Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cinta Berbalas Gas Air Mata

Mahasiswa pengunjuk rasa menolak agenda menurunkan Presiden Jokowi. Membentengi diri dari provokasi.

28 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi mahasiwa di depan kantor DPR RI dibubarkan oleh polisi, di Senayan, Jakarta, 24 September 2019. TEMPO/Hilman Faturahman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Gedung Kepresidenan Universitas Trisakti, pengurus senat mahasiswa dari 43 kampus meriung, Ahad malam, 22 September lalu. Duduk berimpitan di ruangan seluas setengah lapangan bulu tangkis, mereka membicarakan rencana unjuk rasa yang akan digelar keesokannya.

Presiden Mahasiswa Trisakti Dinno Ardiansyah bercerita, semua yang hadir malam itu sepakat bahwa pembahasan sejumlah rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat harus ditentang. Di antaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi—yang sudah disahkan—serta Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan, yang masih dibahas. “Setelah kami lihat, hampir semua RUU itu bermasalah,” kata mahasiswa jurusan teknik industri tersebut, Senin malam, 23 September lalu.

Menurut Dinno, saat itu ada perwakilan mahasiswa yang mengusulkan lokasi unjuk rasa bukan di depan gedung DPR, melainkan di Istana. Sebab, revisi Undang-Undang KPK sudah disahkan sehingga kewenangan membatalkannya berada di tangan Presiden Joko Widodo. Menurut Sekretaris Jenderal Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina, Salman Ibnu Fuad, keputusan untuk berdemonstrasi di depan Istana bergantung pada sikap Presiden. “Kalau tidak ada perubahan, bisa saja kami unjuk rasa di depan Istana,” ujarnya.

Mengusung nama Aliansi Perwakilan Mahasiswa Indonesia, mahasiswa dari 43 kampus bermufakat tidak ada agenda melengserkan Presiden Joko Widodo. Hari-hari itu, sejumlah buzzer atau pendengung di media sosial melontarkan tuduhan bahwa unjuk rasa bertujuan menggagalkan pelantikan Jokowi sebagai presiden untuk kedua kalinya. Para pendengung pun menuding gerakan mahasiswa disusupi kelompok garis keras.

Pengurus Kepresidenan Mahasiswa Trisakti, Edmund Seko, tak mempermasalahkan tudingan tersebut. Edmund mengatakan gerakan mahasiswa itu murni untuk mencegah pelemahan KPK dan pengesahan undang-undang bermasalah. Demonstrasi serupa sebelumnya digelar pada Kamis, 19 September 2019. Sejumlah mahasiswa juga mendatangi Komisi Hukum DPR saat pemilihan calon pemimpin KPK. “Kami gusar karena DPR memilih pimpinan KPK yang bermasalah.”

Menurut Edmund, Kepresidenan Trisakti melempar undangan terbuka kepada badan eksekutif mahasiswa seluruh Indonesia melalui akun Instagram, Line, dan pesan berantai WhatsApp, hingga akhirnya hadir perwakilan 42 kampus lain di Trisakti. Sebelum pertemuan itu, kata Edmund, polisi dan intelijen sempat menyatroni kampus. Tapi mahasiswa Trisakti mengusir mereka keluar.

Presiden Mahasiswa Trisakti Dinno Ardiansyah dan Sekretaris Jenderal Serikat Mahasiswa Paramadina Salman Ibnu Fuad mengatakan mahasiswa datang dengan biaya masing-masing. Memang ada pembagian tugas, seperti Trisakti membawa air mineral, sementara Universitas Indonesia menyiapkan mobil komando. Salman bercerita, sejumlah rekannya yang tak bisa datang pun ikut urunan untuk menyewa bus Kopaja.

SETELAH revisi Undang-Undang KPK disahkan, protes muncul di berbagai kota. Di Yogyakarta, aksi bermula dari sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang meriung di pojok kantin Departemen Filsafat, Jumat siang, 20 September lalu. Belasan mahasiswa dari berbagai jurusan itu resah terhadap revisi Undang-Undang KPK dan Rancangan KUHP yang direncanakan disahkan pada Selasa, 24 September 2019. Mereka kemudian bergerak mengundang kampus-kampus lain untuk berpartisipasi dalam unjuk rasa yang digelar pada Senin, 23 September lalu.

Malam harinya, mahasiswa dari berbagai kampus berkumpul di kawasan Klebengan, Sleman. Mereka sepakat menamai diri Aliansi Rakyat Bergerak. Anggota Divisi Acara Aliansi Rakyat Bergerak, Mohamad Hikari Ersada, mengatakan perwakilan mahasiswa memilih Jalan Gejayan sebagai lokasi demonstrasi. Pada 8 Mei 1998, unjuk rasa menuntut Soeharto mundur berakhir dengan bentrokan di Gejayan. Mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Moses Gatutkaca, tewas karena dipukuli. Jadilah acara itu bertajuk #GejayanMemanggil. “Memang ada faktor sejarah,” kata Hikari.

Aliansi menggelar beberapa kali rapat persiapan. Untuk menggalang dukungan dan dana, mereka menyebarkan undangan melalui Twitter, Instagram, dan Facebook. Hasilnya, mereka mendapatkan Rp 7 juta, yang digunakan untuk menyewa sound system dan mobil serta membuat spanduk.

Tak mau unjuk rasa disusupi kepentingan lain, Aliansi Rakyat Bergerak menyaring materi orasi supaya tidak keluar dari tuntutan aksi, yaitu pembatalan revisi undang-undang yang bermasalah. “Sejak awal, kami menekankan bahwa ini adalah aksi damai dan tak boleh ada kerusuhan,” ujar Hikari. Mereka pun bersepakat tidak boleh ada bendera selain Merah Putih. Supaya pedagang makanan dan minuman di sepanjang Gejayan tak dirugikan, disarankan juga agar mahasiswa membeli penganan dan air di sana.

Malam hingga pagi hari sebelum demonstrasi, sejumlah rektor, antara lain dari UGM, Sanata Dharma, Atma Jaya, Universitas Kristen Duta Wacana, dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, mengeluarkan surat edaran berisi larangan berunjuk rasa. Di Sanata Dharma, Rektor Johanes Eka Priyatma berdebat hampir dua jam dengan sekitar 30 mahasiswa. Johanes menyatakan tak mendukung aksi “Gejayan Memanggil”. Kepada Tempo, Johanes menyatakan aksi itu tak berguna karena revisi Undang-Undang KPK sudah disahkan. “Kalau tidak setuju, bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.

Buntutnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Sanata Dharma akhirnya menarik diri dari Aliansi Rakyat Bergerak. Presiden Mahasiswa Sanata Dharma Arya Nugraha mengeluarkan surat edaran berisi imbauan agar rekan-rekannya tak menghadiri “Gejayan Memanggil”. “Rektor tidak mendukung, otomatis organisasi di bawahnya harus mengikuti atasan,” kata Arya.

Di kalangan mahasiswa, sempat beredar kabar bahwa ada intervensi dari pemerintah untuk mencegah unjuk rasa membesar. Kamis, 26 September lalu, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengaku diinstruksikan Presiden Jokowi untuk meredam demonstrasi dan mencegah mahasiswa turun ke jalan. Nasir bahkan mengancam rektor kampus yang memfasilitasi mahasiswanya berunjuk rasa.

Johanes membantah melarang mahasiswanya berdemo karena ada instruksi dari Menteri Nasir. Dia menyatakan larangan itu murni berasal darinya. Rektor Universitas Islam Indonesia Fathul Wahid justru membebaskan mahasiswanya berunjuk rasa. “Demonstrasi bentuk cinta mahasiswa kepada bangsa. Mbok aspirasi mereka didengarkan,” ujarnya. Fathul menugasi tiga wakil rektor ikut mengawal mahasiswa UII yang berunjuk rasa.

Sejumlah dosen UGM juga mendukung aksi tersebut. Ketua Program Studi S-1 Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Abdul Gaffar Karim, membebaskan mahasiswanya kuliah atau berunjuk rasa. Dosen Hubungan Internasional, Randy Wirasta Nandyatama, meniadakan daftar hadir perkuliahan. Sejumlah dosen UGM juga ikut berjalan kaki dari kampus menuju Gejayan dan berorasi di sana. Ribuan orang mengikuti demonstrasi damai tersebut.

Anggota Divisi Acara Aliansi Rakyat Bergerak, Obed Kresna Widyapratistha, mengatakan sempat terjadi insiden kecil di belakang panggung. Ada peserta membawa spanduk bertulisan “Turunkan Jokowi”. Tim Aliansi Rakyat Bergerak melarang spanduk itu karena tak sesuai dengan kesepakatan.

 

 

SEKITAR 30 perwakilan mahasiswa di Jakarta memasuki gedung DPR, Senin sore, 23 September lalu, untuk berdialog dengan anggota Dewan. Mereka sempat dibawa ke lantai 17, ruang Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya. Sekretaris Jenderal Serikat Mahasiswa Paramadina Salman Ibnu Fuad mengatakan semua perwakilan mahasiswa menolak berdialog di ruangan tersebut.

“Ini bukan kosong-satu kosong-dua. Kami menolak gerakan kami dipolitisasi,” ujar Salman. Juru bicara Partai Gerindra, Andre Rosiade, yang mengaku ditugasi partainya menemui demonstran, juga tak mengetahui alasan mereka dibawa ke ruangan fraksi. Pertemuan pun dipindahkan ke ruang Badan Legislasi DPR. Di sana, tak tercapai kesepakatan.

Setelah pertemuan itu, unjuk rasa di luar gedung DPR sempat memanas. Sejumlah orang naik pagar di sisi kiri gedung DPR dan mengguncang-guncangnya hingga jebol. Para mahasiswa langsung membentuk pagar betis di hadapan polisi untuk mencegah rekan-rekan mereka tersulut. Mereka pun bernyanyi-nyanyi untuk mengingatkan jangan terprovokasi. “Kami punya satuan tugas keamanan untuk membentengi mahasiswa dari provokasi,” kata Presiden Mahasiswa Trisakti Dinno Ardiansyah.

Pada hari kedua unjuk rasa, mahasiswa datang dengan jumlah berlipat. Ketika pagar DPR mulai digoyang, mahasiswa kembali membentuk rantai manusia berdasarkan kampus masing-masing. “Border! Jaga border!” para koordinator lapangan berseru.

Tapi meriam air dan gas air mata menghujani mereka. Mahasiswa ramai-ramai mengungsikan mahasiswi ke belakang barisan. Pedihnya gas air mata dan dorongan polisi membuat mereka kocar-kacir. Tempo yang berada di antara pengunjuk rasa sejak sore hingga malam hari menyaksikan sebagian dari mereka berteriak supaya massa tidak berhamburan. “Jangan lari. Gandengan tangan saja,” ujar seorang pengunjuk rasa.

STEFANUS TEGUH PRAMONO, AHMAD FAIZ, DEVY ERNIS, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Pramono

Stefanus Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus