BUMI Afghanistan seakan-akan ditakdirkan belepotan darah. Negeri itu pernah disebut sebagai tempat persilangan "Jalur Sutera" dalam sejarah ekspansi militer dari Daratan Cina sampai ke Masedonia di lembah Pegunungan Mediterania sampai ke Daratan Cina. Sejak tahun 5000 Sebelum Masehi, kerajaan-kerajaan besar silih berganti mendudukinya. Iskandar Zulkarnaen, misalnya, Raja Agung Masedonia pada 336 - 323 Sebelum Masehi, sempat singgah di sana sebelum menggempur dinasti Chandra Gupta Mauriya di India. Imperium Persia kuno di bawah Vishtaspa pada 545 SM juga pernah menancapkan pedangnya. Menyusul kemudian Raja Ashoka (269 - 232 SM) dari dinasti Mauriya di India ikut menambah kisah babak belur Afghanistan. Lalu, di zaman Islam, Khalifah Umayyah mengirimkan tentaranya ke Kabul pada tahun 80 Hijri (699 Masehi). Waktu itu Kabul merupakan wilayah kerajaan dinasti Asoka di India. Pada 132 Hijri (749 Masehi) Khalifah Al Mansur dari dinasti Abbasiah mengirimkan lagi tentara ke sana sebelum menerjang India. Turki tak mau ketinggalan. Di bawah dinasti Yamani (977 - 1186 M), Turki menerjang ke timur. Afghanistan dicengkeramnya. Jenghis Khan (1155 - 1227 M), jauh-jauh datang dari Cina, hanya untuk memporak-porandakan Islam, termasuk yang di Afghanistan. Usaha itu berkelanjutan hingga masa kekuasaan Timur Leng (1370 - 1405). Pada 1500 Masehi dominasi Mongol di Asia Tengah tumbang. Kini giliran Muslim Persia dan India yang berkuasa. Di Iran, berdiri dinasti Safavid (1501 - 1732 Masehi), sementara di India muncul dinasti Moghul. Afghanistan tetap berada di tengah-tengah sebagian wilayahnya masuk Kekaisaran Persia, sebagian lagi masuk ke Moghul. Sampai sejauh itu, Afghanistan belum juga mengental sebagai sebuah kesatuan nasional. Rakyatnya masih terpecah dalam kelompok-kelompok etnik yang berserakan. Di kawasan yang berpagar Pegunungan Karakorum dan Himalaya itu, sekarang terdapat 19 kelompok besar suku bangsa. Suku Pushtun atau Pathan menyumbang separuh dari 16 juta penduduk. Tajik, sepertiganya, disusul kemudian suku Farsiwan. Kesemuanya merupakan kumpulan pengembara, pedagang, atau keturunan bangsa-bangsa yang dulu menyerbu. Dan tak mengherankan, bila persaingan antarsuku merupakan masalah besar yang mempersulit terciptanya sebuah negara Afghanistan. Baru pada tahun 1747, Afghanistan membangun negara. Sebuah monarki yang sambung-menyambung dan berakhir pada 1973, ketika Mohammad Daud mendirikan republik. Alkisah, Ahmad Shah Durani, seorang anak dari suku Pushtun, mempengaruhi suku-suku lain agar mendukungnya memberontak pada Moghul. Dinasti Moghul waktu itu berada di bawah Mohammad Shah (1719 - 1748). Berhasil. Lalu Durani memproklamasikan diri sebagai raja yang berkedudukan di Kandahar. Ia bahkan berhasil menguasai Pakistan, Punjab, dan sebagian wilayah India bagian Barat Durani memerintah sejak 1747 - 1772. Di tangannya Afghanistan mengalami panen emas, sejajar Kekaisaran Ottoman (Turki). Ia menyerahkan kekuasaan pada putera keduanya Timur Shah (1772 - 1793), lalu pergi ke Gunung Sulaiman, di Timur Kandahar, untuk mati dengan tenang. Dan berkat kehebatannya, Durani mendapat sebutan Baba, "Bapak" Bangsa Afghanistan. Sepeninggal Timur Shah 1793, Afghanistan memasuki babak perang saudara. Penerusnya, Zaman Shah (1793 - 1800), ternyata tidak setangguh pendahulunya. Di masa Zaman, terjadi perebutan kekuasaan. Dalam perang itu, ia dibunuh adiknya sendiri, Shah Mahmud (1800 - 1803). Belum tiga tahun memerintah, Mahmud digulingkan adiknya, Shah Suja (1803 -1809). Mahmud Shah tak menerima perlakuan itu. Diam-diam ia menggalang kekuatan untuk membalas dendam. Pada 1809 ia balas mengkudeta Shah Suja, kemudian berkuasa lagi hingga 1818. Tetapi Afghanistan sudah telanjur cabik-cabik. Persaingan antarsuku mulai tumbuh. Dost Mohammad, seorang Tajik, prihatin terhadap perpecahan yang terjadi di negerinya. Dibantu rakyat Aghanistan ia memasuki Peshawar, Kandahar, lalu Kabul. Akhirnya ia menaklukkan Mahmud Shah lalu menguasai Afghanistan dan bergelar Amir Dost Mohammad (1819 -1839). Di bawah kekuasaannya, Afghanistan kembali menyatu, meski wilayahnya tak seluas Imperium Ahmad Shah Durani. Di masa Dost pula, terjadi tarik-menarik kepentingan antara Uni Soviet dan Inggris. Ketika itu Inggris telah menguasai India, sementara Soviet bermaksud memperluas kekuasaan ke selatan. Bagi Soviet, Afghanistan merupakan jembatan untuk menguasai daerah selatan. Alasan lain, Soviet ingin membendung penetrasi Islam ke wilayahnya. Tentu saja Inggris cemas. Keduanya berambisi menguasai Afghanistan. Tahun 1839, Inggris memasuki Kabul, ibu kota kerajaan Dost Mohammad. Ini menggembirakan Shah Suja yang digulingkan. Suja membantu Inggris menankap Dost Mohammad yang kemudian diasingkan ke New Delhi. Kemudian Shah Suja memerintah kembali hingga 1842. Pengkhianatan Suja menimbulkan kemarahan rakyat. Mereka bangkit. Api Islam berkobar di dada mereka. Inggris disebut "kaum kafir" yang harus diusir. Pertempuran sengit tak dapat dihindarkan. Pada musim salju tahun 1841, prajurit Afghan yang setia pada Dost memporakporandakan pasukan Inggris. Tahun berikutnya Suja digulingkan, dan Dost Mohammad kembali berkuasa hingga tahun 1863. Dost dan Inggris akhirnya menandatangani perjanjian untuk tidak saling mengganggu di Peshawar pada 30 Maret 1855. Bahkan sepakat untuk bahu-membahu menghadapi Soviet kalau-kalau menyerbu ke selatan. Soviet geram mendengar tergalangnya komplotan itu semua. Tapi ia tak takut. Pada tahun 1854, Soviet menghantam dan menguasai Kazaktan, bagian utara Afghan. Inggris ternyata diam saja, sementara Dost pun tak bisa berbuat apa-apa. Tahun 1865, setelah Dost digantikan putra bungsunya, SherAli Khan (1863 - 1866), Soviet kembali merebut Tasyken. Pada saat yang bersamaan, terjadi perebutan kekuasaan antara Sher Ali dan saudara tirinya, Mohammad Afzal Khan. Afzal memerintah tahun 1866 -- 1867. Tetapi pada 1867, ia meninggal dunia. Mohammad Azam Khan (1867 - 1869), sang adik, menggantikannya. Di masa Azam, Soviet kembali menyerang. Hasilnya, daerah Tasyken dikuasainya pada 1868. Sher Ali rupanya terbilang orang kuat dan dicintai rakyat. Dibantu oleh anaknya, Yakub Khan, beserta tentara yang setia padanya, ia memasuki Kandahar dan Kabul. Azam tumbang. Januari 1969, Sher kembali menjadi amir hingga 1879. Di masa pemerintahan Sher yang kedua, sempat terjadi konflik dengan Inggris, sekaligus dengan Soviet. Ceritanya begini: di musim panas 1878 pasukan Soviet di bawah pimpinan Jenderal Stolietov bersiaga di Samarkand. Tujuannya, menyerang Kabul. Sher tentu saja kalang-kabut. Dia berusaha membendung. Terlambat. Tanggal 2 Juli 1878, Soviet sudah bergerak memasuki Kabul. Tiba-tiba datang tawaran Inggris untuk bersama-sama menghalau Soviet. Sher setuju. Tetapi Sher nampaknya sedang sial. Ketika hendak menerima delegasi Ingris, Abdullah Jan, anak kesayangannya, meninggal dunia. Tentu saja Sher mendahulukan untuk hadir ke upacara pemakaman, dan membiarkan utusan Inggris menunggu. Rupanya, Sir Neville, sang utusan, tersinggung dan salah paham. Ia menganggap Sher tak mau bekerja sama. Neville pulang tanpa pamit, lantas melaporkan kebrengsekan Sher. Inggris marah. Tanpa permisi ia memasuki Afghanistan dengan alasan untuk menghalau Soviet. Sukses. Tetapi ia pun kemudian mencengkeram Afghanistan. Sher melarikan diri ke Balk. Di situ ia meninggal pada 21 Februari 1879. Sementara itu, Yakob Khan, yang tak sempat melarikan diri, tertangkap dan dipenjarakan. Hengkangnya Soviet dan wafatnya Sher menyebabkan takhta Afghan lowong. Inggris kemudian membebaskan Yakob Khan, yang sempat ditangkap, menggantikan ayahnya. Perjanjian Gandamak dirancang untuk ditandangani pada 26 Mei 1879. Isinya, antara lain, menempatkan Afghanistan sebagai protektoratnya, Inggris berhak mengontrol Afghanistan dan Yokob harus tunduk pada Britania Raya. Disebutkan juga bahwa Yakob akan menerima gaji 60.000 poundsterling tiap tahun. Itu artinya, Yakob harus menjadi pegawai Britania Raya. Sebelum penandatanganan berlangsung, rakyat Kabul marah besar. Mereka membunuh utusan Inggris selagi dalam perjalanan menuju Kabul. Lagi-lagi Inggris berang. Kembali pasukannya menggempur. Kali ini bukan hanya ke Kabul, tetapi juga ke Herat, dan Kandahar Rakyat Afghan melawan lagi. Yakob, yang sudah berkarib dengan Inggris, terpaksa lari karena dikutuk rakyatnya. Di sana ia meninggal pada 1923. Afghanistan memasuki zaman baru. Abdurrahman Khan, putra Mohammad Afzal Khan, naik panggung. Ia memerintah tahun 1800-1901. Kekuasaannya hanya meliputi Kabul dan bersifat ke dalam. Artinya, politik luar negeri seluruh Afghanistan diurus Inggris. Amir Habibullah Khan (1901 - 1919), penerus Abdrrahman, tak suka negaranya dipreteli apalagi dikendalikan. Pada 1901 ia menuntut Inggris menghentikan campur tangan, termasuk dalam perkara politik luar negeri. Karena Inggris acuh tak acuh, diam-diam ia mengadakan kontak dengan Soviet, Jepang, Turki, Iran, Jerman, dan lain-lain. Ia memperjuangkan pengakuan internasional atas kemerdekaan Afghanistan. Ke dalam, ia meminta dukungan rakyat. Surat kabar Seraj-ul-Akhbar, yang dipipin Mahmud Tarzi, sengaja diterbitkan untuk membakar semangat rakyatnya. Sukses. Afghanistan siap-siap mati syahid. Sementara itu, Soviet, yang menyimpan dendam pada Inggris, mengakui kedaulatan Habibullah. Walhasil, Inggris gentar. Itulah yang mendorong dilangsungkanya Konvensi Anglo -- Russian di St. Petersburg pada 1907. Salah satu isinya, kedua pihak sepakat untuk tidak mengadakan intervensi ke Afghanistan. Meski Habibullah tidk dilibatkan, ini merupakan kemenangan diplomasinya di mancanegara. Kemenangan diplomasi berikutnya adalah ketika ia menerima utusan Turki dan Jerman pada 1915. Mereka meminta Habibullah bersekutu untuk menghadapi Perang Dunia 1. Habibullah tidak menolak, tetapi juga tidak menerima. Ia sudi menerima tawaran itu kalau Inggris melanggar kedaulatannya. Itu artinya, ia menginginkan Afghanistan bersikap netral. Di dalam negeri Habibullh juga giat membangun. Ia meniru pola Barat. Sekolah-sekolah didirikan, jalan-jalan dibangun. Cara berpakaiannya pun persis Barat: jas, pantalon, dan dasi. Di bidang ekonomi, ia mengenakan pajak, suatu hal yang tak lazim pada masa sebelumnya. Pemilikan tanah dibatasi sedemikian rupa. Ini yang tak berkenan di hati para pemimpin agama (mullah) yang biasanya bertindak sebagai tuan tanah. Benih pemberontakan pun tertanam. Di tengah kemarahan mullah, Habibullah meninggal pada 1919. Anaknya, Amanullah Khan (1919 - 1929), naik takhta. Perkara "mabuk" Barat, Amanullah ternyata lebih parah. Cadar -- tutup wajah -- dan purdah -- baju kurung dengan kerudung kepala, pakaian wanita Afghanistan waktu itu -- tegas-tegas ditentangnya. Dalam acara-acara kenegaraan, ia pun mengharuskan kabinetnya mengenakan pakaian ala Barat. Istrinya, Ratu Soraya, lebih berani. Ketika mereka keliling di Eropa, Soraya tampil di muka umum tanpa cadar, apalagi purdah. Yang gawat adalah soal pemilikan tanah. Amanullah membatasi paling banyak 2 hektar untuk setiap keluarga. Lewat dari itu, tidak boleh. Akibatnya, kemarahan kaum mullah tak bisa dibendung. Mereka menuduh Amanullah "menentang Allah dan Islam". Bacha Saqqao, seorang ulama dari suku Tajik, menggalang kekuatan rakyat untuk memimpin pemberontakan pada 1929. Ia berhasil menggusur Amanullah ke Kandahar, lalu mempimpin Afghanistan selama 9 bulan dengan gelar Habibullah Ghazi dan menyebut dirinya sendiri sebagai Khadim-i-din-i-Rasulullah, Pembantu Agama Nabi. Dia mengembalikan dominasi kaum mullah. Kekuasaan Bacha tak berlangsung lama. Jenderal Mohammad Nadir Khan, yang di masa Amanullah menjadi duta besar Afghanistan di Prancis, kembali ke Kabul. Di sana dia sudah ditunggu oleh para pengikutnya dari suku Pushtun. Dalam pertempuran berdarah 10 Oktober 1929 lashkar-nya, prajurit suku, berhasil membuat Bacha terbirit-birit ke Kohistan. Nadir mengejarnya. Bacha menyerah, hingga akhimya dihukum mati pada 3 November 1929. Tanggal 17 Oktober 1929, Nadir mengangkat diri sebagai raja, bergelar Mohammad Nadir Shah. Awal kekuasaannya ditandai dengan apa yang disebut Loya Jirgah. Sebuah konstitusi yang menggabungkan pemikiran-pemikiran Barat dengan syariat Islam, dan adat. Berarti, dominasi mullah atas daerah-daerah tertentu diakui kembali. Meski mullah sudah ditenangkan, bukan berarti Nadir telah terbebas dari pemberontakan. Kompor pemanas kerusuhan lain masih ada: persaingan antarsuku. Ia berutang nyawa pada suku Tajik. Ingat peristiwa pendongkelan Bacha. Kohistan, basis Tajik, tidak pernah melupakannya. Tahun 1930, Purdel, pemuda Tajik, melancarkan balas dendam, meski akhirnya kalah dan terbunuh. Ambisi kekuasaan pun bisa menyulut kudeta. Tiga bersaudara Charkhi, bekas jenderal kesayangan Amir Abdurrahman, mengancam takhtanya. Mereka, Ghulam Nabi Charkhi, Ghulam Sadiq Charkhi, dan Ghulam Ghilani Charkhi. Nadir tak membiarkannya. Ketiganya ditekan habis-habisan. Tanggal 6 Juni 1933, Ghulam Sadiq, yang berada di Jerman, tewas ditembak oleh seorang mahasiswa Afghan bernama Sayyid Kemal. Mendengar itu Ghulam Nabi, yang sedang berada di Ankara, Turki, bergegas pulang, lantas menuding Nadir sebagai biang keladi pembunuhan saudaranya. Mula-mula Nadir hanya tersenyum mesra sambil memasang wajah sungkawa. Tapi pada Oktober 1933 Ghulam Nabi ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Terakhir dihukum mati. Ghulam Ghilani pun kemudian ditangkap. Betapa marahnya keluarga Charkhi. Dendam kesumat tak bisa dibendung. Dan riwayat Nadir tamat di tangan seorang remaja berusia 16 tahun. Jagoan kecil itu bernama Abdul Khaliq, putra Ghulam Nabi. Pada 8 November 1933, Abdul mengendap-endap ke halaman istana raja. Sepucuk pistol siap di tangannya. Setelah menunggu beberapa lama, ia melihat Nadir. Tanpa pikir panjang, ia menarik picu. Dor. Dan Nadir berlumur darah. Huru-hara di Afghanistan sepertinya enggan berhenti. Tewasnya Nadir tak membuat negeri ini tenang. Mohammad Zahir Shah, putra Nadir, mewarisi tanah berdarah itu sejak 1933 hingga 1973. Keluarga Charkhi dibersihkan. Sementara itu, dia sendiri mulai membenahi Afghanistan dengan kebijaksanaan baru. Mula-mula ia memantapkan Loya Jirgah sebagai badan pertimbangan yang berhak memberi nasihat pada raja. Wakil dari suku-suku yang ada diminta duduk di dalamnya. Itu penting bagi keutuhan nasional. Bahkan pada 1949 ia menerima pembentukan pemerintahan parlemen liberal yang diusulkan Mohammad Hashim. Tahun 1964, ia bahkan mengakui kehidupan partai guna mendukung proses demokratisasi politik. Kebijaksanaan itu ternyata menjadi bumerang bagi Zahir. Demokratisasi politik yang dicanangkannya membangkitkan gairah orang-orang yang haus kekuasaan untuk berlomba merebut Afghanistan. Ide-ide baru muncul. Tahun 1965 berdiri Partai Komunis Balk pimpinan Muhammad Taraki dan Dr. Najibullah, yang mempropagandakan terbentuknya sebuah Republik Afghanistan. Pada saat yang sama, Partai Parcham, pimpinan Babrak Xarmal dan Hafizullah Amin mendendankan suara serupa. Kedua partai komunis ini segera bergabung dalam Partai Demokrasi Rakyat Afghanistan (PDPA). Gemuruh politik di Afghanistan dimanfaatkan baik-baik oleh Mohammad Daud, perdana menteri Kerajaan Afghanistan yang dikatrol Zahir. Orang ini termasuk jenis "pagar makan tanaman". Tanggal 17 Juli 1973, ia mengkudeta rajanya, lalu mengubah Afghanistan menjadi republik. Sebagai presiden pertama, ia mengangkat diri sendiri. Sementara itu, Zahir mengungsi ke Italia. Tetapi Daud mendapat balasan setimpal. PDPA yang ketika itu dipimpin Muhammad Taraki menggulingkannya pada 27 April 1978. Belum setahun berkuasa, Taraki dilorot oleh kawannya sendiri, Hafizullah Amin, pada 15 September 1979. Pelorotan itu tentu saja atas persetujuan Soviet yang menilai Hafizullah terlalu lemah menghadapi kaum mullah. Nasib malang lagi-lagi singgah di pundak Hafizullah. Baru dua bulan ia berkuasa, Babrak Karmal, yang berada di Moskow, mengajak 85 ribu tentara Soviet mendongkelnya, tepatnya 27 Desember 1979. Oktober 1986, Babrak di mata Soviet dinilai tak mampu mengatasi gerilyawan Mujahidin. Ia ditumbangkan. Soviet mengantinya dengan Najibullah, sampai sekarang. Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini