Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Istana ke Astana

Ia ”mulia” bahkan pada hari kematiannya. Prosesi penguburan dengan 20 ribu pelayat. Bendera setengah tiang dikibarkan warga—meski hanya setengah hati.

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH petinggi negara yang tadinya asyik bersenda-gurau tiba-tiba terdiam. Suasana senyap. Jenazah Soeharto diusung masuk ke pemakaman Astana Giribangun. Setelah diletakkan, peti dibuka. Tidak cuma dilapisi kain kafan, jenazah itu juga diselimuti kain tebal warna putih.

Suwardi, pengurus pemakaman Desa Karang Bangun, cukup kesulitan membuka kain itu, pada saat jenazah hendak dimasukkan ke liang lahat. Membuka kain itu saja memerlukan waktu sekitar tiga menit.

Keluarga memutuskan Soeharto dikubur bersama peti yang dikalungi untaian melati. Tapi tubuhnya diganjal tanah. Dimiringkan ke arah kiblat. Enam pengurus makam berpakaian sorjan perlahan memasukkan jenazah diiringi jeritan terompet militer.

Setelah itu, jasad dihujani kembang aneka rupa. Ditutup tanah. Sebiji kelapa yang sudah dibelah tengkurap di atas kubur. Menghabiskan usia 87 tahun—32 tahun di antaranya memerintah dengan penuh kontroversi—Soeharto selesai sudah.

Di perhentian terakhir itu, jasadnya dimakamkan di antara sang istri, Siti Hartinah, yang wafat pada 28 April 1996, dan sang mertua, KRA Soemoharjono. Liang lahat itu sudah digali beberapa tahun lalu tapi selama ini hanya ditimbuni pasir. Dindingnya kukuh. Dilapisi beton marmer kasar.

Makam Astana Giribangun itu didirikan pada 1974 oleh yayasan Mangadeg yang dipimpin Siti Hartinah. Cara membangunnya cukup unik. Sebuah bukit setinggi 17 meter dipotong, lalu di atasnya dibangun kompleks pemakaman setinggi bukit itu.

Arsitek pemakaman itu adalah Ali Surono, seorang dosen di Universitas Gadjah Mada. Astana artinya makam. Giri artinya gunung. Jadi, Giribangun, ”Artinya gunung yang dibangun,” kata Sukirno, juru kunci pemakaman.

Pada Senin pekan lalu itu, semua mata tertuju ke sana. Jumlah pelayat sekitar 20 ribu orang. Mereka berjubel hingga pertigaan Matesih, empat kilometer dari Astana.

Lima ratus juru warta, dalam dan luar negeri, bersesakan meliput jalannya prosesi pemakaman. Hampir semua stasiun televisi menyiarkan secara langsung.

Jalan macet total. Banyak pelayat yang lewat jalan tikus. Sejumlah menteri malah terjebak di pertigaan Matesih. Mereka terlihat cemas karena rombongan jenazah sudah bergerak dari Bandara Adisoemarmo. Takut terlambat, sejumlah menteri pun melompat dari mobil lalu meminta polisi mencarikan ojek.

Seorang tukang ojek bernama Parno mengaku kebagian mengangkut seorang menteri wanita. Saat itu, katanya, dia cuma mau menonton rombongan jenazah. Tiba-tiba ia dipanggil polisi untuk mengantar Ibu Menteri.

Parno agak grogi karena jalan menuju pemakaman sudah dipenuhi polisi dan tentara. Tapi si penumpang memberikan jaminan. Kalau dicegat, katanya, ”Bilang saja mau mengantar Ibu Menteri,” tutur Parno kepada Tempo.

Begitu turun, Parno diberi ongkos Rp 50 ribu. Dia gembira karena biasanya sewa ojek cuma lima ribu perak. Tapi yang kebagian mengantar orang asing lebih gembira daripada Parno. ”Saya dan teman saya dapat Rp 100 ribu,” kata Warto, tukang ojek yang mengangkut seorang tambun berkulit putih.

Petinggi lain yang menggunakan jasa ojek adalah Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng, dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita. Banyak pula yang berjalan kaki. Ali Alatas, Menteri Luar Negeri zaman Soeharto, terlihat berjalan kaki 300 meter. Karena letih, dia dipapah ajudan.

l l l

AREAL pelataran makam itu tidak mampu menampung semua pejabat yang datang. Di sana hanya terlihat keluarga Soeharto, keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, orang dekat Cendana, dan petugas pemakaman.

Sedangkan para menteri, mantan pejabat, dan para pengusaha kondang duduk di luar pelataran. Di sana terlihat pengusaha Prajogo Pangestu dan Tito Sulistyo, Mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, juga mantan Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita. Walau terlihat lelah, semuanya takzim mengikuti prosesi pemakaman yang ditayangkan lewat layar monitor. Mereka baru masuk melihat makam itu setelah prosesi selesai. Mantan ajudan Soeharto, Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, malah memilih berdiri di luar kompleks makam. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan ini mengenakan pakaian militer.

Entah kenapa jenderal bintang tiga ini tak masuk kawasan makam. Padahal sejumlah jenderal bintang dua hilir-mudik ke sana. Ada Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya Mayor Jenderal Suryo Prabowo dan Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal Darpito Pudyastungkoro.

Selain pejabat dalam negeri, sejumlah pejabat dari luar negeri juga menghadiri acara pemakaman itu. Ada Presiden Timor Leste Xanana Gusmao, Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei Darussalam, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, dan perwakilan sejumlah negara. Dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upacara pemakaman berlangsung khidmat. Mata Yudhoyono terlihat sendu ketika jenazah Soeharto dimasukkan ke liang lahat.

Pidato Yudhoyono di pemakaman itu sangat ditunggu orang ramai. Sebab, Soeharto pergi meninggalkan setumpuk kasus, mulai dari kasus pidana korupsi, perkara tujuh yayasan yang diduga merugikan negara Rp 1,7 triliun, hingga kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Gerilya pengikut Soeharto guna menutup sejumlah perkara itu juga sudah marak sejak dia terkulai di Rumah Sakit Pusat Pertamina, 4 Januari 2008. Banyak yang mendesak agar pemerintah Yudhoyono memaafkan penguasa Orde Baru itu. Tuntutan mereka kian nyaring setelah Soeharto wafat 24 hari kemudian, Minggu dua pekan lalu.

Tapi yang menuntut agar Soeharto segera diadili juga banyak. Sejumlah kelompok berunjuk rasa di Rumah Sakit Pertamina, tempat Soeharto dirawat. Mereka berdoa agar kakek 87 tahun itu lekas sembuh, ”Biar bisa diadili.”

Dua pekan lalu, sebuah kelompok anak muda malah menjaring pendapat anak gaul yang lalu-lalang di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Hasilnya, lebih dari seribu orang menandatangani spanduk yang menuntut pemerintah, ”Segera mengadili Soeharto.”

Di Astana Giribangun, Senin pekan lalu itu, Yudhoyono memilih menjauh dari polemik ini. Soeharto, katanya, ”Manusia biasa. Almarhum tidak luput dari kekurangan.” Berpidato sekitar sepuluh menit, dia sama sekali tidak menyinggung soal kasus Soeharto.

l l l

PEMAKAMAN Soeharto adalah yang terbesar sepanjang sejarah negeri ini. Presiden menetapkan tujuh hari berkabung nasional. Semua kantor pemerintah, badan usaha negara, dan rumah warga memasang bendera setengah tiang, walau faktanya cuma sebagian yang patuh.

Prosesi pelepasan jenazah di Jakarta juga diikuti ribuan orang. Pukul enam pagi, Senin pekan lalu, sekitar 400 tentara dari tiga angkatan sibuk mengadakan gladi resik upacara pelepasan jenazah di Cendana.

Ketika hari terang tanah, sebuah pesawat Boeing 737 terbang dari Lapangan Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur menuju Bandara Adisoemarmo di Solo. Ini pesawat khusus yang mengangkut rombongan Presiden Yudhoyono.

Jenazah dilepas dari Cendana pukul tujuh pagi. Dihadiri sekitar seribu orang dan dipimpin Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono.

Sepanjang jalan orang berjubel menonton. Hampir semua stasiun televisi menyiarkan perjalanan jenazah. Sebuah stasiun televisi bahkan menyewa helikopter untuk mengambil gambar dari langit.

Sekitar 20 pesawat terbang membawa penumpang yang mengikuti pemakaman itu. Pemerintah menyiapkan tujuh pesawat dari berbagai jenis. Satu C-130 Hercules VVIP, empat C Hercules Troopseat, dan dua Fokker 28 VIP.

Tatkala jenazah Soeharto disemayamkan di rumah duka di Jalan Cendana, Minggu malam dua pekan lalu itu, sebuah pesawat yang membawa logistik pemakaman sudah terbang lebih awal ke Solo. ”Pesawat itu khusus membawa kendaraan khusus,” kata Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara, Marsekal Pertama Daryatma. Keluarga Cendana sendiri mencarter sembilan pesawat guna mengangkut pelayat ke Solo. Maskapi yang dicarter antara lain Trans Wisata, Indonesian Air Service, dan Pelita Air.

Karena Bandara Adisoemarmo tidak mampu menampung banyak pesawat, ada juga yang mendarat di Madiun, Jawa Timur. Keluarga ini juga mencarter sekitar 50 mobil membawa pelayat dari bandara ke Astana Giribangun.

Berapa total biaya pemakaman itu? Pada Rabu pekan lalu, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengaku belum menghitungnya. ”Belum kami rekap,” katanya. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1978, biaya perawatan dan pemakaman seorang mantan presiden memang ditanggung negara.

Pada 2007, misalnya, anggaran untuk kesehatan mantan presiden dan mantan wakil presiden di pos Sekretariat Negara adalah Rp 800 juta. Padahal, sejumlah sumber menyebutkan, selama 24 hari Soeharto dirawat, total biaya yang dikeluarkan sudah sekitar Rp 1,2 miliar. Menteri Sekretaris Negara zaman Soeharto, Moerdiono, memastikan, ”Seluruh biaya rumah sakit ditanggung keluarga.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus