Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Aku relatif kurang populer di kalangan orang-orang nasionalis dan intelektual di Indonesia. Ini untuk sebagian besar disebabkan karena aku mempunyai apa yang disebut mereka itu ”kecenderungan-kecenderungan Barat” dan beberapa orang malahan mengatakan aku ”kebelanda-belandaan” (Banda Neira, 9 Maret 1936).
HAMPIR sebulan dibuang di Banda Neira, Sjahrir menuliskan kalimat itu. Dengan tutur kata yang tenang, tak meledak-ledak, Sjahrir selanjutnya memasuki perenungan mengapa makin lama di Indonesia tumbuh perasaan anti-Barat yang kuat. Sebuah sikap yang menurut dia merupakan bagian dari kompleks kurang harga diri sebuah bangsa.
Surat-surat terkenal Sjahrir dari pengasingan di Boven Digul dan Banda Neira, yang dalam edisi Indonesia diterbitkan dalam judul: Renungan dan Perjuangan, banyak membahas tema itu. Sjahrir pertama kali menjadi tahanan di penjara Cipinang, Jakarta. Ia masuk bui pada sekitar Februari 1934. Surat-suratnya dimulai dari bulan Maret. ”Aku sama sekali tidak merasa diri seorang martir,” demikian ia menulis. Berdiam di penjara, menurut dia, membuat dia berkepala dingin menghadapi segala sesuatu. Ia tak ingin hanyut dalam pemikiran romantis.
Itulah sebabnya mulai saat Sjahrir dipenjara di Cipinang, kita tak menemukan surat-suratnya yang bernada keluhan, umpatan, atau penderitaan. Sebaliknya surat-surat Sjahrir menukik pada renungan masalah sosial. Dalam bui ia tambah banyak membaca dan mempertimbangkan berbagai gagasan besar dunia. Di Cipinang itu ia misalnya banyak merenungkan persoalan pertentangan antara individu dan kolektivitas.
Ketika dibuang ke Boven Digul, surat-surat Sjahrir banyak bercerita tentang pengalamannya mengamati masyarakat setempat. ”Di Digul ini aku mendapat kesempatan untuk menyelami lebih dalam struktur psikis-fisis bangsa kita.” Surat-surat Banda Neira adalah surat-surat paling reflektif. Keelokan pantai Banda Neira, gunung apinya yang terlihat dekat, teluk yang laksana kaca licinnya, pulau-pulau kecil, pesta-pesta perkawinan masyarakat setempat, dimanfaatkan Sjahrir untuk menyegarkan pikirannya. Ia suka berenang dengan anak-anak ke laut. Ia suka pergi ke dermaga lama untuk melihat matahari terbenam.
Di Banda Neira pikiran-pikirannya tentang Barat makin eksplisit. Di suratnya bertanggal 31 Desember 1936, kita akan melihat adanya beberapa persamaan pikiran Sjahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana dalam konsep Barat: ”Barat” bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis. Itulah sifat Faust, sifat yang kusukai, dan aku yakin bahwa hanya Barat—yaitu dalam pengertian dinamis ini—yang bisa melepaskan Timur dari perbudakannya.”
Selanjutnya lihatlah bagaimana saat Sjahrir menerangkan ”Timur”. Menurut dia, banyak intelektual Indonesia yang terperangkap oleh gambaran Timur yang sesungguhnya diidealisasi oleh beberapa filosof. Timur yang tenang, yang harmoni, suatu Timur yang tak pernah ada. ”Timur seperti dilihat orang-orang Buddhis itu, hanya ada bagi mereka saja. Apakah masih ada Timur semacam itu di Hong Kong atau Shanghai, atau Batavia? Di mana-mana di Timur ini irama hidup, tempo sudah dipercepat. Ketenteraman jiwa yang sangat dihasratkan itu mungkin masih kedapatan di pelosok-pelosok.”
Kita dapat melihat orientasi dasar Sjahrir terhadap Barat itu, amat melandasi sikap-sikap politiknya, misalnya: sikapnya terhadap nasionalisme yang ekstrem. Sjahrir mengkritik perjuangan politik yang di negeri ini cenderung harus mempunyai unsur moral yang kuat. ”Politik untuk orang-orang kita di sini bukan berarti: perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Pemimpin-pemimpin haruslah pahlawan-pahlawan, nabi-nabi”.
Ia juga mengkritik adanya kebencian yang tak kenal damai dengan Belanda. Pada Maret 1938, Sjahrir menulis surat bagaimana ia tak ingin terlibat dalam gerakan non-kooperasi. Sjahrir melihat gerakan non-kooperasi sudah diangkat menjadi soal kehormatan. Baginya, itu cermin dari mentalitas inferioritas. Pada titik itu, secara tajam ia menganggap nasionalisme yang ekstrem bisa menjadi timbul dari rasa rendah diri ini.
Ia menulis: ”Aku hampir-hampir hendak mengatakan bahwa nasionalisme ialah proyeksi daripada kompleks inferioritas dalam hubungan kolonial antara bangsa yang dijajah dan bangsa yang menjajah. Jadi, dari semula dasar dari propaganda nasionalistis adalah suatu perasaan yang tidak rasional.” n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo