Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Surat Protes dari Ciawi

Puluhan lurah di Depok mengirim surat kepada Presiden menyatakan menolak putusan Mahkamah Agung. Ada yang merasa diperdaya.

9 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head0846.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBAGUS Asnawi, Lurah Tugu, Depok, kini bak bintang di antara para lurah se-Depok. Beberapa hari terakhir tak henti-hentinya telepon genggamnya menjerit-jerit. Bukan dari warganya atau panggilan dari kantor kecamatan untuk rapat, melainkan dari wartawan atau sejawatnya, para lurah se-Depok. Mereka terus bertanya perkembangan surat pernyataan yang menggegerkan itu.

Kamis dua pekan silam, Asnawi memang ”menciptakan” langkah politis. Mengatasnamakan Ketua Paguyuban Lurah se-Kota Depok, ia mengirimkan surat ”pernyataan sikap” ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ditembuskan pula, antara lain, ke MPR, DPR, dan Mahkamah Agung. Isinya, menolak putusan Mahkamah Agung yang memenangkan peninjauan kembali (PK) Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok.

Menurut Asnawi, keputusan MA bertentangan dengan undang-undang tentang pemerintahan daerah, peraturan presiden tentang pemilihan kepala daerah langsung, dan peraturan tentang Mahkamah Agung. ”Di situ dikatakan keputusan pengadilan tinggi final dan mengikat dan tidak ada PK, tapi ternyata Mahkamah Agung menerima PK KPUD,” katanya. Bersama surat itu, terlampir tanda tangan 42 dari 63 lurah di Depok.

Surat pernyataan ini tak pelak memancing kehebohan. Sebagai pegawai negeri sipil, para lurah itu dinilai sudah tidak netral. Tapi, belakangan, ketahuan sejumlah tanda tangan itu palsu. ”Saya tidak mengakui paguyuban itu. Saya juga merasa tanda tangan saya dipalsukan,” ujar Mukri Sudana, Lurah Rangkepanjaya Baru. Kepada Tempo, Mukri menyatakan dirinya tidak datang dalam acara pertemuan para lurah itu. ”Diundang juga tidak,” ujarnya.

Pernyataan sikap ini, ujar Jamhurobi, salah satu pengurus paguyuban lurah Depok itu, muncul saat beberapa pengurus paguyuban berkumpul membahas kisruh pemilihan langsung kepala daerah di Depok. Dari sini timbul gagasan mengeluarkan pernyataan sikap para lurah se-Depok. ”Lalu, kami datang ke rumah tiap-tiap lurah dan kami jelaskan surat pernyataan penolakan putusan itu,” ujar Lurah Sawangan Baru ini. Hasilnya, ujar Jamhurobi, 42 lurah menyatakan setuju.

Pertemuan selanjutnya lalu dirancang. Menurut Asnawi, pertemuan dilakukan di Rumah Makan Tirta Rasa, Depok. ”Jadi, kami tidak pernah ke rumah Pak Badrul,” kata Asnawi. Di rumah makan ini para lurah menggodok kembali surat pernyataan itu. ”Kami melakukan ini bukan dalam arti menolak Pak Nurmahmudi dan mendukung Pak Badrul Kamal, meskipun implikasinya ada kesan begitu,” kata Asnawi.

Tapi, cerita lain muncul dari Lurah Serua, Iskandar. Menurut Iskandar, pertemuan para lurah sebenarnya dilakukan di rumah Badrul Kamal di Ciawi, Bogor. ”Saya mendapat undangannya lewat SMS,” katanya. Saat ia datang di sana sudah berkumpul puluhan lurah Depok lainnya. Badrul Kamal, ujar Iskandar, juga ada. Iskandar mengaku ikut menandatangani pernyataan penolakan terhadap putusan MA itu. ”Tidak ada paksaan dalam penandatanganan ini,” katanya.

Berbeda dengan Iskandar, seorang lurah dari Kecamatan Limo kepada Tempo mengaku dirinya merasa diperdaya dalam pertemuan yang berlangsung pada 20 Desember itu. ”Katanya ada silaturahmi lurah-lurah. Waktu saya datang, eh, ternyata itu rumahnya Badrul Kamal,” ujar lurah tersebut.

Menurut lurah yang tak mau disebut namanya itu, pertemuan di Ciawi tersebut berlangsung sekitar setengah jam. ”Waktu itu saya disodori daftar hadir dan saya ikut memberi paraf,” ujarnya. Lurah ini mengaku kaget ketika esoknya namanya disebut ikut menolak keputusan Mahkamah Agung. Bersama empat lurah lainnya, ia pun menghadap pejabat Wali Kota Depok, Warma Sutarman. ”Kami jelaskan semua ini,” ujarnya.

Badrul Kamal sendiri mengakui, kendati sudah tak menjadi wali kota, sejumlah lurah Depok masih kerap bertandang ke rumahnya, termasuk yang di Ciawi. Tapi, ia menolak jika disebut sebagai otak di belakang pernyataan sikap para lurah itu. ”Itu murni dari mereka. Kalau saya yang merekayasa, itu sih namanya politik tingkat rendah,” katanya.

Adapun Asnawi maupun Jamhurobi menyatakan akan terus memperjuangkan sikap mereka menolak putusan MA. ”Andai gagal, saya akan minta apa dasar MA mengabulkan PK itu,” kata Asnawi. Keduanya juga siap menerima konsekuensi. ”Dipecat, saya juga tidak takut,” kata Jamhurobi.

Pemerintah tampaknya memang tak akan menghukum para lurah ”mbalelo” itu. Satu-satunya teguran yang sudah turun hanya dari Warma Sutarman. Pejabat Wali Kota Depok itu sudah memanggil 42 lurah tersebut ke kantornya. ”Hanya teguran lisan, dan saya meminta mereka menjalankan tugasnya sebagai pegawai pemerintahan yang netral,” katanya.

L.R. Baskoro, Mawar Kusuma Dewi Rahmarini, Rini Kustiani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus