Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Teka-teki Penunggang Gelap

Polisi menyebutkan demonstrasi mahasiswa ditunggangi. Ada ajakan agar TNI mengawal unjuk rasa.

28 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pembakaran kursi plastik setelah bentrok mahasiswa dengan polisi di Jakarta, Selasa, 24 September 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMBAKAN gas air mata berkali-kali meletus di sekitar Stasiun Palmerah, Jakarta, pada Selasa malam, 24 September lalu. Sekitar pukul 22.00 itu, sejumlah polisi berhadapan dengan massa. Dihujani gas air mata oleh polisi, massa bertahan sembari terus melemparkan batu ke arah gedung Dewan Perwakilan Rakyat.

Keadaan di sekitar stasiun kacau-balau. Kereta tak dapat melintas. Pos polisi yang terletak tak jauh dari seberang stasiun terbakar.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian mengatakan kerusuhan yang terjadi setelah demonstrasi mahasiswa itu dilakukan kelompok perusuh. Menurut Tito, mulanya unjuk rasa murni digerakkan mahasiswa. Setelah itu, ada kelompok lain yang memanfaatkan aksi massa. “Kami melihat ada indikasi kelompok yang melakukan aksi, ada pihak-pihak yang memanfaatkan agenda politis,” kata Tito dalam konferensi pers, Kamis, 26 September lalu. Tito tak menjelaskan kelompok yang dimaksud.

Pada 23-24 September lalu, ribuan mahasiswa berunjuk rasa di depan kompleks parlemen, Senayan. Aksi itu juga serempak dilakukan di sejumlah kota dengan tuntutan serupa. Mereka menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi lewat pengesahan undang-undang yang baru serta sejumlah rancangan undang-undang lain yang bermasalah, yang rencananya bakal disahkan pada ujung masa sidang DPR periode ini.

Berbeda dengan tuntutan mahasiswa, kelompok itu menyusupkan agenda lain. Menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, mereka ingin menurunkan Presiden Joko Widodo dan menggagalkan pelantikannya untuk menjabat periode kedua. Salah satu caranya adalah menduduki gedung DPR. “Agar DPR tidak dapat melaksanakan tugasnya, dalam arti DPR baru tidak dapat dilantik (pada 1 Oktober 2019). Tujuan akhirnya menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih,” kata Wiranto.

Dalam demonstrasi pada Senin, 23 September lalu, di depan gedung DPR memang tak terjadi kerusuhan. Tapi, menurut Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Suyudi Ario Seto, polisi telah mengendus kelompok perusuh yang berbaur dengan mahasiswa. “Ada kelompok yang berbeda jika dibandingkan dengan mahasiswa,” ujar Suyudi.

Polisi menunjukkan bom molotov yang disita dari tas pengunjuk rasa di depan gedung DPRD Sumut, Medan, Sumatera Utara, 27 September 2019.

Tanda-tandanya, kata Suyudi, terlihat dari penampilan mereka. Kelompok ini menggunakan masker hingga menutupi seluruh wajah—kecuali bagian mata. “Karena mereka tak mau identitasnya terlihat,” ujarnya. Mereka juga memprovokasi mahasiswa agar berbuat rusuh, antara lain dengan memanjat dan merusak pagar DPR. Tapi mahasiswa tak terhasut. Menurut pantauan Tempo, ketika ada sekelompok orang mulai memanjat pagar, mahasiswa kian merapatkan barisan dan menggandeng tangan kawan sealmamater agar barisan tak disusupi.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan pihak yang memanaskan demonstrasi tersebut antara lain kelompok “anarko sindikalis” di Bandung. “Mereka sengaja bertindak anarkistis dengan merusak fasilitas umum dan menyerang polisi,” ujar Dedi. Dalam demonstrasi di Bandung, polisi meringkus empat anggota kelompok ini.

Di Medan, kata Dedi, demonstrasi disusupi anggota Jamaah Ansharud Daulah (JAD) berinisial RSL yang buron karena terlibat kasus terorisme. Polisi telah menangkap pria tersebut. Dari tangannya, polisi menyita beberapa busur dan anak panah serta senapan angin.

Kepala Subdirektorat Keamanan Negara Ajun Komisaris Besar Polisi Dwiasi Wiyatputera melihat para pengunjuk rasa yang masih berkeliaran pada malam hari di Jakarta pada Selasa, 24 September lalu, mendapat bantuan minuman dari ambulans yang berada di sekitar lokasi kejadian. Salah satunya di Jalan Asia-Afrika. “Saya sampai harus mengusir mereka. Kami saja susah mendapat logistik karena truknya terhalang demonstran,” tuturnya.

Malam itu, Tempo juga menyaksikan dua ambulans berhenti di Jembatan Senayan—terusan dari Jalan Gerbang Pemuda ke Jalan Gatot Subroto—setelah tensi kericuhan di wilayah itu mulai turun. Dua orang dari dalam ambulans turun dan membuka pintu belakang, lalu membagikan kardus minuman kepada pengunjuk rasa. Menurut polisi, berkat sokongan “ambulans” itulah pengunjuk rasa bisa bertahan hingga malam.

Ada juga pihak yang diduga ingin membenturkan tentara dan polisi, yakni dengan cara menggeret anggota Tentara Nasional Indonesia ke gelanggang demonstrasi. Saat mahasiswa lain menuntut revisi undang-undang bermasalah dibatalkan, sekelompok mahasiswa justru berunjuk rasa di depan Markas Besar TNI di Cilangkap, Jakarta, pada Rabu, 25 September lalu, meminta TNI turun mengawal mahasiswa. Seorang purnawirawan jenderal bintang empat terlibat langsung dalam aksi tersebut. Bersamaan dengan itu, beredar sejumlah video dan poster yang diedarkan lewat aplikasi WhatsApp berisi ajakan dengan pesan senada.

Sekalipun telah mendeteksi adanya penumpang gelap, polisi gagal meredam kericuhan dalam unjuk rasa di sejumlah daerah. Di Kendari, dua mahasiswa Unversistas Halu Oleo menjadi korban dalam aksi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara pada Kamis, 26 September lalu. Immawan Randi, 21 tahun, tewas tertembak, sedangkan Muhammad Yusuf Kardawi, 19 tahun, meninggal dengan luka di kepala akibat hantaman.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta polisi tak represif dalam menangani demonstrasi. “Supaya tidak terulang lagi kejadian seperti bulan Mei lalu (saat kerusuhan dalam demonstrasi menolak hasil pemilihan umum). Tak perlu menggunakan kekerasan dalam menghadapi demonstrasi mahasiswa,” tutur komisioner Komnas HAM, Amiruddin al-Rahab.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal mengatakan, seperti perintah Kepala Polri, polisi tak membawa senjata api dalam menangani unjuk rasa. “Jangankan menggunakan peluru karet, apalagi peluru tajam, wong senjatanya saja enggak dibawa,” ujar Iqbal. Presiden Jokowi telah menginstruksikan Kepala Polri menginvestigasi kasus ini.

DEVY ERNIS, STEFANUS TEGUH PRAMONO, EGY ADYATAMA, DEWI NURITA, ANDITA RAHMA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus