Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN itu menjerit histeris di ruang sidang Pengadilan Negeri Bantul, Yogyakarta. Lolongannya terdengar hingga ke luar ruangan. "Dia bukan yang melakukannya!" ia berteriak. Puluhan pengunjung, yang hari itu, Senin, 2 September 1997, memadati ruang sidang, tercekat. Perempuan itu tak hanya memberi kesaksian. Dia juga seperti menumpahkan kebusukan yang ia ketahui berbulan-bulan sebelumnya.
"Dia" yang disebut Marsiyem, perempuan itu, adalah Dwi Sumaji alias Iwik. Pria yang sehari-hari yang bekerja sebagai sopir ini menjadi pesakitan karena dituduh sebagai pembunuh suami Marsiyem, Fuad Muhammad Syafruddin. Wartawan harian Bernas yang biasa dipanggil Udin ini digebuki di depan rumahnya di Dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis, Bantul, Selasa malam, 13 Agustus 1996. Saat ditemukan, kepalanya terluka parah dan ia tak sadarkan diri. Empat hari koma, bapak dua anak itu meninggal.
Dipercaya bahwa Udin dihabisi karena tulisannya menyerang Bupati Bantul Kolonel Sri Roso Sudarmo dan membongkar kasus korupsi di kabupaten itu, ujung penyelidikan polisi memunculkan cerita konyol. Pembunuhan Udin berlatar belakang asmara. Ia berselingkuh dengan istri Iwik.
Di pengadilan, Iwik membuka perlakuan yang ia alami. Ia menyebut nama polisi yang menjerumuskannya: Edy Wuryanto, Kepala Unit Reserse Kepolisian Resor Bantul. Iwik mengaku ditangkap, dibawa ke sebuah hotel di Pantai Parangtritis, dan dicekoki minuman oleh Edy. Lalu, dengan berbagai iming-iming sekaligus tekanan, ia diperintahkan mengaku pembunuh Udin. Menurut Iwik, skenario ini dibuat untuk melindungi Bupati Sri Roso.
Pengakuan Iwik menggegerkan publik sekaligus membongkar rekayasa polisi: Iwik dijadikan kambing hitam. Pada 27 November 1997, pengadilan memvonis bebas Iwik.
Hingga detik ini, siapa pembunuh Udin masih menjadi misteri. Sejumlah orang yang terlibat kasus tersebut sudah berpindah tempat tinggal, pensiun, atau meninggal. Marsiyem juga telah pindah dari rumah kontrakannya. Perempuan tersebut kini berdiam kawasan Trirenggo, Bantul, mengelola usaha binatu bersama anak-anaknya.
ADA sejumlah alasan kenapa kami menulis laporan panjang tentang Udin. Yang paling utama: ikhtiar melawan lupa. Perkara pembunuhan keji tersebut tak boleh didiamkan. Kasus pembunuhan, kendati berlangsung 18 tahun silam, tak mengenal kedaluwarsa.
Selain itu, dua organisasi wartawan dunia—antara lain International Federation of Journalists dan Committee to Protect Journalists—mencanangkan November ini sebagai "bulan kampanye" menuntut pengungkapan kasus pembunuhan terhadap wartawan di seluruh dunia. Kasus Udin salah satu yang disorot.
Untuk menulis laporan khusus ini, kami menyusuri kembali pembunuhan dan peradilan kasus itu. Mengejar narasumber, kami menerjunkan Jajang Jamaludin, wartawan yang juga pemimpin proyek laporan ini. Di Yogyakarta, Jajang dibantu sejumlah reporter biro Yogya, yang dikomandani kepala biro kala itu: Sunudyantoro.
Sejumlah sumber kami temui: Iwik, Marsiyem, jaksa pengusut kasus Udin, hingga sejumlah pegiat "dunia hitam" Yogya yang selama ini—diam-diam—memiliki informasi tentang kasus tersebut. Dari keluarga Edy Wuryanto yang kami datangi rumahnya di kawasan Kulon Progo, kami mendapat kontak Edy yang kini sudah bertugas di Badan Intelijen dan Keamanan Kepolisian RI.
Sri Roso, sumber sangat penting yang selama ini diduga erat kaitannya dengan kematian Udin, juga kami wawancarai. Jajang dan Anang Zakaria, reporter Tempo yang mengejar Sri berhari-hari, "menemui" bekas bupati itu suatu petang ketika tengah menyirami halaman rumah. Inilah untuk pertama kalinya, sejak kasus itu ramai menjadi sorotan publik 18 tahun lalu, Sri Roso, kini 67 tahun, bersedia diwawancarai media.
Setumpuk keganjilan pengusutan kasus Udin kami ungkap. Dari tim pencari fakta, kami menemukan sesuatu yang penting: memo Sri Roso kepada bawahannya untuk "menyelesaikan" Udin. Memo ini ditemukan setelah Sri Roso lengser dari jabatannya sebagai bupati. Semestinya catatan itu bisa dijadikan bukti baru bagi aparat untuk mengungkap pelaku dan dalang pembunuhan Udin.
Pembaca, melupakan kejahatan adalah kejahatan itu sendiri. Melalui laporan ini, ikhtiar melawan lupa itu kami tempuh.
Tim Edisi Khusus Fuad Muhammad Syafruddin Penanggung jawab: L.R. Baskoro Pemimpin proyek: Jajang Jamaludin, Sunudyantoro, Dwi Wiyana Penyunting: Amarzan Loebis, Hermien Y. Kleden, L.R. Baskoro, Purwanto Setiadi, Tulus Wijanarko, Budi Setyarso, Bina Bektiati Penulis: L.R. Baskoro, Jajang Jamaludin, Sunudyantoro, Dwi Wiyana, Purwani Diyah Prabandari, Muhammad Nafi, Abdul Manan Penyumbang bahan: Jajang Jamaludin, Sunudyantoro, Muhammad Nafi, L.N. Idayanie, Pito Agustin Rudiana, Shinta Maharani, Anang Zakaria, Addi Mawahibun Idhom, Muhammad Syaifullah (Yogyakarta) Periset foto: Nita Dian (koordinator) , Jati Mahatmaji, Ratih P.N., Ijar Karim Desain: Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Gatot Pandego, Kendra H. Paramita, Rizal Zulfadly, Tri Watno Widodo, Yudha A.F. Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo