Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Senin lalu terasa senyap. Hari itu, mestinya digelar sidang perdata perkara negara melawan Yayasan Supersemar dan mantan presiden Soeharto. Diperkirakan, ditambah dua kali sidang lagi, kasus itu bakal selesai. Tapi, apa daya, sehari sebelumnya Soeharto meninggal. ”Kami minta diurus ahli waris secepatnya,” kata hakim ketua Wahjono kepada tim jaksa pengacara negara dan para pengacara Soeharto.
Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dua yurisprudensi Mahkamah Agung, apabila tergugat meninggal dunia, posisinya sebagai tergugat dapat digantikan oleh ahli warisnya. Namun, menyeret anak-anak penguasa Orde Baru yang berjumlah enam orang sebagai ahli waris tak gampang. ”Pihak keluarga bisa menolak,” kata Juan Felix Tampubolon, salah seorang anggota tim pengacara Soeharto.
Sidang di aula utama pengadilan itu pun ditunda sampai ada ahli waris yang diajukan. Persidangan tuntutan negara berupa ganti rugi Rp 185 miliar dan US$ 425 juta serta ganti rugi imateriil Rp 10 triliun itu menjadi tak keruan ujungnya. Bukan tidak mungkin, peradilan kasus perdata ini gagal diselesaikan seperti dalam kasus pidana Soeharto yang digelar pada 31 Agustus 2000.
Kasus hukum Soeharto memang cenderung menyusut. Ketika reformasi berputar pada 1998, semangat mengadili sang jenderal besar begitu berkobar. Dilandasi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 11 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pemerintah berniat segera mengadili Soeharto. Kala itu, Jaksa Agung Andi M. Ghalib yang ditunjuk menjadi Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto menjanjikan pengusutan penuh harapan.
Ia unjuk gigi dengan mengumumkan indikasi penyimpangan penggunaan dana di tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto. Yayasan itu meliputi Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Dana Abadi Karya Bhakti, Dana Sejahtera Mandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Kemanusiaan Gotong Royong Kemanusiaan Siti Hartinah, dan Yayasan Bantuan Beasiswa Yatim Piatu Tri Komando Rakyat. Dengan kekayaan mencapai Rp 4 triliun, dana tujuh yayasan itu justru mengucur ke bisnis keluarga Soeharto dan kroni.
Badan Pertanahan Nasional bahkan ikut menyetor daftar tanah Soeharto ke Kejaksaan Agung. Menurut Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional saat itu, Hasan Basri Durin, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum menguasai 204 ribu hektare tanah bersertifikat. Bank Indonesia juga melaporkan rekening atas nama Soeharto di 72 bank dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, hampir semuanya disimpan di Bank BCA—ketika itu masih milik taipan Liem Swie Liong, kroni terdekat Soeharto.
Namun, harapan itu layu di tengah jalan. Jaksa Agung Andi M. Ghalib mengumumkan penyimpangan bukan pada Keputusan Presiden Soeharto, melainkan pada pelaksanaannya. Padahal, Kejaksaan baru dua kali memeriksa Soeharto dalam perkara yang masuk tahap penyidikan pada 9 Desember 1998 ini. Sejak itu juga Soeharto mulai sakit-sakitan. Perkara ini makin tak jelas setelah Jaksa Agung Ismudjoko menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) pada 8 Oktober 1999 setelah mendengar pendapat para pakar.
Saat itulah kemudian diusulkan pembentukan Komisi Negara untuk perkara Soeharto. ”Komisi itu diperlukan agar perkara Soeharto tidak terkatung-katung,” kata pengacara senior Adnan Buyung Nasution, salah satu pakar yang dimintai masukan. Namun, usulan ini tak berlanjut. Malahan, pada April 2000, Jaksa Agung Marzuki Darusman yang menggantikan Ismudjoko mencabut SP3 yang dikeluarkan pendahulunya.
Soeharto pun mulai diperiksa meskipun tim dokter kepresidenan dan tim dokter pribadi menyatakan Soeharto menderita kerusakan otak. Kala itu, tim Kejaksaan delapan kali mendatangi Cendana. Jawaban Soeharto hanya dua: tidak ingat dan tidak tahu. Walau begitu, tim Kejaksaan tetap melimpahkan kasus ini ke Pengadilan Jakarta Selatan.
Tibalah agenda sidang yang menyedot ribuan warga masyarakat. Soeharto yang diminta hadir dalam sidang di aula Departemen Pertanian, Jakarta Selatan, tidak datang dengan alasan sakit. Ketua majelis hakim Lalu Mariyun memerintahkan terdakwa diobati sampai sembuh. Berkas perkara Soeharto pun tergeletak di Pengadilan Jakarta Selatan. Pada Mei 2006, kesehatan Soeharto kritis dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Dimotori Partai Golkar, sejumlah tokoh politik menggagas pengampunan bagi presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut gagasan tersebut dan memerintahkan Kejaksaan Agung memberikan solusi keadilan dan kepastian hukum. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh—melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan—memilih menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan perkara (SKP3) pada 12 Mei 2006.
Kejaksaan tak bersedia mengadili Soeharto secara in absentia. ”In absentia dilakukan jika terdakwa mangkir tanpa alasan sah,” katanya. Selain itu, SKP3 dipilih karena sejumlah alasan. Selain menghormati kondisi Soeharto yang sakit, SKP3 bukan upaya pengampunan. ”Perkara bisa dibuka kembali,” Abdul Rahman menegaskan. Sampai kapan? ”Sampai ditemukan alasan baru, misalnya dokter menyatakan Soeharto sembuh.”
Pemberian SKP3 oleh Kejaksaan disusul gugatan perdata sebagai jalan mengembalikan kerugian negara. Mengacu kepada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gugatan perdata, kalaupun tersangkanya meninggal, perkara bisa dialihkan ke ahli warisnya. Langkah Jaksa Agung ini mengundang reaksi lembaga swadaya masyarakat dan para akademisi. Mereka menggugat ke Pengadilan Jakarta Selatan. Hakim Andi Samsan Nganro menyatakan SKP3 tidak sah, tapi hakim pengadilan banding memenangkan Jaksa Agung.
Perkara Soeharto lain yang mencolok mata adalah kasus pelanggaran hak asasi manusia. Komisi Nasional HAM periode 2002–2007 menangani lima perkara berat yang diduga melibatkan Soeharto. Kasus itu adalah Pulau Buru, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, kebijakan Daerah Operasi Militer di Aceh dan Papua, serta kasus 27 Juli. ”Dalam kasus Pulau Buru, korbannya sangat spesifik, yakni mereka yang dituduh menjadi anggota Partai Komunis Indonesia,” kata M.M. Billah, salah satu anggota Komnas HAM. Adapun tragedi Tanjung Priok, korbannya adalah kelompok Islam yang dianggap anti-Pancasila.
Tragisnya, berbagai dugaan pelanggaran ini bak pohon mati sebelum ditanam. Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komnas HAM 2002–2007, pengusutan pelanggaran HAM Soeharto menunggu terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. ”Kasus itu terjadi sebelum Undang-Undang Dasar 45 diamendemen dan keluarnya Undang-Undang Peradilan HAM,” katanya. Pada undang-undang tersebut diberlakukan asas larangan penerapan surut suatu undang-undang (retroaktif).
Peluang makin menguap setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada Desember 2006. ”Selain bertentangan dengan konstitusi, undang-undang ini tidak memiliki konsistensi hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
Keputusan tersebut dianggap melebihi tuntutan (ultra petita) karena pemohon dari kalangan LSM dan korban pelanggaran HAM hanya mengajukan pembatalan pasal yang mengatur pemberian kompensasi dan rehabilitasi korban. Itu pun jika permohonan amnesti mereka diterima presiden. ”Pengungkapan masalah HAM berat di masa lalu kembali ke titik nol,” kata Asmara Nababan, salah seorang pemohon yang juga anggota Komnas HAM, kesal.
Kini, Soeharto sudah meninggal. Menurut guru besar kriminologi Universitas Indonesia, Muhammad Mustofa, setelah ini kasus hukum Soeharto makin pelik. Penyelesaiannya—ia menunjukkan kuncinya—yaitu melalui pemulihan keadilan (restorative justice) untuk para korban kebijakan Soeharto. ”Intinya ada perdamaian antara pelaku dan korban,” katanya.
Ia menambahkan, itu bukan sekadar permintaan maaf seperti yang diucapkan Soeharto saat dipaksa meletakkan jabatannya pada 1998. Pemulihan keadilan itu harus pula diikuti kompensasi atas kerusakan dan kerugian yang diderita korban. Gagasan ini pernah diajukan ketika ada usulan pembentukan Komisi Negara pada 1999 tapi tak terwujud. Cara ini, kata Mustofa, perlu dilakukan karena hukum formal gagal menyelesaikan perkara Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo