Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETINGGI delapan partai itu bertemu di Hotel Mulia, Jakarta. Dibuka pada Selasa malam pekan lalu, rapat itu baru berakhir keesokan paginya. Politikus yang hadir di situ berasal dari Partai Amanat Nasional, Partai Bintang Reformasi, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Damai Sejahtera, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, dan Partai Bintang Bulan.
Tekad mereka cuma satu: menghadang koalisi Medan. Mereka kompak, ”Agar mantap menghadapi koalisi PDI Perjuangan dan Partai Golkar,” kata Ade Daud Nasution dari Partai Bintang Reformasi.
Dua kekuatan ini bakal bertarung di DPR untuk membahas Rancangan Undang-Undang Paket Politik. Aturan main Pemilihan Umum 2009 itu terdiri dari Undang-Undang Pemilihan Legislatif, Pemilihan Presiden, Susunan Kedudukan Anggota Dewan, dan tentang Undang-Undang Partai Politik. Pemerintah sudah menyetor rancangan itu ke Senayan pada akhir Mei lalu.
Kamis pekan lalu, panitia khusus yang membahas rancangan ini sudah dibentuk. Tim yang membahas pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dipimpin Ferry Mursyidan Baldan (Golkar). Panitia yang menggodok Undang-Undang Partai Politik dipimpin Ganjar Pranowo (PDIP).
Delapan partai tadi cemas, Golkar dan PDIP bakal ”main kayu”. Dua pekan lalu, Beringin dan Banteng bertemu di Medan. Aliansi itu dianggap pemanasan menuju Pemilu 2009. Salah satunya dengan mengunci partai kecil agar sulit ikut Pemilu 2009 dan tak gampang mengusung calon presiden.
Soal yang terakhir, misalnya. Golkar ngotot menyatakan seorang calon presiden harus diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memperoleh minimal 20 persen kursi DPR—di atas syarat minimal pemilihan umum presiden pada 2004 yang cuma 15 persen. ”Itu sangat ideal dalam politik kita,” kata Ferry Mursyidan Baldan.
PDIP lebih ekstrem: mereka ingin angka dikerek lebih tinggi. ”Kalau syaratnya 30 persen, hanya ada tiga calon Presiden,” kata Yasona Laoly, politikus PDIP dan Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden. Katanya, jika syarat minimal cuma 15 persen, calon presiden akan berjibun. Pemilihan bisa dua putaran. Uang yang dikeluarkan sangat besar.
Mengapa Banteng hakulyakin bisa menembus syarat itu, padahal setelah Pemilu 2004 mereka cuma menduduki 19,8 persen kursi DPR? Sumber Tempo di Golkar menuturkan bilangan 30 persen itu akan mudah ditembus, karena partai Banteng bakal bersekutu dengan Golkar (lihat tabel).
Partai alit terang saja megap-megap. Partai Demokrat, misalnya, mendesak agar syarat minimal calon presiden itu tidak diubah, yakni 15 persen. Dengan begitu, ”Banyak partai yang berpeluang mengusung calon presiden,” kata Syarif Hasan, Ketua Fraksi Partai Demokrat.
Partai Amanat Nasional malah menuntut jumlah itu dipangkas menjadi 10 persen. Jika syarat minimal itu diturunkan, ”Akan banyak pilihan calon presiden,” kata politikus PAN, Andi Yuliani Paris. Sejumlah partai kecil mendukung usul penurunan syarat minimal itu.
Sumber keributan lain adalah soal electoral threshold, batas minimal yang harus diperoleh partai politik agar bisa ikut dalam pemilihan umum berikutnya. Dalam rancangan baru itu disebutkan batas elektoral minimal 5 persen. Angka itu terlampau tinggi bila dibandingkan dengan Pemilu 2004 (3 persen) dan Pemilu 1999 (2 persen).
Angka 5 persen itu dianggap sebagai pedang pembunuh partai-partai kecil. Dengan syarat 3 persen saja, sudah banyak partai politik yang gulung tikar. Dari 24 partai politik yang ikut pemilu saat itu, cuma tujuh yang lolos electoral threshold. Sebagian besar masuk kotak.
Itu sebabnya sejumlah petinggi partai menuding rancangan baru itu keterlaluan. ”Kejam sekali, seperti zaman Orde Baru saja,” kata Ryaas Rasyid dari Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan. Partai Ryaas dalam pemilu lalu hanya memperoleh 1,16 persen suara. Para petinggi partai kecil ngotot agar jumlah minimal itu diturunkan kembali ke 2 persen seperti Pemilu 1999.
Partai-partai desimal kini repot merancang merger agar bisa melaju ke Pemilu 2009. ”Supaya memenuhi electoral threshold, beberapa partai sudah melakukan pendekatan,” kata Ade Daud Nasution. Partai Bintang Reformasi, menurut Ade, berencana bergabung dengan Partai Pelopor. Gabungan kedua partai akan mendapat 3,23 persen suara—cukup untuk lolos Pemilu 2009 jika ambang elektoral tak dikerek hingga 5 persen.
Di atas kertas koalisi partai kecil sebenarnya lebih unggul dibanding PDIP-Golkar. Coba lihat komposisi suara di Senayan ini. Golkar dan PDI Perjuangan memiliki 237 suara (43,5 persen). Sisanya dikuasai partai desimal. Dengan komposisi seperti ini, Ade Daud Nasution mengingatkan dua partai jumbo itu jangan bersukaria dulu. Sebab, ”Kalau delapan partai itu kompak, dua partai besar itu akan kalah telak,” kata Ade. Persoalannya, bisakah para kurcaci itu kompak. Itulah yang kini sedang mereka perjuangkan melalui pertemuan Hotel Mulia.
Riuh di Senayan, cemas di Komisi Pemilihan Umum. Sejumlah anggota komisi itu bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis pekan lalu. Mereka mendesak agar para anggota Dewan di Senayan segera membahas rancangan sejumlah undang-undang, karena Pemilu 2009 sudah tak lama lagi. ”Jika Rancangan Undang-Undang Paket Politik tidak selesai akhir tahun ini, situasinya bisa lebih buruk dari Pemilu 2004,” kata anggota KPU Valina Singka.
Wakil Presiden Jusuf Kalla hakulyakin bahwa pembahasan rancangan itu akan rampung segera. Katanya, ”Ini kan cuma beberapa poin yang diubah. Akhir tahun ini akan selesai.”
Wenseslaus Manggut, Erwin Dariyanto, dan Kurniasih Budi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo