Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKBAR Tandjung kembali masuk lapangan. Tapi bukan di Golkar—organisasi yang pernah membesarkan namanya sebelum ia tersingkir dari kursi ketua umum partai itu, Desember 2004. Wahana baru itu bernama Barisan Indonesia, disingkat Barindo. Di organisasi massa ini Akbar menjadi ketua dewan pembina. Siapa ketua umumnya? Sejauh ini belum ada. Posisi ketua umum baru ditentukan setelah organisasi itu diumumkan secara resmi pada Oktober nanti.
Dalam soft launching Barindo di Tugu Proklamasi, Jakarta, 20 Mei lalu, Akbar berpidato. Pengurus Barindo lainnya takzim mendengarkan. ”Hampir di semua cabang Barindo di daerah, Bang Akbar dijadikan dewan pembina,” kata Ali Mahsun, Wakil Ketua Bidang Politik Barindo Pusat.
Tampilnya Akbar Tandjung menimbulkan dugaan bakal ada pergeseran peta bumi politik. ”Itu tanda bahwa Presiden Yudhoyono menjanjikan koalisi baru,” kata Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP di DPR. Hubungan Yudhoyono-Kalla memang kerap naik-turun. Puncaknya adalah ketika dua pekan lalu Golkar menggelar silaturahmi dengan PDIP di Medan. Pertemuan itu berbalas pantun dengan digelarnya Barindo oleh para pendukung Yudhoyono. ”(Barindo) ini membuat petinggi Partai Golkar kecewa,” kata Tjahjo, politikus Banteng yang pernah menjadi anggota Partai Golkar.
Barindo berawal dari hiruk-pikuk pemilihan presiden 2004. Banyak pendukung SBY yang kemudian mendirikan organisasi ”relawan” menyokong sang kandidat. Sebutlah Jaringan Relawan Cinta Rakyat (Citra) atau Tim Yudhoyono Pilihan Terbaik (Yupiter). Kedua organisasi ini tersebar di Jawa, Sumatera, Bali, dan beberapa provinsi lain.
Para relawan umumnya ”jalan sendiri” alias berada di luar tim sukses resmi. Partai pendukung SBY—Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia—resmi membentuk tim kampanye nasional pasangan calon presiden dan wakil presiden. Relawan tak resmi ketika itu banyak berhubungan dengan Tim Cikeas, yang kerap disebut staf khusus Yudhoyono, yakni tim sukses pribadi Yudhoyono. Mereka antara lain Letnan Jenderal (Purn.) Muhamad Yasin, Sudi Silalahi, dan Endu Marsono.
Yahya Ombara, mantan anggota Tim Kampanye Nasional Yudhoyono, menyebut Barindo adalah jaringan relawan bentukan Yasin. Yang terakhir ini adalah kawan satu angkatan dengan SBY di Akabri 1973 dan dikenal sebagai ”tangan kanan” Yudhoyono. Dalam pemilihan presiden pada 2004, Yasin adalah tim sukses tak resmi Yudhoyono karena ketika itu masih aktif sebagai Deputi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Kini Yasin adalah Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional.
Sebenarnya, menjelang pemilihan presiden tahap kedua, wadah untuk menampung relawan Yudhoyono hampir dideklarasikan. Namanya Barisan Relawan Indonesia. Tapi gagal karena, ”Masih banyak halangan,” kata Endu Marsono, Sekretaris Jenderal Barindo. Setelah Yudhoyono terpilih menjadi presiden, ide mengkonsolidasi jaringan ini muncul lagi. ”Usul itu justru datang dari teman-teman di daerah,” kata Endu.
Eks Barisan Relawan Indonesia itu kemudian mendirikan Barisan Indonesia. ”Saya berdiskusi dengan Pak Yasin ketika akan membentuk Barindo,” kata Endu. Dan, ”Beliau mendukung.” Endu kemudian ditunjuk sebagai ketua panitia nasional deklarasi Barindo.
Endu dan Yasin dikenal punya hubungan istimewa. Endu, yang pernah ditahan karena kerusuhan anti-Cina di Solo pada 1980-an, dikenal punya jaringan luas. Selepas dari penjara, Endu bekerja sama dengan Adi Sasono. Bahkan ketika Adi Sasono menjadi Menteri Koperasi, lembaga swadaya masyarakat milik Endu terlibat dalam program jaring pengaman sosial di berbagai daerah.
Lewat hubungan dengan Adi Sasono pula, alumni Universitas Negeri Sebelas Maret ini memiliki relasi kuat dengan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam. Secara resmi Endu, 52 tahun, adalah Wakil Ketua Networking dan Penggalangan Massa Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat.
Endu pernah dicalonkan menjadi anggota legislatif PDI Perjuangan pada 2004. Ia memang pernah menjadi anggota Badan Pendidikan dan Pengembangan PDIP. Tapi M. Yasin meliriknya: Endu ditarik ke Tim Cikeas. Kini mereka membangun Barindo. Sayang, Yasin enggan dimintai konfirmasi. Tapi, melalui Endu, ia berkata, di Barindo, ”Saya cuma undangan.”
Namun yang tak bisa dibantah adalah Yasin selalu hadir dalam deklarasi pembentukan Barindo di daerah-daerah. ”Beliau kami undang sebagai pembicara,” kata Endu. Total sudah 24 pengurus Barindo di tingkat provinsi terbentuk. Terakhir, Mei lalu, organisasi itu dideklarasikan di Kepulauan Riau.
Lalu bagaimana ihwal keterlibatan Akbar? Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam ini mulai terlibat pada pembentukan Barindo Bali, Oktober 2006. Semula, kata Ali Mahsun, Akbar pun hanya sebatas undangan. ”Tapi kita melihat, setiap Bang Akbar ke daerah, beliau selalu menjadi pusat perhatian. Semua organisasi dan kekuatan politik bisa berkumpul,” kata Ali Mahsun.
Adalah Ali Mahsun, 38 tahun, yang mengajak Akbar masuk Barindo. Ali memang pernah menjadi anggota HMI. Dimulai dari diskusi-diskusi kecil—termasuk di rumah Akbar Tandjung di Kebayoran, Jakarta Selatan; dan di Akbar Tanjung Institute, kantor di bilangan Kuningan, Jakarta—lalu menggumpal menjadi omong-omong serius. ”Kesimpulannya, ternyata ada kecocokan antara Barindo dan Bang Akbar,” kata Ali.
Mendapat kail besar, segala ikan pun turut. Masuknya Akbar ke Barindo diikuti oleh anggota Golkar lain seperti mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga Mahadi Sinambela dan mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Sri Redjeki Soemaryoto. Mahadi dan Sri di Golkar dikenal sebagai loyalis Akbar Tandjung.
Akbar mengakui bergabung dengan Barindo karena punya kesamaan tujuan, yakni ”Memperkuat masyarakat agar mempertahankan nilai-nilai dasar perjuangan bangsa.” Namun ia menolak jika Barindo akan dijadikan partai. ”Saya tetap di Golkar, tidak pernah ada keinginan untuk keluar,” katanya.
Akbar mengakui keterlibatannya di Barindo bisa ditafsirkan ia tengah ”merapat” ke Yudhoyono. ”Memang di sana banyak orang Yudhoyono,” katanya. Menurut Akbar, ia belum pernah bertemu Presiden dalam kapasitas sebagai pengurus Barindo. Juni lalu, sebagai panitia peringatan 100 tahun wafatnya Sisingamangara XII, dia bertemu Presiden. Meski begitu, dengan semu di pipi, Akbar membiarkan pembicaraan yang menyandingkannya dengan SBY. ”Wacananya kan sipil-militer. Jawa-luar Jawa. Jadi, silakan saja,” katanya.
Jikapun ada kesempatan maju sebagai calon presiden, Akbar mengaku memilih melalui konvensi Golkar. Sebagai anggota Golkar, ia mengaku punya kemampuan. ”Saya pernah jadi menteri. Saya pernah melalui masa-masa krisis Partai Golkar dan mengantarkan partai itu menjadi yang terbesar,” katanya. Tapi, tanpa jabatan apa pun di Golkar, Akbar sadar ia tak cukup leluasa bergerak. Itulah sebabnya pintu Barindo tak ditutupnya. Katanya kalem, ”Saya available....”
Arif A.K., Wenseslaus Manggut, Budi Setyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo