Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sapardi Djoko Damono<br /><font size=2 color=#FF9900>KOLAM LIRIS</font>

28 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAPARDI Djoko Damono kembali menegaskan bahwa puisi liris adalah puisi Indonesia itu sendiri. Melalui buku puisinya, Kolam, sastrawan kelahiran Solo, 20 Maret 1940, itu mengekalkan dominasi puisi liris di ranah kesastraan negeri ini, yang telah dirintis oleh Amir Hamzah dan Chairil Anwar, dan memenuhi bidang lain yang tak diisi oleh puisi sejenis bikinan Goenawan Mohamad.

Kolam adalah monumen yang tengah memperpanjang bayang-bayang Sapardi dalam khazanah puisi liris, yang sudah dimulai sejak ia menerbitkan buku puisi pertama Duka-Mu Abadi pada akhir 1969.

Kumpulan puisi mutakhirnya itu masih memberikan kepada kita sebuah keterpesonaan dan kepekaan pada berbagai anasir alam yang kecil, remeh-temeh, dan terabaikan dari pandangan mata kaum ekonom dan politikus. Sebuah perhatian yang tampak subversif di zaman ketika kita lebih peduli terhadap pembangunan ekonomi dan ingar-bingar politik. Perhatikan, misalnya, pada Kolam di Pekarangan:

Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. Ia ingin sekali bisa merindukannya. Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus menerus berusaha untuk tidak bergoyang.

Dengan perincian seperti itu, Sapardi memberikan tamasya indrawi dengan bahasanya yang terampil dan sederhana. Dan kesederhanaan ini sengaja dipasang untuk menyembunyikan kompleksitas persoalan yang hendak dihadirkannya kepada pembaca. Simaklah puisi Secangkir Kopi ini:

Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu kauminum itu tidak pernah mengusut kenapa kau bisa membedakan aromanya dari asap yang setiap hari kauhirup ketika berangkat dan pulang kerja di kota yang semakin tidak bisa mengerti kenapa mesti ada secangkir kopi yang tersedia di atas meja setiap pagi.

Sapardi meniupkan sepenuhnya nalar manusiawi kepada mereka sehingga mereka tampak sebagaimana manusia juga—di satu sisi upaya ini serupa perluasan fabel. Karena itu, kolam di pekarangan bukan lagi sekadar lanskap, tapi sebuah risalah tentang berbagai anasir alam raya dan hubungan-hubungan yang kompleks di antara mereka. Adapun sebilah pisau dalam puisi Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul Berkeliling di Kompleks, yang Selalu Berjalan Menunduk dan Hanya Sesekali Menawarkan Dagangannya dengan Suara yang Kadang Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya Berapa Harganya Dikatakannya, ”Terserah Situ Saja...” adalah jalan masuk ke masalah nasib manusia: akan ke mana kita setelah hidup ini sebenarnya? Dengan kata lain, Sapardi sebenarnya tengah merumuskan renungan-renungan filosofis dengan cara yang cukup berhasil.

Memang, ada yang terasa berulang jika kita membandingkan kumpulan ini dengan kumpulan puisi Sapardi sebelumnya. Namun, jika kita tilik lebih jauh lagi, akan tampak upaya penyair menyegarkan puisi-puisinya. Sebutlah misalnya munculnya suara-suara lain, semacam interupsi, yang dalam Kolam tampil dalam cetak miring, seperti dalam Hari Ulang Tahun Perkawinan ini:

Pada hari ulang tahun perkawinan kita yang kesekian, yang kita sendiri lupa hari bulan apa, kau tidak menyalakan lilin atau mengundang teman makan-makan. Kapan pernah?

Lewat Kolam Sapardi juga mulai toleran dengan sejumlah bentuk ragam bahasa cakapan—sejumput kelisanan. Ini semacam upaya menawarkan keresmian bahasa puisi yang telanjur dipercaya sebagai sebentuk terakhir keberaksaraan si penyair, sehingga puisi tampak sebagai sebentuk realisme yang rendah hati. Sementara itu, yang banyak terjadi dalam sastra kita akhir-akhir ini, termasuk dalam karya-karya sastra yang menjadi pesaing Kolam, kelisanan tampil sebagai ancaman serius yang meruntuhkan kekukuhan bangun karya sastra—wujud nyata ketidakterampilan berbahasa.

Dulu Sapardi pernah menegaskan ”aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan”. Tapi tahun ini Sapardi harus bertarung dengan bayang-bayangnya sendiri, yakni mereka yang mencoba menulis puisi dengan model-model yang pernah dipakai oleh Sapardi dan penyair pendahulu mereka; dengan mereka yang belum terampil berbahasa, yang lebih mengandalkan kelisanan ketimbang keberaksaraan, bakat ketimbang intelektualisme. Dan Sapardi membuktikan keampuhan jurus-jurusnya. Sekali lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus