Sementara pemain utama -- Amerika-Soviet -- selalu mengaku akan mengakhiri pertarungan, Afghanistan dianggap bisa menjadi Libanon kedua. Negeri itu sudah babak belur. Muhammad Zahir Shah dinobatkan sebagai lambang untuk menghentikan pendarahan. Tapi raja gaek yang tercampak di Roma itu membawa gagasan Loya Jirgah, yang dianggap oleh kelompok radikal sebagai sisa orde feodal kaum yang tak adil. Roberto Suro dari New York Times Magazine menuturkan Zahir sebagai orang yang sulit ditebak. ZAHIR memang raja. Tapi dia tinggal terkucil di luar istana. Untuk menemuinya, orang harus menempuh jalanan desa yang membelah pinggiran kota Roma. Daerah yang masih dibungkus semak rumput dan hutan. Di situlah Yang Mulia Muhammad Zahir Shah kini berada, setelah terjungkal dari singgasana kerajaan Afghanistan di tahun 1973. Zahir dipaksa bisa menerima hari-hari yang berbeda dengan kehidupan istana. Tergigit sepi. Hidup tenang di Roma, hanya berpikir keras menghadapi layar merah papan catur elektronis yang menjadi hobinya. Tapi belakangan ini, pesuruh dan tamu sudah acap muncul di pintunya, membawa berita perang atau rencana perdamaian. Para pengunjung biasanya cenderung terkecoh oleh sebuah istana besar yang dikelilingi tembok beton. Begitulah mestinya rumah yang tepat untuk kediaman seorang raja. Istana bagus, yang dibangun oleh milyarder Arab Adnan Khashoggi, itu temyata bukan rumah Yang Mulia Zahir. Itu hanya ancar-ancar. Rumah Zahir persis di sebelahnya. Sama sekali bukan istana, tak lebih dari sebuah vila berkamar empat, meskipun cukup menyenangkan. Seorang wartawan Italia menganggap rumah dengan hamparan halaman itu lebih mirip kediaman seorang manajer bank. Tak lama setelah Perjanjian Jenewa diteken April lalu, tatkala Soviet berjanji mundur (dari Afghanistan), suasana di rumah itu berubah. Sepasukan "Carabinieri" -- polisi militer Italia -- berjaga di luar gerbang vila. Itu gaya orang Italia untuk menunjukkan bahwa sang raja mendapat kesempatan lagi untuk menulis sejarah. Artinya, setiap saat kini dia bisa menjadi sasaran pembunuhan. Karena sudah membuat janji, saya disambut baik oleh pelayannya, seorang Filipina. Dia membawa saya melalui ruang keluarga yang luas dengan dekorasi Italia gaya "rustico" -- meja-meja kayu kasar, dengan hiasan besi. Ada asbak Gucci dan sejumlah barang perak, yang memberikan kesan cantik. Tampak juga sebuah vas bunga dipenuhi untaian anggrek, yang memberikan kesan megah. Pintu terbuka. Seorang laki-laki melangkah masuk. Ia mengenakan setelan dari penjahit kelas satu. Saya tak pelak lagi, inilah orangnya. Ketika tangan kami berjabatan, dia tak berusaha mengangguk, wajahnya pun beku. Pelukis wajah yang biasa bekerja untuk polisi pun akan sulit menggambarkan wajah Zahir. Seperti kebanyakan wajah Afghan, air mukanya nyaris tak tertebak. Kulitnya bersemu cokelat. Mukanya panjang dan tajam sepintas macam orang Arab. Di balik kaca matanya yang tebal bersembunyi sepasang mata Persia yang kecokelatan. Saya telah diberi tahu, orang tua ini hati-hati dan pemalu. "Yang Mulia sepertinya seorang pengelak," kata Jenderal Abdul Wali -- keponakan, menantu, dan sekaligus kepala ajudan raja. Alasannya, Raja selalu mempertimbangkan bagaimana agar ucapannya dapat diterima oleh orang-orang berbeda. Setelah dua kali berkunjung ke vila "rustic" itu, saya yakin bahwa kecermatan adalah sifat utama Zahir. Dia nampak bersahabat, mudah menyetujui pendapat orang. Namun, hampir tak ada yang keluar darinya. Zahir tak takut-takut berbicara. Tapi mendengarkan dia ngomong, amat sulit untuk menceritakan apakah dia jemu atau waspada atau keduanya. Penguasa kerajaan di pegunungan Hindu Kush itu dulu menduduki takhta selama 40 tahun di Kabul. Kini ia tua di pengasingan. Negerinya telah menjadi kancah "permainan besar". Sekarang di bagian akhir kehidupannya -- 73 tahun -- Zahir yang gaek nampak siap bermain kembali untuk tanah Afghan. Ia sadar betul bahwa ia tidak dielu-elukan kembali sebagai raja sebenarnya. Karena itu, dia mencoba keras menghindar menjadi pion. "Sebagai seorang patriot Afghan," kata Zahir "saya punya keinginan kuat untuk menghabiskan sisa umur di tanah leluhur sendiri, melakukan apa yang dapat saya bantu untuk perdamaian dan integritas nasional." Di atas peta, Afghan terkepung oleh Iran, Uni Soviet, Cina, dan Pakistan. Itu berarti akan selalu ada "permainan besar" di sana. Pelaku utamanya Amerika dan Uni Soviet, selalu bilang bahwa mereka siap mengakhiri pertarungan. Tapi skenario terburuk melukiskan bahwa Afghan adalah Libanon yang lain. Sebuah negeri yang terbelah dalam perang terus-menerus antara wakil negara kuasa. Sekelompok orang melihat hanya ada satu jalan keluar. Yakni minta bantuan Zahir untuk mencegah terjadinya bencana itu. Diego Cordovez, staf Sekjen PBB yang memprakarsai Perjanjian Jenewa, berpendapat bahwa hanya orang dalam (orang Afghan) sendiri yang bisa menjamin adanya perdamaian. Dan itu, menurut Cordovez, "dalam pandangan banyak orang Afghan, raja terdahulu kuncinya." Maka, Zahir pun diminta meninggalkan rumahnya dan papan catumya yang tenang. Bagaimanapun, dialah satu-satunya raja Afghanistan yang masih hidup. "Raja itu seorang perantara yang mampu, dan dia tahu bagaimana menjadikan dirinya simbol," kata Selig S. Harrison, spesialis Asia Selatan di lembaga perdamaian internasional Carnegie Endowment di Washington. Zahir, kata Hamson, bagaimanapun telah berupaya menjaga Afghanistan tetap damai. Dan dia berhasil mempertahankan keadaan tetap tenang dari kepentingan internal dan eksternal yang mengocoknya. Raja Zahir tahu betul bahwa kumpulan persaingan adalah hakikat sebuah bangsa pula. Saat ini sikap Zahir jelas. Pemulihan politik apa pun di masa datang, termasuk peran apa pun tersedia bagi dirinya sendiri nanti, harus didasarkan kesepakatan penuh seluruh fraksi besar Afghan. Tapi kelihatannya keselarasan begitu, pada akhirnya, sukar tercipta. Tujuh kelompok besar yang bermarkas di Pakistan dan dibiayai besar-besaran oleh Amerika tak mudah untuk bersatu pendapat. Mereka bertikai sengit tentang banyak hal, termasuk kemungkinan Zahir sebagai pencipta perdamaian. Sejumlah pimpinan dari tiga kelompok yang relatif moderat menyukai Raja. Tapi empat organisasi fundamentalis menolaknya. Sebuah penolakan pada apa yang mereka sebut sebagai sisa orde feodal yang kuno dan tak adil. Melihat Zahir di rumah pengasingannya, amat mudah membayangkan bahwa dia dulu adalah seorang raja. Tapi siapakah dia sekarang, dan siapa dia di masa datang. "Saya berjalan-jalan di pedesaan sekitar sini. Itu rekreasi dan olah raga saya," ucap Zahir, tanpa menunjukkan sikap antusias. Dia mengaku tak pernah mencoba belajar bahasa Italia. Bahkan terus terang menyatakan, akan hilang bila dibiarkan sendirian di pusat kota Roma. "Saya selalu bermain catur. Namun, sekarang menjadi semakin sulit, dan tidak selalu bisa mengalahkan keponakan saya seperti sebelumnya," ucapnya, dalam bahasa Pashtu, bahasa yang paling banyak dipakai orang Afghan. Zahir banyak membaca dalam bahasa Prancis. Umumnya tentang kenangan orang-orang besar -- coba lihat, sebuah buku Henry Kissinger tergeletak di mejanya sementara tumpukan kaset video memperlihatkan hiburannya yang lain. Zahir tak pernah pergi ke pesta-pesta elite di Roma sekalipun sebagai bekas raja dia pasti akan disambut istimewa. Satu-satunya kawan di pengasingannya hanyalah dokternya. Kadang ada pertemuan kecil antara orang Afghan yang mengundang Zahir dan istnnya. Ratu Homaira, serta keenam anaknya -- yang menyebar seluruh penjuru dunia tapi sering berkunjung -- dan Jenderal Wali. Dalam dua kali percakapan panjang, sempat satu kali dia bercerita bebas tanpa mengekang diri. Di sekitar hobinya, memotret pemandangan. Zahir mengaku iri pada keberhasilan orang lain. Dia meraih buku besar mengkilap, menunjuk foto-foto perkampungan padang pasir bermandikan sinar kekuningan. "Itu bukan wama apa adanya. Tidak alami, tapi bagus. Saya pergi ke tempat itu berkali-kali, tak mendapatkan suasana seperti ini," ucapnya. Selebihnya ia kembali tenggelam dalam sepi. Saya heran apakah orang ini sama dengan yang ditulis majalah Time pada tahun 1965: "Pada usia 51 tahun, Muhammad Zahir Shah bisa menangkap ikan segar di Hindu Kush, menukik turun lereng dengan ski berkecepatan 60 mil per jam, dan sebagainya, dan sebagainya." Waktu dan perjalanan hidup telah mengubahnya. Jauh dari singgasana terdampar di pengasingan mengguratkan wama baru. Zahir seperti aktor yang kehilangan peran di panggung. Ternyata, kini dia dicari. Statusnya sebagai orang luar dan sikap pasifnya pada tahun-tahun terakhir, secara politis, dipandang sebagai bentuk yang netral. "Pada situasi yang serumit di Afghanistan kini, Raja adalah daya tarik yang tepat. Sebab, dia tak terlibat percekcokan," kata seorang pejabat senior pada kementerian luar negeri suatu negara Eropa. "Bukan karena dia banyak sekutu, tapi karena semua tokoh lainnya punya lebih banyak musuh. Ashraf Gani, bekas guru besar di Universitas Kabul, menyimpulkan, "Keberadaan Zahir di luar Afghanistan amat mnenguntungkan" Namun, Ghani -- yang kini mengajar di John Hopkins University -- menambahkan, "tapi semua kenalan dekatnya meragukan keberaniannya dalam mengambil keputusan." Zahir memang mengutuk serbuan Soviet. Juga menuding rezim komunis di Kabul tak sah. Tapi dia tak pernah berhubungan dengan kelompok perlawanan mana pun. Dia tak sempat terpengaruh. Usianya matang. Dan tak ada ambisi pribadi yang menyelubungi. Semua itu menjadi modal baginya buat menyusun formula rekonstruksi politik Afghanistan. Dia suka Loya Jirgah. Sebuah lembaga tradisional tempat setiap pemimpin Afghan bersua. Termasuk para kepala suku, intelektual, tokoh agama, politikus, dan sebagainya. "Harus diingat, setiap orang Afghan punya partisipasi dalam kehidupan politik generasi demi generasi," ujarnya tenang. Tak heran kalau Zahir mengajukan pemerintahan tradisional sebagai alternatif. Menurut dia, itu mencerminkan keinginan dan aspirasi rakyat. Konon, pemerintahan itu merupakan perwakilan setiap golongan. Gagasan Zahir kedengarannya mulia. Kenyataannya, para pemimpin kelompok perlawanan fundamentalis menentang ide yang disebut Loya Jirgah itu. Mereka ogah bila lingkungan dan keberadaannya dileburkan. Tapi Zahir tetap menolak kontak apa pun dengan komunis Afghan. Sikap yang menunjukkan bahwa dia membiarkan kelompok perlawanan itu, penting. "Seluruh orang Afghan" ujarnya, "selama tak terlibat dalam kriminalitas atau mengkhianati bangsa dan yang menerima orde baru dapat ikut ambil bagian dalam kehidupan nasional Afghan." Bentuk keterbukaan, yang oleh Cordove dari PBB dianggap perlu untuk mencegah banjir darah lebih lanjut, ditolak oleh kelompok Islam garis keras. Zahir juga menekankan perlunya "sikap netral tegas" dan " hubungan bertetangga yang baik" dengan Soviet. "Saya tidak berpikir bahwa Uni Soviet, setelah sembilan tahun perang dan setuju memainkan peran dalam Perjanjian Jenewa, akan sungguh-sungguh membawa Afghanistan pada suasana begini," katanya. Zahir lahir di Kabul tahun 1914. Dia satu-satunya anak lelaki keluarga terkemuka. Keluarganya yang menderita lantaran huru-hara berkali-kali menyergap kalangan tinggi di Kabul. Dalam usia 19 dia sudah mencicipi untuk pertama kalinya pembuangan. Waktu itu ayahnya, Mohammad Nadir Khan, dipaksa mundur dari pemerintahan dan dikirim ke luar negeri sebaai duta besar untuk Prancis. Zahir menerima pendidikan Barat di Parisian Lycee, Pasteur Institute, dan akhirnya di Universitas Montpellier. Kerusuhan terjadi lagi di Afghanistan pada tahun 1928. Ayah Zahir kembali tampil ke panggung politik. Mohammad Nadir Khan balik ke Afghanistan. Bersama tiga saudara lelakinya, Nadir membentuk pasukan dan merebut Kabul. Singkat waktu, Nadir menjadi raja. Zahir masih 19 tahun ketika ayahnya dibunuh. Saat itu Nadir tengah menyaksikan sebuah perayaan sekolah di istananya tahun 1933. Putra mahkota pun segera dinobatkan oleh orang-orang yang disebut "paman raja". Sebelum malam jatuh, peluru-peluru kegembiraan ditembakkan dari istana, memberi tahu rakyat bahwa suksesi telah terjadi. Selama 30 tahun kemudian, Zahir bersandar berat pada seorang pamannya. Lalu pada paman lain, kemudian pada kemanakannya yang juga saudara ipar, Pangeran Mohammad Daud, yang menjadi perdana menteri yang amat berkuasa. "Dia memerintah tapi tak berkuasa selama periode itu," tutur Profesor Ghani. Pada tahun 1964, Zahir mencubit diri dan lembaga kerajaannya. Dia bikin perubahan. Walaupun sudah berhati-hati dalam ukuran Barat, di mata banyak rakyatnya dia seorang pembaru radikal: mengadakan pemilu untuk parlemen, melarang anggota keluarga raja menduduki jabatan tingkat kabinet. Pangeran Daud dimintanya pula agar meletakkan jabatannya sebagai perdana menteri, pada bulan Maret 1963. Usaha pembaruannya hanya sebagian berhasil. Parlemen sangat tak efektif untuk bisa menghasilkan perubahan apa pun. Undang-undang yang akan mengesahkan adanya partai politik tak pemah jadi. Apalagi undang-undang yang lainnya. Sedang memaksa Pangeran Daud untuk mundur, sudah pasti merupakan langkah bahaya. "Keponakan yang iri," seperti yang dikenal dalam adat Afghan, membalas dendam tahun 1973. Zahir tengah berada di Pulau Ischia, di lepas laut Napoli, mandi lumpur untuk mengobati encoknya. Pangeran Daud mendepak Zahir, mencampakkan kerajaan dan memproklamasikan Republik Afghanistan. Zahir, bagaimanapun, punya sikap politik luar negeri yang lebih baik. Ketika peperangan panas-dingin di mana-mana, dia bermain rapi di antara kekuatan besar dunia: Nazi, Inggris, Cina, kemudian Amerika dan Soviet. Selama 20 tahun dia memanfaatkan bantuan dari kedua raksasa dunia. Dia bertemu dengan Eisenhower, Khrushchev, dan Kennedy. Para teknisi Soviet dan Amerika pun sempat membangun jalan dan bandar udara buat Afghan. Netralitas Afghanistan berakhir dengan tergulingnya Zahir. Daud, yang kurang mampu bermain sulap, tewas terbunuh pada bulan April 1978 dalam sebuah kudeta militer. Komunis pun tampil di pusat kekuasaan -- langkah awal rangkaian peristiwa yang membawa Soviet datang menyerbu pada bulan Desember 1979. Keberhasilan Zahir terletak pada kenyataan bahwa ia mampu memerintah selama 40 tahun. Sejarah Afghan, sebelum dan sesudah Zahir, belepotan dengan perang dan pembunuhan istana. Keistimewaannya itu menjadi kartu kuat. "Sekarang Raja (Zahir) penting," kata Harrison dari Carnegie Endowment, "sebab hanya dia yang bisa dikaitkan dengan pemerintah sah Afghanistan yang pernah ada. Dia simbol stabilitas sewaktu Afghanistan bersahabat dengan Uni Soviet. Banyak orang Afghan sekarang berpikir pemerintahan Zahir adalah zaman emas." Menjadikan Zahir sebagai simbol, tak penting. Harrison menyebut bahwa Zahir dapat membentuk Loya Jirgah yang mewakili semua pihak, atau hanya duduk sebagai ketuanya. Dia mungkin juga diberi peran kehormatan dalam pemerintahan peralihan. Tapi menurut Cordoves, yang terpenting adalah memulai proses konsultasi antara semua pihak Afghan, sementara penarikan Soviet terus berlangsung. Raja sering disebut sebagai orang yang paling dapat membantu lancarnya proses itu. Jika kesempatan Zahir kembali ke Kabul bergantung pada prospek perdamaian sesungguhnya di tanah leluhur, istirahatnya di Roma nampaknya aman. Dan bila kelompok-kelompok perlawanan dapat dibujuk untuk tinggal menetap -- tanpa harus bisa meraih kemenangan militer atas rezim komunis -- itu juga tak harus Zahir yang dipilih untuk menyelamatkan bangsa. Tapi Zahir telah memulai kegiatan politik, dengan menjadikan dirinya sendiri bahan perbincangan yang memecah-belah kelompok perlawanan. Kaum fundamentalis menolaknya. Bukan semata karena ingin mendirikan republik Islam baru. Mereka menolak bentuk kerajaan kesukuan. Bentuk kerajaan adalah ciptaan suku Pashtun, kelompok terbesar di Afghanistan. Kaum fundamentalis umumnya bukan Pashtun. Khususnya suku Tajik. Persaingan kesukuan acap dieksploitasi oleh para kontestan "pemmainan besar". Inggris mewariskan sepotong besar wilayah Pashtun ke Pakistan. Arus klaim Afghanistan pada tanah ini pernah menyebabkan krisis besar pada politik luar negeri Zahir. Pakistan menutup perbatasannya dan memotong jalan Afghanistan ke laut pada tahun 1955. Situasi ini menyala lagi baru-baru ini. Nampaknya ini tak jelas. Tapi ini adalah isu provokasi yang akan tetap digoyangkan di masa depan Afghanistan seperti yang terjadi pada masa lampau. Sedang Pakistan kini lebih punya kekuatan mendesak tetangganya, ketimbang waktu-waktu silam. Pakistanlah yang menampung dan menaungi kelompok-kelompok perlawanan, sebaik negeri itu mau menerima 3 juta pengungsi Afghan. Sedang Zahir, suka atau tidak, akan selalu membawa aspirasi Pashtun sebagai bagasinya. Dan tak enaknya, Pakistan yang mewarisi Pashtun dari Inggris itu -- pasti akan menjadi bidan yang melahirkan rezim Afghan mana pun yang akan membuka kembali luka lama itu. Ini, menurut Harrison, memperjelas mengapa Pakistan amat dingin pada Raja. Mereka mencegah utusan Zahir meninjau penampungan pengungsi sepanjang perbatasan. Ini juga membantu memperjelas mengapa Pakistan terang-terangan mendorong kelompok perlawanan fundamentalis untuk bisa merebut kemenangan militer. Pakistan memberikan senjata bagi mereka, yang berasal dari Amerika dan pemasok Barat lainnya. Tak enaknya bagi Zahir -- itu yang selalu terjadi di Afghanistan, seperti juga pada banyak tempat lain -- orang-orang yang memiliki gagasan berjuang sungguh-sungguh untuk bisa melahirkan negara baru yang teratur, saat orang-orang yang bersenjata menyudahi pemerintahan itu. Sementara Zahir, raja Afghanistan itu, berjalan-jalan seputar kolam kosong di kebunnya, perjuangan kekerasan di Kabul tampak amat jauh. "Yang tetap aku ingat adalah ladang-ladang Afghanistan, gunung dan lembah. Dan yang kurasakan hilang sebagian besar adalah kepenasaranan bangsaku," kata Mohammad Zahir Shah. Zaim Uhrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini