengamati, Yandy dengan generasi baru sineas angkatannya akan menjadi pilar-pilar baru perfilman Indonesia yang menjanjikan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cerita Hitam-Putih Yandy Laurens"