Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak ada hari libur untuk membangun jaringan. Begitulah yang dilakukan Bakrie Telecom sepanjang semester II tahun lalu. Operator telepon tetap nirkabel berbendera Esia ini menggebrak 17 kota sekaligus setelah mendapatkan lisensi nasional. Seperti dikejar setan, mereka berlari kencang mengejar pesaing yang sudah berpesta-pora menikmati booming bisnis telekomunikasi ini. Dana Rp 2 triliun pun dikucurkan untuk memperluas jaringan tersebut pada tahun lalu.
Dalam sekejap, dominasi Telkom Flexi di pasar telepon tetap nirkabel nyaris tertandingi. Kini, pelanggan Esia tak hanya bisa berhalo-halo di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Mereka pun sudah bisa berkomunikasi dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera, hingga Makassar. ”Tahun lalu kami benar-benar sibuk,” ujar Rakhmat Junaidi, Direktur Korporasi Bakrie Telecom, pekan lalu.
Bakrie Telecom tak sendirian. Para pendatang baru yang lain, seperti Hutchison Telecom, Smart Telecom, hingga Sampoerna Telekom, turut menggairahkan pasar telekomunikasi. Operator telepon bergerak yang lama pun tak kalah gesit membangun jaringan baru. Telkom, Indosat, Excelcomindo juga mengucurkan duit triliunan rupiah agar tak disalip para pemain baru.
Telekomunikasi, tak bisa dipungkiri, menjadi ladang bisnis paling sedap pascakrisis ekonomi. Setiap tahun, jumlah pelanggan telepon seluler tumbuh lebih dari 30 persen. Kini pelanggan telepon seluler sudah mencapai 90 juta, berpuluh kali lipat dibandingkan pelanggan telepon tetap. Bahkan potensi pertumbuhan di masa datang masih besar karena padatnya penduduk Indonesia, serta gaya hidup sebagian masyarakat yang memiliki ponsel lebih dari satu.
Tak mengherankan jika komunikasi dan angkutan menjadi juara sektoral dengan pertumbuhan tertinggi, 14,38 persen pada 2007. Sumbangannya terhadap kue ekonomi nasional juga membesar. Untuk subsektor komunikasi saja, kontribusinya 0,87 persen dari total pertumbuhan nilai barang dan jasa nasional sebesar 6,3 persen pada tahun lalu.
Ini adalah kontribusi terbesar kedua setelah subsektor perdagangan besar dan eceran yang menyokong 1,24 persen total pertumbuhan ekonomi. Menjamurnya pembukaan pasar modern, swalayan, minimarket, juga hypermarket di berbagai daerah di penjuru Nusantara, tak bisa dipungkiri, membuat bisnis ini mengalami pertumbuhan dahsyat.
Sejumlah bidang usaha lain juga tak kalah melesat. Tengok saja sektor listrik, gas, dan air bersih yang tumbuh 10,4 persen. Itu ditandai dengan bertambahnya pembangkit listrik, pipa gas, dan meluasnya jaringan air bersih. Lantas, sektor konstruksi, yang marak dengan berlanjutnya pembangunan gedung-gedung pencakar langit, jalan tol hingga jembatan, tumbuh 8,6 persen.
Prestasi itu cukup membanggakan pemerintah, apalagi pertumbuhan ekonomi 2007 adalah yang tertinggi di era pascakrisis. Sayangnya, semua sektor yang tumbuh pesat bukanlah ladang bisnis yang menjanjikan lapangan kerja luas, karena mengandalkan teknologi dan padat modal. ”Akibatnya, jika dulu pertumbuhan ekonomi 1 persen bisa menyedot 400 ribu tenaga kerja, sekarang paling banter hanya 180 ribuan orang,” kata Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan.
Padahal, duet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Jusuf Kalla semasa kampanye dulu menjanjikan pengangguran dan kemiskinan akan dipangkas drastis saat pemerintahan mereka berakhir pada 2009. Pengangguran terbuka ditargetkan hanya enam persen dan kemiskinan tinggal delapan persen. Sampai akhir tahun lalu, pengangguran masih berkisar di angka 9,5 persen dan kemiskinan 16 persen.
Mengacu pada kondisi yang ada, harapan pemerintah tersebut tampaknya jauh panggang dari api. Jika hanya mengandalkan sektor telekomunikasi, listrik, dan konstruksi, sulit bagi pemerintah mengejar mimpi itu. Apa yang dilakukan Bakrie, misalnya. Meski mengucurkan Rp 2 triliun untuk jaringan, dipastikan tak banyak pekerja diserap oleh operator tersebut. ”Tetapi kan ada efek domino penciptaan peluang kerja baru, contohnya penjual voucher seluler,” Rakhmat berkilah.
Ceritanya akan lain jika yang berkembang pesat adalah sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, serta industri manufaktur. Di sektor industri manufaktur, misalnya, banyak sektor yang juga bisa menyerap banyak tenaga kerja seperti pabrik makanan, tekstil, pakaian, otomotif, elektronik, kertas, kulit dan turunannya, hingga industri kimia. Menurut Rusman, ladang bisnis ini menjanjikan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah jauh lebih besar.
Bandingkan saja, misalnya, dengan yang terjadi di bisnis kelapa sawit yang juga sama-sama sedang booming. Saat ini, banyak pengusaha berbondong-bondong terjun ke bisnis bahan baku minyak goreng tersebut. Untuk membangun seribu hektare lahan, mereka membutuhkan investasi Rp 20 miliar dan tenaga kerja yang diserap secara langsung bisa sampai 250 orang.
Jika investasi Bakrie digelontorkan di perkebunan kelapa sawit, duit itu bisa dipakai untuk membangun 100 ribu hektare lahan dan akan mempekerjakan 25 ribu orang. ”Itu belum termasuk pekerja tak langsung, seperti buruh angkutan, pelabuhan, atau pabrik minyak goreng,” kata Derom Bangun, Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.
Yang tak kalah penting, peranan sektor-sektor padat karya tadi sesungguhnya juga lumayan besar untuk mengatrol laju pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor industri, misalnya. Tahun lalu, meski cuma tumbuh 4,3 persen, sektor ini menyumbang 1,3 persen dari total pertumbuhan ekonomi nasional. Artinya, bila industri manufaktur bisa digenjot, ekonomi akan melesat. ”Pengangguran dan kemiskinan bisa turun tajam,” ujar Rusman.
Tengok saja Cina yang aktivitas ekonominya ditopang besar-besaran oleh industri manufaktur. Negeri yang ekonominya tumbuh rata-rata 10 persen per tahun itu mampu memangkas pengangguran dan kemiskinan secara signifikan. Tak mengherankan jika produk mainan, tekstil, pakaian, elektronik, alat-alat listrik, hingga buah-buahan made in Negeri Panda menyerbu dunia, termasuk mampir ke Indonesia.
Sayangnya, Indonesia tak seperti Cina. Meski juga memiliki potensi pasar yang besar, menurut ekonom Universitas Indonesia Ari Kuncoro, membangun industri di Indonesia dianggap tidak menguntungkan. Negeri ini menghadapi banyak kendala untuk menggenjot industri manufaktur. Ada masalah biaya tinggi, perizinan, aturan tenaga kerja nan tak kunjung jelas, infrastruktur yang buruk, hingga pelabuhan yang jauh dari memadai.
Itu sebabnya, Rusman mengungkapkan penilaian yang tajam. ”Pertumbuhan kue ekonomi nasional tidak berkualitas,” katanya. Selain tidak banyak yang bisa diandalkan untuk mengurangi pengangguran, pertumbuhan Indonesia juga timpang. Soalnya, kue pendapatan sebagai hasil dari perbaikan ekonomi itu tak bisa dicicipi secara merata oleh penduduk Indonesia.
Menurut sejumlah analis, kue ekonomi yang membesar itu hanya dinikmati oleh kalangan menengah dan atas yang mempunyai akses terhadap modal, pendidikan, dan pelatihan. Sedangkan mereka yang miskin tak punya modal dan menganggur tetap saja terpinggirkan. Mereka tak mampu bersaing memperebutkan lowongan kerja yang menetapkan persyaratan ketat.
Yang lebih ironis lagi, si miskin terpukul dua kali. Menurut Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, kalangan kelas bawah bukan saja tak kebagian kue pertumbuhan ekonomi. Mereka yang hidupnya pas-pasan itu kini juga menjadi bulan-bulanan kenaikan harga barang-barang pokok yang berlanjut seolah tanpa henti.
Lihat saja pada triwulan IV 2007, harga barang-barang pokok semakin melejit. Bukan cuma beras, tapi juga kedelai, jagung, minyak goreng, dan tepung terigu. Bahkan kenaikan harga beras yang semestinya bisa diantisipasi oleh Bulog karena diberi kewenangan mengimpor, juga tak bisa direm. ”Jangan heran jika kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kian merosot,” katanya.
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo