Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Kesehatan menyiapkan skenario transisi pandemi Covid-19 menjadi endemi.
Selain indikator kesehatan, kondisi politik dan ekonomi menjadi pertimbangan.
Presiden meminta penetapan pandemi Covid-19 menjadi endemi tidak terburu-buru.
PEMERINTAH berancang-ancang mengalihkan status pandemi Covid-19 menjadi endemi. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah sedang menyiapkan protokol transisi status wabah tersebut. Sejumlah kementerian pun menyiapkan kajian, termasuk Kementerian Kesehatan dan Kementerian Koordinator Perekonomian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi mengungkapkan rencana peralihan status ke endemi merupakan permintaan Presiden Joko Widodo. Presiden memerintahkan Kementerian Kesehatan menyiapkan skenario menuju endemi. Namun Jokowi meminta Kementerian tak terburu-buru mengubah status tersebut. “Presiden memahami dan posisinya hati-hati,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau begitu, Budi menyebutkan transisi menuju endemi hanya perkara waktu. Mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu telah mempelajari sejarah pandemi yang terjadi di dunia. Ia menyebutkan status endemi bisa dicapai ketika pemerintah menganggap sudah bisa menangani kasus yang terjadi.
Pada Jumat, 11 Maret lalu, Tempo mewawancarai Budi melalui video telekonferensi. Selama sekitar satu jam, ia menjelaskan persiapan pemerintah menurunkan status pandemi menjadi endemi.
Apa pertimbangan pemerintah menyiapkan transisi pandemi Covid-19 ke endemi?
Badan Kesehatan Dunia (WHO) serta Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat melihat pandemi ini sudah menurun dan akan masuk ke fase endemi. Berdasarkan pengalaman pandemi pada masa lampau, semua negara mengalami proses itu. Tinggal kapan dan bagaimana kita menyiapkan diri.
Sejak kapan Anda mengkaji peralihan status kesehatan itu?
Sekitar akhir Januari atau awal Februari lalu. Kami mencermati peristiwa pandemi yang terjadi di dunia sejak abad ke-13. Hasilnya, penyebab pandemi seperti virus, bakteri, atau parasit pasti mengalami mutasi. Situasi berubah menjadi endemi ketika manusia dapat menangani kasus yang terjadi.
Ada perintah Presiden untuk mempercepat transisi?
Presiden meminta disiapkan skenario menuju endemi. Kami mempresentasikan kajian itu kepada Presiden pada 27 Februari lalu. Kementerian Koordinator Perekonomian juga punya skenario dan kami memaparkan opini masing-masing. Namun Presiden belum memutuskan.
Apa masukan Anda kepada Presiden?
Indikator yang sudah digunakan WHO, yaitu laju penularan virus di bawah 1 selama enam bulan dan vaksinasi dosis kedua diharapkan dapat lebih dari 70 persen. Itu mekanisme transisi usulan kami. Tapi proses transisi itu juga perlu kesadaran masyarakat dalam berperilaku sehat. Tak perlu ke luar rumah jika tak enak badan atau memakai masker saat berada di kerumunan. Proses ini perlu edukasi juga.
Bagaimana respons Presiden?
Bapak Presiden memahami dan posisinya sebenarnya hati-hati. Beliau mengatakan, “Kita lihat dan enggak usah terburu-buru.” Sebab, WHO belum menyatakan Covid-19 sebagai endemi. Presiden cuma meminta agar skenarionya disiapkan. (Baca: Pontang-Panting Pemerintah Menghadapi Omicron)
Apakah hasil survei serologi menjadi salah satu faktor yang mendorong pemerintah menyiapkan skenario endemi?
Benar. Kami sedang mencari waktu untuk memaparkan hasilnya ke masyarakat. Survei itu merupakan riset serologi terbesar di dunia karena mencakup 20 ribu sampel. Hasilnya, sebanyak 88 persen responden sudah memiliki antibodi Covid-19.
Apa saran para epidemiolog?
Semua epidemiolog menjadi sangat yakin bahwa konsep herd immunity sudah tercapai meski kekebalan itu diperoleh dari infeksi, bukan vaksinasi Covid-19. Para epidemiolog dulu sangat keras kepada pemerintah karena kami dianggap terlalu longgar. Tapi sikap mereka sekarang berkebalikan. Mereka menjadi lebih percaya diri setelah membaca hasil survei serologi.
Ada epidemiolog yang cenderung berhati-hati soal transisi ke endemi karena angka kematian masih tinggi. Apa tanggapan Anda?
Perdebatan di publik pasti selalu terjadi. Ada kubu yang ekstrahati-hati, ada yang sudah ingin longgar, ada yang sudah capek, dan ada yang masih ingin terus pembatasan. Situasi itu kami hadapi setiap hari dan itu normal. Ada epidemiolog yang berpendapat angka kematian tinggi, tapi ada juga yang bilang rendah. Jadi tergantung dengan siapa kita berbicara.
Di mana Anda memosisikan diri di tengah debat itu?
Saya bicara angka saja. Sewaktu varian Delta, puncak angka kematian bisa 2.000 per hari. Sekarang varian Omicron sempat 400 per hari. Ada yang mengatakan angka itu sangat tinggi, tapi ada yang bilang ini sudah rendah. Jika saya melihat angka saja, ini sudah jauh di bawah varian Delta. Angkanya juga di bawah kematian karena tuberkulosis.
Sekarang juga sedang diteliti apakah kasus kematian itu tergolong kematian dengan Covid-19 atau karena Covid-19. Ada penyebab primer dan sekunder. Misalnya ada pasien sakit kanker ketika akan dioperasi meninggal dan hasil tes swab-nya positif. Kasus seperti ini masih dicatat meninggal karena Covid-19. Terjadi perdebatan, tapi tidak apa-apa. Informasi yang terbuka membuat pengambilan kebijakan bisa benar-benar berdasarkan fakta.
Bagaimana pengalaman negara lain?
Masyarakat dunia sudah letih dengan lockdown dan pandemi Covid-19. Tekanan itu yang membuat beberapa negara membuka protokol kesehatan mereka. Perubahan protokol kesehatan yang terjadi di negara Barat itu memicu pertanyaan rakyat Indonesia. Saya rasa Bapak Presiden membaca suara itu. Tugas kami sebagai pemerintah adalah mengakomodasi suara mayoritas rakyat dengan memberikan informasi yang baik dan seimbang.
Apa basis kajian negara-negara itu saat melonggarkan kebijakan kesehatan mereka?
Banyak pertimbangan lain di luar kesehatan. Ada kesepakatan sosial-politik bahwa penyakit ini sudah terkendali. Negara-negara yang sudah melonggarkan protokol kesehatan mereka memiliki cakupan vaksinasi yang tinggi dan tingkat kematian yang rendah. Mereka tidak mendeklarasikan endemi meski sudah mengendurkan protokol. WHO pun masih mengategorikan situasi ini sebagai public health emergency of international concern. Tapi WHO melihat bahwa akhir tahun ini mungkin pandemi sudah dapat dikendalikan.
Apa konsekuensi bagi masyarakat dalam pengobatan Covid-19 jika status kesehatan menjadi endemi?
Ada di dalam Undang-Undang Wabah bahwa negara menanggung biaya pengobatan masyarakat saat pandemi berlangsung. Ongkos itu akan menjadi beban masyarakat bila status kesehatan sudah berubah ke endemi. Mereka yang terdaftar sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tetap ditanggung negara. Inggris sudah mulai menerapkan kebijakan ini. Tes Covid-19 yang semula dibayar pemerintah kini tak ditanggung lagi.
Jadi pemerintah cukup yakin segera menetapkan pandemi Covid-19 menjadi endemi?
Jika melihat sejarah sebelumnya, keputusan transisi ke endemi itu lebih banyak dipengaruhi banyak faktor. Di antaranya aspek sosial, budaya, politik, dan ekonomi ketimbang faktor kesehatan. Tidak ada patokan empiris dan historis bagaimana pandemi menjadi endemi. Tapi, begitu umat manusia sudah setuju penyakitnya sudah terkendali, definisinya berubah menjadi endemi. Kebijakan ini bukan melulu science, lebih banyak art.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo