Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Joko Anwar<br /><font size=2 color=#FF9900>DI SEMUA FILM SAYA PUNYA PERNYATAAN</font>

28 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA satu adegan yang sangat mengganggu dalam film Pintu Terlarang (di antara lautan adegan gelap lainnya). Protagonis film itu, Gambir (Fachri Albar), berbisik, dengan nada sedih dan keji, ke telinga ibunya, "Saya masih memaafkan para orang tua yang mempunyai anak dan memberikan kasih sayang."

Suara Gambir adalah suara Joko Anwar. Inilah sutradara yang filmnya untuk kedua kalinya terpilih sebagai film terbaik versi Tempo. Film Pintu Terlarang bersaing dengan film Sang Pemimpi (Riri Riza), Cin(t)a (Sammaria Simanjuntak), Identitas (Aria Kusumadewa), dan King (Ari Sihasale). Film ini terpilih karena Joko dianggap mampu menghasilkan sebuah film menggebrak layar (dan jiwa penonton). Bukan hanya majalah Tempo, dan bukan hanya majalah film Inggris terkemuka, Sight and Sound Magazine (diterbitkan oleh British Film Institute), kritikus Richard Corliss dari majalah Time mengatakan, "As slick as it is sick, the movie could be Anwar's calling card for international employment, if only Hollywood moguls wanted something out of their own narrow range" ("Film ini bukan hanya cerdas sekaligus sakit, tapi film ini adalah tiket bagi [Joko] Anwar untuk bekerja di arena internasional. Jika saja para kaisar Hollywood menginginkan sesuatu di luar kawasan mereka yang sempit").

Film Pintu Terlarang berkisah tentang seorang perupa bernama Gambir (Fachri Albar) yang berjiwa rusak. Dibuka dengan warna-warni yang cemerlang, pengadeganan yang rapi dan teliti, kita melihat sebuah pameran patung karya Gambir yang dihadiri Talyda (Marsha Timothy), sang istri jelita yang dominan; Menik Sasongko (Henidar Amroe), ibu yang anggun tapi penuh perintah dan ego; Koh Jimmy (Tio Pakusadewo), pemilik galeri yang oportunis. Semua tampak begitu kinclong, bersinar menyerotkan kesuksesan gaya urban. Tapi inilah tipuan gaya sutradara David Lynch pada awal semua filmnya. Bedanya, Lynch lebih suka menggunakan kedamaian ala suburban sebagai topeng yang menutupi kebusukan yang berada di lapisan bawah manusia.

Setelah warna-warni cantik ini, yang diselingi animasi gaya 1960-an, tiba-tiba penonton terdampar di lorong gelap hidup Gambir. Di balik perut patung yang berbentuk wanita hamil itu, Gambir memasukkan gumpalan janin bayi hasil aborsi. Belum selesai terguncang, kita dihajar oleh keanehan hubungan suami-istri Gambir dan Talyda yang penuh ketegangan sekaligus erotis. Kemudian Joko menampilkan pertanyaan hidupnya: mengapa seorang anak itu bisa meluncur dari para orang tua yang belum tentu menginginkannya?

Tokoh Gambir didera suatu "permintaan": "Tolong Saya", yang mengikutinya ke mana pun dia pergi. Sementara Gambir mencari jawaban, kepada kita disuguhkan pertanyaan terbesar dalam film ini. Ada apa di balik Pintu Merah besar itu? Siapakah anak kecil yang senantiasa meminta tolong setiap kali dia habis disiksa ayahnya?

Joko meninggalkan perasaan yang tak nyaman pada penonton hingga akhir film. Dan hingga kini, film itu terus bercokol di benak kita. Sebuah film yang mengguncang jiwa.

l l l

Film Pintu Terlarang menyediakan begitu banyak lapis interpretasi yang tak habis-habisnya. Persoalan teknis sinematografi, tata musik, tata artistik, dan penanganan seni peran pemain adalah tahapan yang sudah dilalui oleh sutradara sekelas Nan T. Achnas, Riri Riza, Joko Anwar, dan Nia Di Nata. Ketika membicarakan karya mereka, kita sudah pada tahap lapisan tafsir karyanya.

Pada saat menyaksikan karya-karya Joko, kita akan melihat benang merah itu: pernyataan tentang hak seorang anak untuk bersuara. Pernyataan Gambir dalam film Pintu Terlarang adalah pernyataan Joko Anwar. "Itu pernyataan penting dalam setiap karya saya," katanya dengan nada tegas. "Pernyataan itu adalah pertanyaan: apakah para orang tua sudah memikirkan betul bahwa mereka menginginkan anak." Pertanyaan yang sangat sah, meski mungkin akan dianggap aneh dalam masyarakat Indonesia yang dengan santai mencemplungkan anak ke dunia.

"Jangan melahirkan anak hanya karena itu tekanan keluarga tetapi di kemudian hari anak itu disiksa," kata Joko. Siang itu, di antara riuhnya pengunjung Kemang Festival, Joko Anwar bersama Zeke Khaseli (dari band Zeke and the Popo) mengajak Tempo menyusuri jalan sembari berkisah tentang masa lalunya yang kelabu. Tapi kini dia menceritakannya dengan santai sembari tertawa. "Saya tak mau terdengar seperti mengeluh dan cengeng," katanya.

Joko juga menekankan, "Saya sama sekali tidak menyesali hidup." Ia berkata sembari mengajak Tempo duduk di hadapan seorang peramal di salah satu tenda. Dia tertawa kecil ketika diramal akan kaya raya jika mau berusaha. Setelah mengeluarkan duit untuk ramalan itu, Joko meneruskan kisahnya. "Dengan masa lalu seperti itu, saya malah memiliki kesempatan untuk mencari identitas saya," katanya.

l l l

Lahir di Medan, 3 Januari 1976, Joko Anwar semula lebih dikenal sebagai kritikus film yang tajam di harian The Jakarta Post. "Tetapi, sejak kecil, sejak kelas IV SD, saya selalu tertarik film-film kungfu dan semua film Indonesia yang dibintangi Barry Prima," kata Joko.

Film pertamanya, Janji Joni, dipilih Tempo sebagai film terbaik karena kemampuan Joko menertawai dunianya sendiri: dunia film. Tapi pada kedua film berikutnya terasa kepahitan Joko. Kegelapan hidup di masa lalunya dijungkirbalikkan menjadi kekuatan. Dia menjadikannya film-film yang gelap dan menggocoh penonton, seperti Kala dan Pintu Terlarang.

Di antara keramaian pengunjung Kemang Festival itu, Joko Anwar berjalan bersama musisi Zeke Khaseli menjawab pertanyaan Tempo."Di antara kekacauan yang sedang terjadi di perfilman Indonesia, saya masih mencoba percaya kepada negeri ini," katanya. Dia bahkan tertawa geli ketika diskusi masuk ke soal Undang-Undang Perfilman dan Undang-Undang Pornografi.

"Nanti gue bikin film, judulnya Porno," ujarnya, terkekeh-kekeh, sembari menceritakan plotnya yang memang lucu. "Sudahlah, daripada frustrasi, mending kita bicarakan yang optimistis saja," katanya setelah lelah tertawa. Oke, siapa sutradara muda yang menurut Joko punya harapan?

Joko menyebut nama-nama anak muda yang mempunyai masa depan bagus, yaitu Edwin, Mouly Surya, dan Mo Brothers. Joko mengatakannya tanpa ragu. Ketiga nama ini masing-masing baru menelurkan satu film cerita: Edwin menyutradarai film Babi Buta yang Ingin Terbang, yang sudah mendapatkan berbagai penghargaan internasional; Mouly Surya tahun lalu melahirkan film Fiksi; dan Mo Brothers (terdiri atas dua nama sutradara, yaitu Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto) menghasilkan film berjudul Rumah Dara (atau Macabre), yang akan beredar awal 2010.

Sejauh ini, menurut Joko, keempat sutradara baru itu berani memberontak dari sisi sinematik dan juga dari arus genre. "Mereka betul-betul berani membuat film yang mereka inginkan dan tidak melakukan kompromi apa pun," kata Joko.

Joko tidak khawatir terhadap selera penonton, yang konon dianggap sebagai barometer para produser untuk memproduksi film. "Bukan penonton yang salah, tetapi justru kita yang harus berani memberikan film alternatif," kata Joko. Beberapa tahun terakhir, film Indonesia didominasi film genre horor dan komedi seks. Produser merasa aman dengan genre itu, karena ongkos pembuatannya bisa murah, tanpa pemain terkenal, dan penonton lazimnya bisa mencapai angka yang lumayan tinggi.

Akibatnya, terjadilah apa yang disebut Joko sebagai "kriminalisasi genre". Apa pula itu? "Masyarakat dan pengamat film yang bosan dengan sajian genre horor dan komedi bersumpah serapah terhadap genre, padahal yang salah bukan genre, tetapi eksekusinya. Film horor dan komedi (seks) tetap banyak yang bagus jika digarap dengan serius," kata Joko. Jadi itulah yang kemudian dia sebut sebagai "kriminalisasi genre". Joko menganggap kini film genre horor seolah mendapat nama buruk hanya karena eksekusi pembuatan film horor yang buruk secara bertubi-tubi.

Untuk tahun 2010, Joko membentangkan rencana tiga buah film. "Semuanya berongkos rendah," katanya dengan nada optimistis "Yang pertama berjudul 24 Frames per Heartbreak aka Masturbation as the Perfect Cure for Insomnia. Ini film tentang seorang sineas yang ingin 'menghukum' penonton dengan membuat film yang sangat menghancurkan hati. Dia melakukan itu karena film-film dia sebelumnya tak pernah laku," kata Joko. Film berikutnya, menurut Joko, adalah Modus Anomali, yang isinya masih dirahasiakan. Sedangkan yang terakhir berjudul Misadventure in Lo Fi, cerita tentang seorang lelaki yang profesinya membuat subtitle (terjemahan film) untuk DVD bajakan.

Joko mengisap rokoknya sembari menyeringai di tengah gerahnya lautan pengunjung Kemang Festival. "Saya belum cari investor, tapi saya selalu optimistis, karena itu kekuatan yang saya miliki."

Tentu saja bukan hanya itu kekuatan yang ia miliki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus