Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Tangerang - Haryanto, 42 tahun menarik sekuat tenaga kawat baja setebal tali tambang agar perahu eretan yang menghubungkan Kampung Bayur Sepatan, Kabupaten Tangerang dan Sewan, Kota Tangerang itu bergerak. Perahu eretan, masih digunakan warga sekitar sebagai alat penyeberangan di Sungai Cisadane.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, karena kemarau panjang dan diikuti menyusutnya volume air Cisadane sampai ke dasar, untuk menggerakan perahu eretan ini diperlukan tenaga yang ekstra juga. "Tarikannya harus kenceng, karena semakin berat, air sungai kering sampai ke dasar," kata Haryanto saat Tempo menyusuri Sungai Cisadane yang kering kerontang, Senin, 19 Agustus 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Biasanya, kata Haryanto, tak perlu tenaga untuk menggerakkan eretan meski sarat muatan. "Kalau airnya tinggi, kadang eretannya gerak sendiri," kata dia.
Haryanto mengaku sudah dua bulan merasakan lelahnya menarik eretan karena menyusutnya sungai Cisadane. Eretan ini beroperasi dari pukul 06.00 sampai 23.00 dengan jasa Rp 2000 perpenumpang. Bukan hanya orang saja yang diangkut, kadang kendaraan bermotor hingga gerobak juga ikut.
Sungai Cisadane kering kerontang pada musim kemarau tahun ini. Berdasarkan pengamatan Tempo, debit air Cisadane mulai dari bawah bendungan pintu Air 10 hingga pesisir Utara Tangerang menyusut drastis sampai ke dasar sungai. Yang terlihat hanya batuan dan air hitam pekat dan bau yang tersisa di bagian terdalam sungai.
Keringnya sungai Cisadane ini berdampak pada lahan persawahan di wilayah utara Tangerang seperti Kecamatan Mauk, Kemiri, Pakuhaji, Sukadiri dan Kronjo. Banyak sawah yang ditanami padi, kering dan retak karena lama tak diairi. Tempo melihat tanaman padi yang terancam mati kekeringan di sejumlah desa di Kecamatan Pakuhaji, Mauk dan Sukadiri.
Penampakan lahan persawahan yang kering akibat kemarau panjang dan keringnya Sungai Cisadane di Kabupaten Tangerang, Senin 19 Agustus 2019. TEMPO/JONIANSYAH HARDJONO
Di desa-desa ini, tanaman padi banyak yang bertubuh kerdil, ada juga padi yang tumbuh gabah, tapi setelah dipegang tidak ada isinya alias puso. "Pohon padi alus (kecil-kecil). Cuma keluar kembang tapi enggak ada isinya," ujar Irin, 60 tahun, salah seorang petani di Desa Tanjung Anom, Mauk.
Irin mengatakan dari 7.000 meter persegi lahan persawahannya, 40 persen dipastikan gagal panen karena kekeringan. "Alhamdulilah 60 persennya masih keambil," ujarnya.
Irin yang telah bertani sejak tahun 1970 itu mengakui area persawahan di desa itu tadah hujan, artinya hanya mengandalkan air hujan saja. "Air tanah disini asin tidak bisa buat tanaman padi, air irigasi tidak bisa menjangkau karena jauh," kata dia. "Kami ga kebagian air irigasi. Kami mengandalkan air hujan. Tahun kemarin masih ada hujan. Hasilnya masih lumayan. Sekarang mah enggak ada hujan."
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Tangerang mencatat kekeringan telah melanda 1.560 hektare lahan persawahan saat ini. Ribuan hektare sawah kekeringan itu terbagi, 660 hektar kekeringan ringan, 411 hektar kekeringan sedang, 288 hektar kekeringan berat dan 201 hektar puso (gagal panen).
"Luas yang terdampak bertambah sebesar 115 hektar dari minggu sebelumnya," kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Tangerang Azis Gunawan.
Menurut Azis, lahan persawahan yang terdampak kekeringan itu sekitar 6,2 persen dari total luas pertanaman padi sawah di Kabupaten Tangerang seluas 25.122 hektare. Lahan persawahan itu banyal berada di wilayah utara seperti Sepatan, Mauk, Pakuhaji, Teluknaga, Sukadiri, Kemiri, Kronjo.
Kekeringan di Kabupaten Tangerang dalam beberapa pekan terakhir ini telah melanda 26 kecamatan yaitu Cisoka, Solear, Tigaraksa, Jambe, Cikupa, Panongan, Curug, Legok, Pagedangan, Cisauk, Pasar Kemis, Sindang jaya, Balaraja, Jayanti, Sukamulya, Kresek, Gunung Kaler, Kronjo, Mekar baru, Mauk, Kemiri, Rajeg, Sepatan, Pakuhaji, Teluknaga dan Kosambi.