Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bekas kawat staples karatan dan noda kecokelatan menempel di ujung sehelai surat yang dikeluarkan Camat Imogiri, Kabupaten Bantul, Hardi Purnomo. Berkepala "Kecamatan Imogiri", surat bertanggal 26 Juli 1996 tersebut ditujukan kepada Bupati Bantul Kolonel Sri Roso Sudarmo. Isinya penjelasan panjang-lebar sekaligus bantahan atas berita yang ditulis wartawan harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, tentang dugaan penyunatan dana Inpres Desa Tertinggal (IDT) di wilayahnya.
Sebagai atasan, tanggapan Sri Roso atas penjelasan bawahannya itu juga sangat gamblang. Dengan tulisan tangan yang sebagian menimpa isi surat, ia menuliskan "memo"-nya: Bangdes/Camat. Dilacak pemberitaan yang salah ini. Siapkan tuntutan ke redaksi atau sumber berita. Yang rapi. Sebelum 17 Ag sudah selesai. "Ag" di situ menunjuk bulan Agustus.
"TPF mendapat memo itu setelah Sri Roso lengser," kata Asril Sutan Marajo, anggota tim pencari fakta (TPF) kasus Udin—panggilan sehari-hari Fuad Muhammad Syafruddin. Tim ini dibentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta untuk mencari fakta atas kematian Udin, yang ditemukan tergeletak dan terluka parah di depan rumahnya, di kawasan Jalan Parangtritis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 13 Agustus 1996. Diduga kuat, wartawan berusia 32 tahun itu dianiaya karena berita-berita yang ditulisnya, yakni soal korupsi di Bantul.
Sri Roso, yang juga bergelar KRT Yudaningrat, menjadi Bupati Bantul sejak 1991 hingga 1998. Ia turun sebelum masa jabatannya habis. Posisinya kemudian diduduki Kismosukirdo, yang bertindak sebagai penjabat bupati hingga 1999.
Berbeda dengan Sri Roso, Kismosukirdo terbuka pada tim pencari fakta. Karena itulah, ketika tim yang antara lain beranggota Asril (wartawan Suara Merdeka), Putut Wiryawan (Bernas), dan Nurhadi (Kedaulatan Rakyat), meminta izin mencari dokumen yang mungkin berkaitan dengan kasus Udin di ruang kerja bupati, Kismosukirdo mempersilakan. Maka ketiga wartawan itu pun "mengaduk-aduk" ruang Kismosukirdo.
Di situlah mereka menemukan surat Camat Imogiri dengan coretan memo Sri Roso tertanggal 27 Juli 1996. "Ini mesti ada kaitannya. Bagaimana tidak, Udin dianiaya 13 Agustus 1996, lalu meninggal. Kalau memo ditandatangani bupati, bupati kolonel Orde Baru, siapa yang tidak patuh?" kata Asril.
Judul berita yang membuat keluarnya memo itu memang panas: "Di Desa Karangtengah, Imogiri, Bantul: Dana IDT Hanya Diberikan Separuh". Berita hasil investigasi Udin tersebut terpampang di Bernas edisi 26 Juli 1996. Dua hari kemudian, tanggapan Sri Roso mengenai pemotongan dana muncul. "Kalau Ada yang Sunat Dana IDT, Saya Tempeleng", demikian judul pada edisi Bernas 29 Juli.
Udin memang gemar menggali berita yang terhitung "nyerempet-nyerempet bahaya". Ia rajin ke sana-kemari mengendus, memburu, dan memberitakan kasus yang berbau korupsi dan penyimpangan, termasuk dalam bidang politik, yang bisa membuat "terbakar" kuping pejabat Bantul. Sejumlah berita itu, misalnya, "Tugas Utama Kades, Raih Suara 200 Persen untuk Golkar" (Bernas, 5 Juli 1996); "Soal 'Petuah Politik' Bupati Bantul: Bupati Bantul Dinilai Congkak" (6 Juli 1996); atau "Petuah Politik, Badai yang Datang di Bantul" (9 Juli 1996).
Salah satu berita yang menggegerkan warga Bantul khususnya adalah saat ia "menaikkan berita" tentang Sri Roso yang berjanji menyumbang Yayasan Dharmais milik Presiden Soeharto Rp 1 miliar. Janji itu diungkapkan Sri Roso dalam selembar kertas bermeterai tertanggal 2 April 1996.
Dalam dokumen itu, Sri menyatakan pembayaran akan dilakukan setelah ia menjabat Bupati Bantul periode kedua, 1996-2001. Surat ini diduga sebagai janji "balas budi" jika Sri Roso didukung Cendana—sebutan kediaman Presiden Soeharto—menjadi bupati lagi. Dalam surat itu juga diterangkan pembayaran akan dilaksanakan Raden Noto Soewito, yang notabene adik Presiden Soeharto, yang memang tinggal di Bantul. Surat diteken Sri Roso, Noto Soewito, dan dua saksi.
Kepada Tempo yang menemuinya pada Agustus lalu, Marsiyem, istri Udin, bercerita tentang surat itu. Saat itu, kata dia, suaminya diajak temannya, seorang anggota staf pemerintahan Bantul, ke rumah dinas bupati. Saat itu ada "upacara" penandatanganan kesanggupan Sri Roso membantu Yayasan Dharmais. Noto Soewito juga hadir.
Sang teman berpesan bahwa Udin mengikuti acara itu dengan sembunyi-sembunyi. Pulang dari acara, Udin mengantongi kopi surat pernyataan Sri Roso. "Ini ada yang ngasih. Pokoknya banyak yang tersembunyi di sana," Marsiyem menirukan ucapan mendiang suaminya setelah pulang dari rumah Sri Roso. Menurut Udin, agar tak dikenali, ia harus nyusup-nyusup dalam acara di rumah dinas bupati itu.
Sepak terjang Udin mengungkap ketidakberesan di Bantul inilah yang diyakini penyebab ia dianiaya. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga yakin latar belakang penganiayaan Udin, seperti yang mereka tuangkan dalam buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah, karena tulisannya di Bernas. Kesimpulan itu didasarkan antara lain pada informasi reserse di Kepolisian Wilayah DIY.
Saat itu, menurut buku tersebut, di whiteboard ruang Kepala Bagian Reserse Polwil tertulis dengan spidol lima berita yang diduga menjadi latar belakang penganiayaan Udin, yakni soal IDT, petuah politik, dana satu miliar, pergantian bupati, dan tidak beresnya pengurusan sertifikat tanah.
Tapi belakangan, yang sangat mengejutkan, bukan soal berita ini yang justru muncul sebagai "latar belakang" penganiayaan itu, melainkan asmara. Udin dinyatakan berselingkuh dengan istri Dwi Sumaji (Iwik)—hal yang membuat pria ini berang. Dwi Sumaji kemudian diadili di Pengadilan Negeri Bantul. Di depan sidang, ia membuat kesaksian yang membuat orang terperangah. Ia mengaku tiba-tiba saja ditangkap, diajak ke hotel, dicekoki minuman, diancam, diiming-imingi, yang intinya bertujuan satu: mengakui dialah otak penganiayaan Udin. Pada 27 November, pengadilan memvonis bebas Iwik. Hakim menyatakan tak ada bukti Iwik otak pembunuhan berdarah itu.
Media massa bertubi-tubi memberitakan Sri Roso jelas tak bisa dipisahkan dari kasus ini. Kepada wartawan ketika itu Sri Roso menyatakan kematian seorang wartawan, seperti Udin, tak mesti berkaitan dengan berita yang ditulisnya. "Wartawan tetap manusia biasa yang mempunyai persoalan di luar profesinya," katanya. Setelah itu, ia tak lagi mau ditemui siapa pun wartawan yang akan bertanya perihal Udin. Setelah lengser dari kursi bupati, ia menyepi di rumahnya di kawasan pinggiran Bantul.
Delapan belas tahun kemudian, pada Agustus 2014, ia tak bisa mengelak ketika Tempo memburunya dan "memergokinya" tengah menyapu halaman rumahnya di kawasan Purwosari, Sleman. "Saya sudah mendapat perlakuan tak imbang selama ini dari media," katanya.
Soal kasus Udin dan posisinya, ia mengibaratkan ada gelas di suatu tempat dan ada air yang tumpah di situ. Orang, menurut dia, selalu mengira air tersebut berasal dari gelas itu. Secara teori, kata Sri Roso, mungkin betul, tapi kenyataannya tidak selalu begitu. Air itu, menurut dia, mungkin saja tumpah dari gelas lain, yang tidak berada di situ. "Silakan terjemahkan," ujarnya.
Sri Roso menyatakan ia juga sempat diperiksa polisi. Perihal surat pernyataan kesanggupan membayar Rp 1 miliar, ia menyebut sebagai pemerasan. Ia juga mengaku, kendati akhirnya memang menjadi bupati lagi, ia tak pernah membayar Rp 1 miliar seperti yang dijanjikannya. Benar? Tak jelas juga. Sebab, "tokoh" penting dalam soal janji Sri Roso ini, Noto Soewito, kini sudah meninggal.
Ihwal berita-berita yang ditulis Udin, Sri Roso menyatakan merasa keberatan. Ia tidak menyebutkan berita mana yang membuatnya tak enak hati itu. Menurut Sri Roso, terhadap berita tersebut, langkah yang ditempuhnya menuntut ada koreksi. Langkah itu pula, kata dia, yang ditulisnya dalam memo tulisan tangan menanggapi surat dari Camat Imogiri mengenai IDT.
David T. Hill, pengamat media massa dari Australia, dalam pengantarnya untuk buku Udin Darah Wartawan (1997), menyatakan berita dan kritik yang ditulis Udin yang dimuat di korannya memang sangat berani. "Dia mengkritik penyelewengan, dia memancing harimau yang bangkit memakannya," kata Hill.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo