Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELALU ada masa ketika muka-muka lama, para master yang sudah menundukkan para pesaingnya di masa lalu-dan mencapai kejayaan kembali muncul dan lagi-lagi menaklukkan. Ini bukan tentang cerita silat-yang banyak mengekspos episode cerita semacam itu. Tapi, sebagai perumpamaan, begitulah kira-kira yang terjadi dalam pemilihan tokoh seni versi Tempo tahun ini.
Ketika kami, redaksi dan tim panelis, yang terdiri atas A.S. Laksana, Linda Christanty, dan Zen Hae, akhirnya memilih Sapardi Djoko Damono,
69 tahun, sebagai tokoh sastra, kami menilai penyair "veteran" itu tak tertandingi. Buku puisinya, Kolam, terbit Mei lalu, kami nilai melampaui calon-calon lain dari berbagai segi.
Kami mulai terenyak tatkala hanya beberapa jam sesudahnya, dalam pembahasan yang relatif mulus, Slamet Rahardjo terpilih sebagai tokoh seni pertunjukan. Slamet, tahun ini usianya 60, adalah muka lama dalam lanskap teater. Dia juga "veteran"-baru muncul lagi setelah lama absen.
"Kalau Teguh yang terpilih untuk seni rupa, lengkaplah," kata seorang peserta diskusi waktu itu. Sebelumnya kami menggelar pencalonan pemenang bidang seni rupa. Dan Teguh yang dia sebut itu-Teguh Ostenrik-berada di antara nama para calon, selain S. Teddy D. dan Eddi Prabandono.
Deretan jagoan tua kian lengkap setelah Teguh terpilih menjadi tokoh seni rupa 2009. Perupa kelahiran Jakarta 59 tahun lalu itu terus berkarya dan giat bereksplorasi. Dia "melompat-lompat pagar", mencoba beraneka medium melalui kenakalan-kenakalan, dengan hasil yang terus-menerus mencengangkan.
Komentar mengenai usia ini tentu saja bukan karena kami menganggapnya gawat, melainkan sebuah kekuatan yang menarik: umur dan waktu bukan penghalang kreativitas. Dan, siapa pun bisa berprestasi di usia senja. "(Pelukis) Djoko Pekik baru mencapai puncak kreativitas di usia 50 tahun," kata Bambang Bujono, salah satu panelis untuk bidang seni rupa.
Pepatah mengatakan tua-tua terung asam: bahwa genit pun bisa berlaku bagi orang tua. Nah, "kegenitan" ternyata berlaku untuk urusan berkreasi yang tak kenal umur.
Kita mulai dengan Sapardi. Penyair kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, ini pertama kali menerbitkan kumpulan puisi 40 tahun lalu, berjudul Duka-Mu Abadi. Sejak itu puisi selalu menjadi bagian hidupnya (di samping menulis cerita pendek dan esai), walau belum tentu menerbitkan buku. Dalam Kolam dia memang tak menunjukkan perubahan besar. "Temanya berulang-ulang. Sapardi seakan tak beranjak dari kepenyairan yang dia capai saat ini," kata seorang peserta diskusi.
Tapi panelis lain, meski mengakui puisi liris Sapardi sebagai "merek dagang"nya, melihat kali ini ada pergeseran. "Sapardi berusaha keluar dan menemukan bentuk-bentuk baru. Dia, misalkan, sudah memasukkan bahasa lisan dalam puisinya, sesuatu yang dulu tidak dia lakukan, meski beberapa pengarang lain sudah melakukannya," katanya.
Pada babak final, Kolam harus bertanding dengan Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Novel berlatar Papua yang dianggap bisa menghindar dari "masalah keperajinan dan strategi estetis" ini, menurut seorang panelis, dapat bertutur dingin dan memberi konteks sosiologis. "Sebagai pengarang muda, Anindita bereksperimen dengan menggunakan sudut pandang tiga tokoh: Leksi, anak perempuan berusia tujuh tahun; Pum, seekor anjing; dan Kwee, seekor babi," katanya.
"Tapi nada bicara ketiga tokoh itu sama. Tokoh anjing, misalkan, terkesan terlalu cerdas," kata panelis lain membantah.
Intinya: ada kelebihan dan kekurangan pada kedua karya itu. Ini pun dengan catatan bahwa, demi kepantasan, kami mengeluarkan dari pencalonan dua karya anggota keluarga kami yang sebenarnya layak, Tan Malaka dan Dua Lakon Lain (Goenawan Mohamad) dan 9 dari Nadira (Leila S. Chudori).
Jika lalu karya Sapardi yang dipilih, kami sepakat menilainya sebagai tahap maju kesusastraan Sapardi dalam puisi liris seraya tetap mempertahankan kekuatannya dalam mengungkai hal-hal sederhana secara asyik, tapi sebenarnya mengungkapkan persoalan-persoalan besar.
Dibanding sastra, diskusi seni pertunjukan dan seni rupa relatif lebih mulus, tanpa perdebatan liat. Bukan berarti pemenangnya tak punya pesaing. Misalnya Slamet Rahardjo. Saat pencalonan, ada beberapa nama lain. Seorang di antaranya dinilai paling kuat, yaitu Hartati. Melalui In/Out, yang dipentaskan di Teater Salihara pada Oktober lalu, Hartati dipuji berhasil mengorganisasi tari berkelompok.
Menurut F. Dewi Ria Utari, penulis tari yang kami minta menjadi panelis, tak banyak yang berhasil melakukan hal serupa. Dengan bantuan dramaturgi, walau hal ini bukan baru, Hartati bisa menampilkan pertunjukan dengan alur yang komunikatif.
Dengan kriteria yang sama, proyek pertunjukan 1001 Malam yang dipimpin Slamet (dia menyutradarainya bersama Robert Draffin dari Melbourne, Australia, di samping memerankan beberapa karakter) tampak unggul. Dipentaskan pada Mei lalu di Teater Luwes, Taman Ismail Marzuki, adaptasi Kisah 1001 Malam dalam alam kebatinan Jawa ini melibatkan jauh lebih banyak pemain. Proses persiapannya pun hampir dua tahun. Dan, hasilnya memukau.
Unsur skala juga menentukan kemenangan Teguh Ostenrik. Dari satu pameran saja, deFACEment, di Galeri Nasional pada Mei lalu, Teguh menonjol dalam seketika dibanding S. Teddy D. (instalasi Love Tank) dan Eddi Prabandono (patung kepala Luz). Bukan berarti karya Teddy dan Eddi tak mengesankan. Tapi, secara gagasan, imajinasi, dan terutama keperajinan, Teguh berhasil mewujudkan aneka instalasi menakjubkan dari besi-besi rongsokan; dia merangkai sampah itu, besi-besi kaku, kasar, dan berkarat, tanpa mengubah bentuk aslinya.
Jika itu belum meyakinkan, masih ada karya lain untuk menilai Teguh: instalasi ratusan wajan berjudul Wok with Me yang dipajang di Atrium Pacific Place, Jakarta, Agustus lalu. Inilah karya yang pemasangannya memerlukan hitung-hitungan matematis dan banyak tukang, juga perlu waktu hampir sepekan.
Bagaimanapun, tampilnya para jago tua itu tetap saja mengganggu. Sebab, ada kesan dunia seni seolah-olah berhenti, jalan di tempat. Wajar jika kami merasa lega bahwa di dua bidang lainnya, yang terpilih sebagai tokoh adalah wajah-wajah masa kini. Bahkan, di antara calon-calonnya, tak satu pun masuk kategori "veteran".
Sebutlah film. Dari judul-judul yang dicalonkan, sempat lewat perdebatan seru, semuanya karya sutradara muda. Joko Anwar, melalui Pintu Terlarang, terpilih setelah kami menyortir film-film yang layak, lalu membahasnya berdasarkan kriteria teknis. Antara lain skenario, penyutradaraan, dan seni peran.
Pada tahap penyisihan, di lima besar, Sang Pemimpi karya Riri Riza bersanding dengan Cin(t)a (Sammaria Simanjuntak), Pintu Terlarang, King (Ari Sihasale), dan Identitas (Arya Kusumadewa). Seperti tahun lalu, kami menimbang pula faktor-faktor nonteknis. Kami percaya, sama dengan karya seni lainnya, film seharusnya tak cukup hanya dengan cerita menarik, penuturan lancar, gambar-gambar bagus dan berbicara, mungkin juga musik yang menawan. Ia harus membuka kesadaran, bahkan mengge- dor jika perlu, terhadap hal-hal yang mungkin pahit, bahkan buruk, sinting, dan mengerikan, tapi punya relevansi dengan kehidupan.
Dalam kadar tak sampai ekstrem, hal-hal yang menggelisahkan itu pula yang masuk ke sebagian besar lagu Tika bersama band-nya, The Dissidents. Mereka tokoh seni bidang musik. Bidang ini memang baru kami sertakan. Kenapa musik? Pertanyaan yang sama bisa diajukan untuk film, sebenarnya. Tapi, baiklah, sama halnya dengan film yang tetap punya peluang seni, musik sebenarnya bisa menjadi karya yang menaruh elemen artistik dan estetika pada posisi yang juga penting, lebih dari sekadar hiburan.
Tika and the Dissidents sebenarnya tak sendirian. Paling tidak ada 10 album yang kami-bersama pengamat musik Denny Sakrie anggap layak sebagai terbaik tahun ini. Hanya dengan saksama mendengarkan lagi, kami menyimpulkan bahwa The Headless Songstress, album Tika and the Dissidents, melampaui album-album lain, dari segi penulisan lagu, aransemen, produksi, dan pengemasan.
Demikianlah, lagi-lagi harus ditegaskan kami tak berpretensi bisa menyenangkan semua orang. Kami punya pilihan, berdasarkan kriteria kami. Siapa saja boleh punya daftar sendiri. Yang pasti, dengan rutinitas tahunan ini, kami ingin seniman bisa punya mistar untuk mengukur diri. Termasuk, mengukur laju pencapaian mereka dari tahun ke tahun.
TIM TOKOH SENI DAN ARSITEKTUR 2009
Penanggungjawab: Purwanto Setiadi, Bina Bektiati.
Pimpinan proyek: Kurie Suditomo, Ahmad Taufik.
Penyunting: Purwanto Setiadi, Idrus F. Shahab, Hermien Y. Kleden, Putu Setia.
Penulis: Purwanto Setiadi, Bina Bektiati, Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori, Widiarsi Agustina, Ahmad Taufik, Kurniawan, Harun Mahbub.
Penyumbang bahan: Yosrizal Suriaji, Idrus F. Shahab, Kurie Suditomo, Martha Warta Silaban, Andari Karina Anom, Anwar siswadi (Bandung), Mahbub Djunaidy (Jember), Firman Hidayat (Samarinda).
Foto: Dimas Aryo (koordinator), Yosep Arkian, Dwianto Wibowo, Arnold Simanjuntak, Bismo Agung.
Bahasa: Uu Suhardi, Dewi Kartika.
Desain: Gilang Rahadian (koordinator), Eko Punto Pambudi, Hendy Prakasa, Aji Yuliarto, Kendra Paramita, Kiagus Auliansyah, Agus Darmawan Setiadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo