Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Faktor Mahasiswa dalam Kalkulasi Istana

Istana mengumpulkan sejumlah tokoh untuk meredam aksi mahasiswa yang dipicu revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan rencana pengesahan rancangan undang-undang bermasalah. Presiden Jokowi mempertimbangkan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Ditentang partai sendiri.

28 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Unjuk Mahasiswa di depan kantor DPR RI, Senayan, Jakarta, 24 September 2019. TEMPO/Amston Probel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA tentang permintaan Presiden Joko Widodo kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ramai dibahas di grup percakapan WhatsApp anggota Komisi Hukum DPR sepanjang Jumat hingga Senin, 20-23 September lalu. Anggota grup, termasuk mereka yang berasal dari partai pendukung pemerintah, terus menanyakan alasan Presiden.

Sebagian yang lain merespons dengan menyatakan tak ada aturan yang bisa menunda pengesahan RKUHP. Beberapa hari sebelumnya, DPR dan pemerintah, yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, selesai membahas materi dan sepakat mengetuk rancangan tersebut menjadi undang-undang dalam rapat paripurna pada Selasa, 24 September. “Perdebatan tidak berhenti sampai Senin. Bahkan sampai hari itu masih ada yang tetap bingung,” ujar Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Erma Suryani Ranik, Selasa, 24 September lalu.

Salah satu yang menolak permintaan Jokowi adalah Wakil Ketua Komisi Hukum dari Partai Amanat Nasional yang juga Ketua Panitia Kerja RKUHP, Mulfachri Harahap. Menurut Mulfachri, ia sampai dilobi pemimpin fraksi partai pendukung pemerintah agar menyetujui permintaan Istana. “Tapi saya tidak mau,” kata Mulfachri.

Ketua DPR Bambang Soesatyo, pim­pinan Komisi III, dan pimpinan fraksi DPR sesaat sebelum bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, 23 September 2019. TEMPO/Subekti

Di tengah perdebatan anggota Komisi Hukum di grup WhatsApp, pada Ahad malam Istana mengundang pemimpin DPR, petinggi fraksi, dan pimpinan Komisi Hukum untuk bertemu dengan Presiden pada Senin, 23 September. Keesokan harinya, sebelum berangkat ke Istana, DPR menggelar rapat Badan Musyawarah yang dihadiri pimpinan Dewan dan pejabat fraksi untuk menetapkan agenda rapat paripurna esoknya. Dalam rapat, Mulfachri tetap menginginkan RKUHP masuk agenda rapat paripurna seperti yang telah dijadwalkan. Tapi usulnya ditolak lantaran Dewan ingin mendengarkan penjelasan Presiden lebih dulu.

Erma Suryani Ranik menuturkan, rombongan DPR tiba di Istana dengan rileks. “Tapi, begitu duduk, berkerut semua mukanya,” ujarnya. Menurut Erma, setelah mendengarkan permintaan Jokowi tentang penundaan pengesahan RKUHP, giliran rombongan menyampaikan pendapat. Ketua DPR Bambang Soesatyo, misalnya, menyatakan RKUHP telah sesuai dengan keinginan pemerintah. Adapun Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menjelaskan pengambilan keputusan pembahasan undang-undang dari tingkat satu hingga ke rapat paripurna. Singkatnya, tidak ada penundaan pengesahan.

Saat mendapat giliran bicara, Mulfachri meminta Presiden Jokowi menunjukkan pasal-pasal yang bisa mengancam demokrasi. Ia menyebutkan, bila ada pasal tertentu di RKUHP yang masih mengganjal, bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi. Kepada Jokowi, Mulfachri mengatakan tidak ada lagi alasan untuk menunda pengesahan RKUHP. “Ini ibarat masak nasi goreng, tinggal taruh bawang goreng, selesai,” katanya.

Aksi unjuk rasa mahasiswa saat menggelar aksi menolak RKUHP dan UU KPK yang baru di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, 23 September 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

Karena pertemuan menjadi tegang, Bambang Soesatyo mencoba mendinginkan suasana. Politikus Golkar itu berkelakar ihwal tidak adanya makan siang dalam persamuhan tersebut. “Paling tidak, kami harapkan ada makan siangnya,” ujar Bambang pada Jumat, 27 September lalu.

Menurut Erma, Jokowi juga meminta DPR menunda pengesahan rancangan undang-undang lainnya, yakni RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, RUU Pemasyarakatan, serta RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Rombongan DPR menjelaskan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak akan disahkan pada periode ini lantaran menunggu RKUHP selesai. Ada pasal soal hukuman untuk kejahatan pencabulan dan pemerkosaan yang perlu disinkronkan dalam dua undang-undang itu.

Setelah bertemu dengan DPR, Presiden menjelaskan kepada publik bahwa ia telah meminta pengesahan RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, serta RUU Pemasyarakatan ditunda. “Untuk bisa mendapatkan masukan-masukan, substansi yang lebih baik, sesuai dengan keinginan masyarakat,” ujar Jokowi. Penundaan ini sesuai dengan permintaan sejumlah kalangan, termasuk mahasiswa yang hari itu berdemonstrasi di depan gedung DPR dan di kota-kota lain, seperti Yogyakarta.

 


 

Ketua DPR Bambang Soesatyo, misalnya, menyatakan RKUHP telah sesuai dengan keinginan pemerintah. Adapun Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menjelaskan pengambilan keputusan pembahasan undang-undang dari tingkat satu hingga ke rapat paripurna.

 


Keesokan harinya, DPR memang batal mengesahkan RKUHP. RUU Pemasyarakatan, yang dijadwalkan disahkan hari itu, juga tak jadi diketuk. Selain karena diminta Jokowi, ini lantaran DPR mempertimbangkan situasi di luar gedung. “Kami sepakat untuk tidak menambah eskalasi,” ujar Erma, Ketua Panitia Kerja RUU Pemasyarakatan. Ketika sidang paripurna berlangsung, diperkirakan lebih dari 10 ribu mahasiswa mengepung kompleks DPR dengan membawa sejumlah tuntutan, yang salah satunya meminta RUU tersebut tak disahkan.

 

AHMAD Syafii Maarif mendadak menemui Presiden Jokowi pada Kamis pagi, 19 September lalu. Dalam pertemuan sekitar satu jam tersebut, keduanya membicarakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah disahkan DPR dan rencana pengesahan Rancangan KUHP, yang menjadi sumber kegaduhan belakangan ini.

Pada hari ketika mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu bertamu ke Istana, mahasiswa menggelar demonstrasi di depan gedung DPR. Ini adalah aksi pertama yang kemudian diikuti gelombang demonstrasi di berbagai kota, yang puncaknya terjadi pada Selasa, 24 September lalu. Mahasiswa menggugat sejumlah hal, di antaranya mendesak Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan Undang-Undang KPK yang baru dan mengurungkan RKUHP.

Kedua aturan itu dikebut pembahasannya oleh DPR pada akhir masa jabatan mereka, yang habis pada 30 September ini. Khusus untuk revisi Undang-Undang KPK, politikus Senayan memanfaatkan sinyal Jokowi yang ingin mengamendemen aturan tersebut. Jokowi, seperti yang disampaikannya dalam pidato kenegaraan di Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 16 Agustus lalu, secara tersirat menilai pemberantasan korupsi “salah arah” karena hanya diukur dari banyaknya kasus yang diangkat dan orang yang dipenjarakan. “Harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum yang bisa dicegah, berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan,” katanya.

Kepada tamunya setelah pidato di MPR, Jokowi juga menyampaikan kerisauannya. Gencarnya KPK menangkap pejabat dan pengusaha membuat kepala daerah dan badan usaha milik negara takut mengambil keputusan. Menurut Jokowi, KPK semestinya condong melakukan pencegahan.

Awal September lalu, Jokowi memanggil sejumlah orang untuk berdiskusi mengenai revisi Undang-Undang KPK. Menurut Jokowi kepada seorang narasumber, ia ingin KPK memiliki dewan pengawas lantaran penasihat KPK yang ada saat ini tidak efektif. Jokowi juga ingin KPK memiliki kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan alias SP3. Jokowi mencontohkan kasus dugaan korupsi pengadaan crane di PT Pelindo II yang membelit bekas direktur utamanya, Richard Joost Lino, sejak 2015.

Narasumber lain menuturkan, Jokowi menyetujui revisi setelah mendapat masukan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang mencontohkan nasib R.J. Lino yang terkatung-katung. Juru bicara Wakil Presiden, Husain Abdullah, membenarkan informasi tersebut. “Bukan hanya pada awal September (pembicaraannya). Soal SP3 termasuk yang dibicarakan,” katanya, Jumat, 20 September lalu.

 


 

“Kalau disahkan, ini ber­ba­­­­haya,” katanya. Sebab, undang-undang yang akan men­jadi tatakan hukum pi­­dana itu akan mengubah ta­­tanan masyarakat. Hal yang membahayakan di antaranya mengekang hak-hak sipil, me­nerabas pri­vasi warga negara, serta mengancam kebebasan ber­pendapat dan kebebasan pers.

 


Ketika menemui Jokowi pada Kamis itu, Syafii Maarif menyampaikan bahwa cara yang dilakukan DPR dengan mengebut pengesahan merupakan langkah sembrono. “Pembahasannya tidak terbuka dan KPK tidak diajak berunding,” ujarnya kepada Tempo. Manuver itu justru mengundang kecurigaan dari banyak kalangan, termasuk mahasiswa, bahwa DPR dan pemerintah bersepakat melemahkan KPK.

Syafii juga menyampaikan pendapatnya tentang RKUHP. “Kalau disahkan, ini berbahaya,” katanya. Sebab, undang-undang yang akan menjadi tatakan hukum pidana itu akan mengubah tatanan masyarakat. Hal yang membahayakan di antaranya mengekang hak-hak sipil, menerabas privasi warga negara, serta mengancam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.

Menurut Syafii, Presiden merespons positif masukannya. Presiden meminta Menteri Sekretaris Negara Pratikno, yang ikut dalam pertemuan, mencatat poin yang dia sampaikan. Setelah bertemu dengan Syafii, keesokan harinya Jokowi menyampaikan kepada publik bahwa ia meminta DPR periode ini tak mengesahkan RKUHP.

Pernyataan Jokowi itu tak meredakan protes mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai kota. Mereka tetap berencana menggelar demonstrasi lebih besar pada 23-24 September. Salah seorang di lingkaran Istana sempat mengkalkulasi bahwa demonstrasi hanya akan diikuti sekelompok kecil orang.

Sebaliknya, gerakan mahasiswa terus membesar. Pada Senin, 23 September lalu, ribuan mahasiswa di Jakarta dan Yogyakarta serempak turun ke jalan dengan tuntutan yang sama. Setelah Jokowi bertemu dengan DPR, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menggelar rapat untuk menyikapi aksi mahasiswa. Salah satu keputusannya adalah mengundang sejumlah bekas pemimpin KPK ke Istana keesokan harinya untuk memberikan masukan tentang revisi Undang-Undang KPK yang telanjur disahkan.

Pertemuan dengan Presiden dihadiri pemimpin KPK periode pertama, yakni Taufiequrachman Ruki, Erry Riyana Hardjapamekas, dan Amien Sunaryadi. Para tamu memberikan masukan mengenai poin-poin krusial dan menyarankan Presiden segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk mengoreksi revisi Undang-Undang KPK. Sehari sebelumnya, kepada wartawan, Jokowi menyatakan Perpu KPK tak ada dalam opsinya.

Ruki, Erry, dan Amien tak menjawab pertanyaan Tempo mengenai hal tersebut. Erry hanya menjawab pertanyaan lain. Ruki mengatakan, “Maaf, saya sedang tidak sehat.” Adapun Amien meminta pertanyaan itu diajukan kepada Erry.

Tetamu juga mengusulkan Istana mendengarkan masukan dari tokoh lain. Deputi V Kantor Staf Presiden, yang membidangi politik, hukum, dan keamanan, Jaleswari Pramodhawardani, kemudian mengumpulkan sejumlah tokoh untuk bertemu dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Pada Rabu, 25 September lalu, sebanyak 13 tokoh berkumpul di kediamannya, di antaranya Mahfud Md., Alissa Wahid, Franz Magnis-Suseno, dan Ahmad Suaedy. Menurut Jaleswari, mereka membicarakan persoalan akhir-akhir ini, seperti revisi Undang-Undang KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, dan kerusuhan di Papua.

Menurut Ahmad Suaedy, para tamu meminta pemerintah segera menyelesaikan persoalan itu. “Kami juga menyinggung blunder pernyataan Pak Moeldoko dan para buzzer,” ujar anggota Ombudsman RI itu.

Sejumlah tokoh dan budayawan bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, 26 September 2019. TEMPO/Subekti

Moeldoko sebelumnya menyatakan Presiden menyetujui revisi Undang-Undang KPK karena komisi antikorupsi itu menghambat investasi. Belakangan, Moeldoko meralat omongannya. Adapun para buzzer atau pendengung di media sosial kerap menyampaikan disinformasi dan menyerang para pengkritik Presiden. Suaedy dan yang lain juga meminta Presiden mengeluarkan Perpu KPK.

Keesokan harinya, sejumlah tokoh yang diterima Moeldoko kembali ke Istana untuk bertemu dengan Jokowi bersama puluhan orang lain. Peserta pertemuan meminta Jokowi tak gamang mengeluarkan perpu karena syarat-syaratnya, antara lain keadaan mendesak, sudah terpenuhi.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, misalnya, mengatakan, jika Presiden menyarankan publik mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, hal itu akan memperpanjang ketegangan di akar rumput. Sebab, prosesnya bisa berlangsung berbulan-bulan. “Bapak berdiri bersama masyarakat atau dengan partai politik?” ujar Feri kepada Presiden.

Setelah pertemuan itu, sikap Jokowi mulai berubah, dari yang tadinya berkukuh tak akan mengeluarkan perpu menjadi menimang-nimang keputusan tersebut. “Kami hitung, kalkulasi, dan setelah itu akan diputuskan,” ujar Jokowi. Menteri Sekretaris Negara Pratikno ditugasi membuat rancangannya.

Masalahnya, Jokowi juga harus bernegosiasi dengan DPR agar perpu tersebut bisa ditetapkan menjadi undang-undang. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, pengusung utama Jokowi, belum menentukan sikap resmi atas rencana Presiden. Tapi, kata Ketua PDIP Bambang Wuryanto, jika akhirnya mengeluarkan perpu, Presiden tidak menghormati DPR, yang bersama pemerintah telah membahas revisi Undang-Undang KPK. “Presiden punya pertimbangan sendiri dan ngomong dengan pembantunya. Kami, DPR, punya otoritas sendiri,” ujar Bambang.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, DEVY ERNIS, STEFANUS TEGUH PRAMONO, BUDIARTI UTAMI PUTRI, DEWI NURITA, FRISKI RIANA

 


 

Pasal-pasal Bermasalah

UU KPK

- Melemahkan KPK

 

RKUHP

- Mengekang hak-hak sipil

- Meringankan hukuman bagi pelaku korupsi dan pencucian uang

- Menerabas privasi warga negara

- Mengancam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers

- Memuat pasal-pasal karet

 

RUU Pemasyarakatan

- Meringankan syarat remisi dan pembebasan narapidana korupsi, narkotik, dan teroris

- Membolehkan narapidana cuti menjalani hukuman

 

RUU Pertanahan

- Memuat pasal-pasal karet yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat

- Mengabaikan semangat reforma agraria dan dinilai lebih menguntungkan perusahaan

- Memutihkan lahan ilegal korporasi

 

RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara

- Dinilai untuk mengakomodasi sejumlah perusahaan tambang pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang izinnya segera berakhir

 

 

7 Desakan

1. Menolak RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan; mendesak pembatalan UU KPK dan UU Sumber Daya Alam; mendesak disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

2. Batalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR

3. Tolak TNI & Polri menempati jabatan sipil

4. Stop militerisme di Papua dan daerah lain; bebaskan tahanan politik Papua segera

5. Hentikan kriminalisasi aktivis

6. Hentikan pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang dilakukan korporasi, dan pidanakan korporasi pembakar hutan serta cabut izinnya

7. Tuntaskan pelanggaran HAM dan adili penjahat HAM, termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan; pulihkan hak-hak korban segera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus