Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terbitlah Gelap <font color=#FF9900>Sepanjang Tahun</font>

Krisis listrik terjadi tiga kali dalam setahun ini. Bukan yang terakhir.

3 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enny tak mengira giliran pemadaman akhirnya tiba juga di rumahnya. Selama sepekan setelah PLN mengumumkan rencana pemadaman bergilir, listrik di rumahnya di kawasan Slipi, Jakarta Barat, berjalan seperti biasa. Tapi, Selasa lalu, listrik mati justru ketika Enny tengah menikmati tayangan favoritnya di sebuah stasiun televisi swasta. Ia juga tak bisa tidur karena kegerahan. "Matinya pun lama, hampir tujuh jam," katanya.

Para pengusaha juga mencak-mencak. Juanda Usman, Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia Kabupaten Tangerang, misalnya. Dua pekan lalu, selama tiga hari, Tangerang terkena giliran pemadaman. Yang membuat ia geram bukan main, tak semua pabrik diberi tahu. "Di Kabupaten Tangerang ada 3.000-an perusahaan dan tak semua punya genset," katanya. Gara-gara itu, diperkirakan belasan miliar rupiah melayang dari Tangerang.

Perusahaan listrik milik negara itu dua pekan lalu memang sudah menyiarkan kabar tak sedap. Pasokan listrik dalam sistem Jawa-Bali tak mampu memenuhi kebutuhan pelanggan. Itu sebabnya, PLN harus menggilir pasokan listrik untuk konsumen. Seperti yang lalu-lalu, penyebabnya hampir sama. Cuaca yang buruk mengakibatkan pengangkutan batu bara terganggu, sehingga sejumlah pembangkit listrik tenaga uap kekurangan bahan bakar batu bara. Untuk mengirit batu bara, PLN menurunkan kapasitas produksi.

Pembangkit listrik Tanjung Jati B, misalnya, hanya mengoperasikan satu dari dua unit pembangkitnya. Itu pun tak bisa digenjot habis. Dari kapasitas satu unit 660 megawatt, Tanjung Jati B hanya memasok 250 megawatt. Begitu pula dengan pembangkit listrik tenaga uap Cilacap, yang juga menggunakan batu bara, satu unit terpaksa dimatikan dan satu unit lagi jalan hanya separuh dari kapasitasnya. Pembangkit tenaga uap Paiton juga tiarap.

Puncaknya Rabu malam dua pekan lalu. Saat itu, beban puncak menembus angka tertinggi 15.300 megawatt, sebaliknya pasokan listrik dari pembangkit yang ada di Jawa-Bali hanya 14.300 megawatt, sehingga ada defisit 1.000 megawatt. Defisit sebesar itu cukup untuk menerangi seluruh Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam kondisi normal, sistem kelistrikan Jawa-Bali bisa memasok setrum hingga 20.500 megawatt.

Suplai batu bara memang tersendat dalam beberapa pekan terakhir ini. General Manager PT PLN Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali, Muljo Adji, mengatakan bahwa sebenarnya stock yard (tempat penimbunan) batu bara di pembangkit seperti Tanjung Jati B cukup untuk satu bulan. Namun, karena cuaca selama Desember dan Januari terus memburuk, kiriman batu bara pun tersendat. Akibatnya, stok saat itu tinggal untuk dua minggu.

Awal Februari cuaca mulai membaik dan stok batu bara Tanjung Jati B pun bisa ditambah menjadi 130 ribu ton. Tapi itu pun tak banyak membantu karena satu unit pembangkit Tanjung Jati B yang berkekuatan 660 megawatt membutuhkan 390 ribu ton per bulan. Sisa batu bara diharapkan bisa diangkut pada minggu-minggu berikut. Tapi minggu ketiga Februari cuaca kembali sangat buruk. "Batu bara tak bisa diangkut lagi," kata Muljo.

Muljo menambahkan, masalah pasokan listrik makin parah karena pada saat bersamaan ada larangan berlayar. Padahal, kapal Pertamina sudah siap mengangkut bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangkit listrik tenaga gas Muara Tawar dan pembangkit listrik tenaga gas uap Muara Karang. Akibatnya, kapasitas kedua pembangkit ini juga berkurang. Itu sebabnya, meskipun konsumen sudah menghemat listrik dan mengurangi pemakaian sampai 300 megawatt, suplai tetap terganggu "Kalau PLN tidak ngotot melakukan pemadaman, Jawa-Bali bisa gelap total," ujar Muljo.

Ini benar-benar warisan buruk yang bakal ditinggalkan para petinggi PLN. Kamis pekan ini, masa jabatan Direktur Utama PLN Eddie Widiono Suwondho dan timnya berakhir. Pemerintah kini tengah mengadakan fit and proper test untuk mencari pengganti Eddie yang sudah dua kali menjabat. Tapi, sebelum Eddie menyelesaikan jabatannya, krisis listrik sudah memakan korban. Gara-gara Tanjung Jati B tak bisa beroperasi akhir tahun lalu, pemerintah mencopot Direktur Pembangkit dan Energi Primer Ali Herman Ibrahim.

Dalam setahun terakhir, batu bara selalu bikin ulah. Selain cuaca buruk, pemasok batu bara juga banyak yang cedera janji (baca Kerikil itu Bernama Batu Bara). Selain karena harga di pasar internasional lebih baik, manajemen PLN juga kerap melambat-lambatkan pembayaran. Akibatnya, para pemasok memilih para pemburu batu bara dari luar negeri. Pada saat yang sama, Cina dan India memang getol membeli batu bara Indonesia untuk pembangkitnya.

Padahal, pembangkit batu bara kini menjadi andalan PLN untuk memasok listrik, terutama di Jawa-Bali. Paling tidak ada empat lokasi yang menjadi pusat pemasok listrik, yakni Suralaya (3.400 megawatt), Paiton (3.260 megawatt), serta Tanjung Jati dan Cilacap. Keduanya masing-masing berkapasitas 1.320 megawatt. Empat pembangkit itu paling tidak memasok hampir separuh kebutuhan Jawa dan Bali. Karena itu, begitu pembangkit-pembangkit itu kekurangan batu bara, sistem kelistrikan Jawa-Bali kolaps.

Batu bara jadi pilihan karena murah dan juga tersedia melimpah di Indonesia. Harga listrik per killowatt jam (kWh) pembangkit yang menggunakan batu bara hanya seperlima dari harga pembangkit berbahan bakar minyak. Harga satuan listrik pembangkit batu bara hanya Rp 400. Selain itu, Indonesia juga salah satu pemasok batu bara terbesar di dunia. Dari produksi tahun lalu sekitar 206 juta ton, 156 juta ton dijual ke pasar internasional.

Harga internasional memang sangat tinggi. Tahun ini harga batu bara di pasar spot sudah mencapai US$ 120 per metrikton, naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan awal tahun lalu yang baru di kisaran US$ 50 per metrikton. Tidak aneh jika banyak pemasok batu bara lebih suka melemparnya ke pasar internasional.

Tender pengadaan batu bara yang dilaksanakan PLN pada Februari lalu juga gagal mendapatkan perhatian dari para pemasok. Ada 20 lokasi yang belum bisa memperoleh kontrak pengadaan batu bara jangka panjang. Sejauh ini PLN baru menandatangani kontrak pengadaan batu bara untuk empat pembangkit besar, yakni PLTU Suralaya, Indramayu, Paiton, dan Labuan. Kontrak senilai Rp 40 triliun berjangka waktu 20 tahun.

Upaya PLN membangun pembangkit dengan dua variasi bahan bakar juga tak jalan. Pembangkit listrik tenaga gas uap Grati di Pasuruan dan Tambak Lorok, Semarang, akhirnya kembali membakar minyak karena pasokan gas seret. Bahkan pasokan gas juga bakal menyurut.

Salah satu pemasok gas utama PLN, BP West Java, sudah memberikan isyarat bahwa pengiriman gas tahun ini untuk PLTGU Tanjung Priok (1.300 megawatt) dan Muara Karang (1.200 megawatt) dipastikan hanya 135 juta kaki kubik per hari (mmscfd), turun dari saat ini 190 mmscfd. Pada 2009, suplai tinggal 100 mmscfd. Keduanya merupakan pemasok listrik andalan untuk Jakarta dan sekitarnya.

Pada musim kemarau, giliran pembangkit listrik tenaga air yang bermasalah karena volume air di sejumlah waduk berkurang drastis. Meski jumlah pembangkit hanya mencapai 8,6 persen dari total komposisi jumlah pembangkit yang ada, pembangkit tenaga air tetap memiliki peran penting dalam sistem jaringan listrik di Jawa Bali, juga untuk beberapa daerah terutama di Sumatera.

Fabby Tumiwa, Direktur Institut for Essential Service Reform, membenarkan bahwa apa yang terjadi sekarang merupakan akumulasi dari berbagai faktor. Dari sisi makro, kebijakan energi primer yang ada selama ini lebih berpihak ke produsen. Produksi komoditas tambang dan energi dipersilakan ekspor yang sebesar-besarnya demi devisa. Dari produksi batu bara 200 juta ton setiap tahun, 70 persen ludes untuk diekspor. "PLN tidak kebagian. Padahal tiap tahun butuh 30 juta ton."

Begitu pula kontrak gas jangka panjang lebih mengutamakan dijual ke luar. Harga pun dilepas ke pasar, sehingga perusahaan itu harus membeli mahal sesuai dengan harga pasar.

Masih di sisi makro, kata Fabby, subsidi listrik pun terus ditekan. Tahun lalu Rp 32,4 triliun, tahun ini dikurangi menjadi Rp 29,8 triliun. Tapi, dengan melonjaknya harga minyak hingga lebih dari US$ 100 per barel, subsidi membengkak menjadi Rp 65 triliun. Pemerintah hanya menyanggupi Rp 55 triliun. PLN sendiri, menurut Fabby, sebenarnya membutuhkan sekitar Rp 85 triliun, Rp 75 triliun di antaranya hanya untuk membeli bahan bakar minyak.

Sementara itu, harga jual listrik dipatok pemerintah. Perusahaan tak boleh seenaknya menentukan atau menaikkan tarif kendati biaya produksi naik berlipat-lipat. Pemerintah memang memberikan subsidi, tapi jumlahnya tak pernah cukup. "Kondisi ini menyulitkan PLN bergerak," kata Fabby.

Direktur Utama PLN Eddie Widiono juga mengakui, kondisi PLN memang terjepit atas bawah. Di hilir, PLN tak boleh menaikkan tarif, tapi subsidi terus dikurangi. Di hulu, PLN harus menghadapi pemasok energi primer yang harganya sudah dilepas ke mekanisme pasar. Perusahaan sudah menandatangani kontrak batu bara, tapi tidak punya posisi tawar yang kuat. Jika terjadi cuaca buruk, misalnya, produsen bisa saja menggunakan klausul force majeure atas keterlambatan pengiriman dan PLN tak bisa menuntut ganti rugi.

Sedangkan dari sisi mikro, Fabby menambahkan, investasi baru untuk pembangkit dan infrastruktur listrik sangat rendah. Dari pertumbuhan permintaan listrik 5 persen per tahun, dibutuhkan pembangkit baru 1.500 megawatt. Tapi tahun ini baru terpenuhi 60 megawatt, dan pertengahan tahun depan, jika sebagian dari proyek 10 ribu megawatt mulai beroperasi, baru akan ada penambahan 1.000 megawatt.

Rendahnya investasi, kata Fabby, karena di mata investor kredibilitas manajemen yang mengelola perusahaan listrik ini dinilai buruk. Apalagi dengan terjadinya pemadaman yang terus-menerus, citra PLN semakin buruk. Selain itu, kondisi pembangkit sangat memprihatinkan, karena manajemen perawatan sangat buruk. Tapi, ia mengakui, ini memang tak terlepas dari dana juga.

Selama tidak ada perubahan regulasi, Fabby menandaskan, pemadaman masih akan terus terjadi. Kejadian ini akan terus berulang hingga dua tahun ke depan. Malah frekuensinya bisa lebih sering. Menurut Eddie dan Muljo, proyek pembangkit batu bara 10 ribu megawatt harus segera diwujudkan. Regulasi menyeluruh yang menyangkit ketenagalistrikan dan industri energi primer harus diubah. Semua harus duduk bersama. Jika tak ada satu pun yang dilakukan, Eddie menegaskan, PLN akan terjun bebas.

Grace S. Gandhi

Pembangkit Bermasalah *

PLTU
Tanjung Jati
PLTU
Paiton PJB
PLTU
Cilacap
PLTG
Muara Tawar
PLTGU
Muara Karang
PLTU
Muara Karang
Kapasitas1.320 MW800 MW600 MW840 MW500 MW567 MW
Produksi Riil**250 MW500 MW160 MW140 MW147 MW305 MW

Sumber: PT PLN Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali*Per 27 Februari semua pembangkit sudah normal. **Posisi 21 Februari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus