Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kemasan makanan yang terbuat dari bahan polistirena atau yang dikenal dengan nama styrofoam sering diiringi isu-isu negatif, yaitu dapat mendatangkan penyakit salah satunya kanker. Akan tetapi, para ahli dan perwakilan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau BPOM, membantahkan akan isu-isu negatif tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kandungan stirena yang terdapat di dalam kemasan makanan berbahan styrofoam bisa dibandingkan dengan yang terdapat pada buah stroberi. Menurut Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran Institute Teknologi Bandung atau LPTM ITB, Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc, Ph.D, kandungan stirena yang ada pada stroberi lebih banyak dibandingkan yang terdapat pada kemasan makanan berbahan styrofoam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Makan stroberi saja dianjurkan oleh dokter, kenapa yang kandungannya lebih kecil dinyatakan berbahaya. Styrofoam lebih aman dari pada stroberi yang disarankan dokter, sesuatu bisa dikatakan berbahaya harus dilihat dari jumlah kandungannya,” jelasnya.
Product Stewardship Specialist dari Trinseo, Libby Hong, menjelaskan polistirena tidak sama dengan stirena. Stirena berbentuk cair sedangkan polistirena padat. Meskipun polistirena terbuat dari stirena namun kedua bahan ini berbeda.
“Menyamakan polistirina dengan stirena sama dengan menyamakan berlian dengan karbon. Berlian terbuat dari karbon akan tetapi setelah menjadi berlian melalui proses kimia, berlian bukan lagi karbon,” ungkap Libby.
Fakta mengenai amannya kemasan makanan dengan bahan styrofoam diperjelas lagi oleh perwakilan dari BPOM, Dra. Ani Rohmaniyati MSi. Pada 2009, BPOM telah melakukan penelitian independen untuk 17 kemasan makanan berbahan polistirena, dalam kemasan tersebut ditemukan bahwa residu ppm masih dalam angka yang aman, yaitu 10-43 ppm. Angka tersebut jauh di bawah level berbahaya untuk residu kemasan makanan.
“Di dalam polistirena mungkin memang terdapat stirena, gas yang bisa masuk ke dalam makanan. Di Indonesia batasan kadar stirena pada kemasan makanan yang diperbolehkan maksimal 5 ribu ppm,” jelas Ani.
Artikel lain:
Makanan Sehat Tak Berarti Boleh Dimakan Kapan Saja, Cek Alasannya
6 Makanan yang Lebih Mudah Dibuat dengan Microwave
Ternyata, Vetsin Tak Seburuk yang Kita Pikir. Simak Penjelasannya
Menurut Ani, setiap orang wajib memakai kemasan yang tidak berbahaya untuk kesehatan merupakan norma yang harus diikuti oleh semua produsen pangan. Permasalahan pada polistirena yaitu mengandung gas sangat banyak, 95 sampai 98 persen. Meskipun menguntungkan tapi sekaligus menjadi masalah dalam lingkungan, seperti banyak sekali dijumpai pada sampah polistirena busa.
“Setiap orang dalam memproduksi pangan dilarang menggunakan apapun yang melepaskan cemaran yang membahayakan kesehatan manusia,” tambahnya.
Pimpinan Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia atau ADUPI, Christine Halim, menjelaskan permasalahan styrofoam terhadap lingkungan, sampah styrofoam jika masyarakat dapat memilah dan mengumpulkannya dengan baik dan tidak membuangnya sembarangan, dapat menghasilkan uang karena styrofoam dapat didaur ulang kembali menjadi barang-barang yang nantinya akan dijual dengan harga menengah ke bawah.
Christine memberi solusi lain tentang polistirena yaitu, “Kita bisa memberikan aditif di dalam produk sehingga plastik itu bisa lebih cepat membusuk di tanah dengan waktu yang lebih cepat. Kemudian selama produk belum kembali ke tanah, masih bisa didaur ulang kembali.”
Direktur kemasan grup, Wahyudi Sulistya, juga angkat bicara mengenai polistirena. Ia menegaskan bahwa masyarakat sering salah mengartikan polistirena foam dengan expandable polistirena atau EPS.
“PS foam dari bahan GPPS untuk makanan, tapi kalau yang digunakan untuk elektronik EPS. Namun semua masyarakat mengatakan itu styrofoam, padahal yang berbahaya itu adalah yang EPS,” jelasnya.
“Terpenting bukan menghindari plastik, namun bagaimana caranya mengolah limbah plastik,“ tuturnya.