Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teater Populer, Tanah Abang, Jakarta, pertengahan Desember 2007.Slamet Rahardjo tiba-tiba muncul di panggung sebagai jin. Rambutnya awut-awutan. Ia telanjang dada. Perut buncitnya dibiarkan terbuka. Tangan Slamet bergerak seperti penari legong. Slamet membuat suasana hidup dan kuat. Hujan deras yang mengguyur Tanah Abang saat itu menjadi tak terasa.
Ha-ha-ha sang jin tertawa-tawa, ia menari-nari diiringi bermacam-macam perkusi yang dimainkan Inisisri malam itu. Putri Syaharazad (diperankan Ratna Ully), yang tadinya tenggelam dalam kemurungan, merasa terhibur.
Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta, akhir Mei 2009.
Slamet Rahardjo menjadi salah satu ahli perbintangan Khalifah Harun al-Rasyid. Ia berdebat dengan Syaharazad tentang asal-usul penciptaan. Sang ahli nujum bertanya kepada sang putri tentang sendi-sendi seorang muslim.
"Apakah itu zakat?"
"Apakah itu salat?"Semuanya bisa dijawab Syaharazad dengan puitis dan meyakinkan. Sang ahli nujum itu terus memburu.
"Apa hakikat persetubuhan?"
Itu pun dapat dijawab Syaharazad dengan indah. Sampai akhirnya wazir Khalifah Harun al-Rasyid tersebut mengaku kalah: "Aku kehabisan pertanyaan."
ITULAH cuplikan pertunjukan 1001 Malam yang mengesankan. Inilah sebuah pementasan yang melalui proses panjang, hampir dua tahun. Awalnya Slamet Rahardjo bersama Robert Draffin dari teater Liminal Melbourne, selama tiga bulan, September-November 2007, mengadakan workshop tentang 1001 Malam. Kita tahu, Kisah 1001 Malam bercerita tentang Syaharazad yang, setelah dinikahi Raja Syahrayar, akan dipenggal kepalanya. Syaharazad kemudian mengulur waktu kematiannya dengan mengisahkan cerita-cerita menawan.
Slamet dan Robert Draffin menyeleksi Kisah 1001 Malam berdasarkan terjemahan penyair Sapardi Djoko Damono. Mereka yang terlibat latihan adalah para penari Institut Kesenian Jakarta, anggota Teater Populer, seperti Alex Komang, dan pemusik Inisisri. Pertunjukan bukan menyajikan potongan-potongan kisah yang berdiri sendiri, melainkan kisah-kisah bersambungan. Dan Desember 2007, menjelang Idul Adha, hasil lokakarya itu disajikan di rumah Teguh Karya (almarhum) dengan penonton terbatas, selama kurang-lebih empat jam. Mungkin malam itu adalah penampilan terakhir musikus Inisisri, karena setelah itu ia kemudian jatuh sakit.
Mei 2009, 1001 Malam kembali dipentaskan di Teater Luwes. Pentas tidak menggunakan auditorium. Lantai dibelah menjadi dua. Penonton bisa duduk di sisi kiri-kanan pertunjukan. Banyak pemain yang berubah. Pemusik asal Minang, Anursiwan, menggantikan Inisisri yang masih sakit (Inisisri kemudian meninggal September). Dari Jakarta yang tampil adalah Ratna Ully, Elly Luthan, Subarkah Hadisardjana, Asri Merry Sidowati, Herlina, dan Ria Probo. Aktor Asep Budiman dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung dan seorang aktor Jepang. Suzuki Nobuyuki ikut terlibat.
Mula-mula dari berbagai penjuru menyeruak masuk para perempuan bercadar hitam terusan (busana oleh Samuel Wattimena) menari-nari. Penari Elly Luthan duduk bersila menyaksikan adegan sembari menembang, merapal, meracau. Di belakangnya pemusik Anursiwan dengan alat musik gesek dan petik tradisional Minang, gong, serta perkusi sesekali mengeluarkan warna bebunyian khas Timur Tengah.
Slamet dan Alex Komang bergantian memerankan karakter berbeda. Ada adegan Alex menjadi raja, Slamet menjadi pedagang. Aktor Asep Budiman tampil ketika Syaharazad dikisahkan makin tertekan dan bercerita tentang Pangeran Berlian yang berusaha memecahkan teka-teki Fircone dan Cypress, Raja Kota Wafa. Permainan Asep bertenaga, tak mudah dilupakan.
Kekuatan Slamet adalah ia mampu mengadaptasi kisah populer Arab itu ke suasana alam kebatinan Jawa. Kisah 1001 Malam itu seolah kisah dengan roh Jawa. Saat Slamet sebagai juru nujum berdebat dengan Ratna Ully sebagai Syaharazad tentang sendi-sendi seorang muslim, kemudian rahasia persanggamaan, ingatan kita segera melayang ke serat-serat Jawa yang, tatkala membahas pencapaian-pencapaian rohani seorang manusia, penuh dengan metafora hubungan asmara.
Pertunjukan itu sendiri disajikan dengan kesederhanaan teater tradisi. Lama kita tidak menyaksikan sebuah pertunjukan yang bersahaja tapi berbobot. Itulah mengapa Tempo memilih 1001 Malam sebagai pertunjukan teater terbaik 2009.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo