GAMBAR itu sangat terperinci: sebuah gedung berlantai empat di sebuah jalan utama di Semarang, Jawa Tengah. Di bagian dalam, ada ruang tunggu, loket, ruang direktur, juga toilet untuk membuang hajat. Di halaman, tampak pos satpam dan tujuh mesin ATM—dua dekat pintu masuk dan lima lainnya di sisi kanan gedung. Dilukis dengan spidol, dengan guratan tangan yang kuat, sketsa sebuah bank swasta itu dibuat rapi lagi teliti.
Tapi jangan salah. Itu bukanlah karya rancangan seorang arsitek. Gambar itu dibikin seorang bernama Mahmudi alias Yusuf, yang tak lain merupakan tersangka pemilik bahan peledak yang dibekuk polisi setelah mereka menggerebek sebuah rumah kontrakan di Taman Sri Rejeki, Kali Banteng, Semarang, 11 Juli lalu. Yusuf dibekuk bersama tiga kawannya, yaitu Luluk Sumarsono, Heru Setiawan, dan Siswanto alias Antok.
Orang-orang ini, kata polisi, adalah anggota Jamaah Islamiyah (JI), sebuah organisasi yang digolongkan jaringan teroris oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang telah menebar maut di sejumlah tempat. Neraka di Legian, Bali, yang genap diperingati setahun tanggal 12 Oktober kemarin, dan petaka Hotel JW Marriott, Jakarta, pada 5 Agustus lalu, disimpulkan aparat sebagai hasil operasi kelompok ini.
Untuk menebar maut, anggota JI diyakini juga kerap menggelar serangkaian aksi perampokan. Bank di sketsa tersebut adalah salah satu target operasi mereka. Tak lain, duitnya akan digunakan buat mendanai aksi teror mereka.
Rencana jahat itu memang dapat dibongkar polisi. Sejumlah pentolan dan kader JI seperti Imam Samudra, Muchlas alias Ali Gufron, Amrozi, Mas Slamet Bin Kastari—pimpinan JI Singapura—dan ratusan lainnya telah dibekuk aparat. Beberapa di antaranya bahkan telah divonis mati oleh mahkamah. Namun, satu hal yang jelas, organisasi JI belumlah tamat.
Laporan International Crisis Group (ICG) yang dirilis 26 Agustus kemarin menyimpulkan, ”Jamaah Islamiyah, organisasi teroris Asia Tenggara yang berbasis di Indonesia, masihlah aktif dan berbahaya.... Meski lebih dari 200 orang yang terkait atau dicurigai terkait dengannya telah dibui di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina, JI jauh dari hancur. Polisi Indonesia dan kolega internasionalnya memang telah berhasil menimbulkan kerusakan serius pada jaringannya, tapi pengeboman Hotel JW Marriott menjadi bukti nyata bahwa JI masih memiliki kemampuan merencanakan dan menggelar operasi penting di kawasan perkotaan yang luas.”
Mantan Ketua Tim Investigasi Bom Bali yang kini menjabat Kepala Kepolisian Daerah Bali, Inspektur Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika, pun telah mewanti-wanti bahwa aksi teror JI sangat mungkin menggelegar lagi. ”Bisa terjadi kapan saja, di mana saja,” katanya. Penyebabnya sederhana. Banyak pentolan JI yang masih berkeliaran di udara bebas, hingga kini. Di antaranya adalah dua master bom, Dulmatin dan Doktor Azahari, serta Zulkarnaen sang panglima militer yang ahli siasat perang.
Peringatan senada disuarakan Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai, Kepala Desk Anti-Teror Kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Ia memberi satu indikasi. Dari hasil penyidikan di lapangan, aparat keras menduga bahwa bom yang mengguncang Marriott hanyalah satu dari tiga peledak yang dirakit sel JI Semarang. ”Kalau itu benar, berarti setidaknya masih ada dua bom berkekuatan besar yang bisa setiap saat mereka gunakan,” kata Ansyaad.
”Mereka masih punya persediaan banyak bom dan semakin pintar bermain,” Jenderal Pastika menambahkan.
Pastika tak asal bicara. Dari hasil penggerebekan di rumah Semarang itu saja, pihak yang berwajib menyita berkarung-karung persediaan bahan baku bom. Di situ polisi menemukan 1.000 lebih detonator non-elektronik, 25 detonator elektronik, 30 karung potasium klorat masing-masing berisi 30 kilogram, puluhan ribu peluru dari berbagai jenis, alat perakit bom, tabung reaksi, dan sumbu api.
Jika dirakit sekaligus, kata Kepala Kepolisian Jawa Tengah Inspektur Jenderal Didi Widayadi, bahan adonan bom paket komplet ini berdaya ledak empat kali lipat dari bom Bali. Untuk diingat, horor di Kuta telah membantai sekitar 200 orang dan melukai ratusan lainnya.
Terungkap dari hasil pemeriksaan terhadap sejumlah tersangka, barang laknat di Semarang itu adalah kepunyaan seorang bernama Mustofa. Tak lain, dia adalah Ketua Mantiqi III—yang antara lain membawahkan wilayah Sulawesi dan Filipina—dalam jaringan JI. Mustofa juga disebut-sebut sebagai Komandan Laskar Istimata alias pasukan berani mati.
Mustofa dan bom-bom itu merupakan kombinasi yang merindingkan bulu roma. Kini meringkuk di bui Kepolisian Metro Jaya, ia mengaku bahwa pasukan berani mati yang dipimpinnya sudah ”teken kontrak” untuk melakukan serangkaian aksi bom bunuh diri. Jumlahnya 12 orang. Semua siap sedia meledakkan diri di berbagai tempat di Indonesia, kapan saja. Asmar Latin Sani adalah salah satu yang telah membuktikan tekadnya di Marriott.
Menurut Kepala Kepolisian Metro Jaya, Inspektur Jenderal Makbul Padmanegara, selain Marriott, Mustofa ternyata telah menetapkan sejumlah sasaran lain. Targetnya bermacam-macam, mulai dari gereja, bank, rumah pribadi, hingga pusat perbelanjaan.
Dalam ”Dokumen Semarang”, misalnya, kata seorang polisi, terlihat jelas komplotan ini mengincar beberapa gereja di Semarang, Jakarta, Surabaya, dan Medan untuk dijadikan neraka berikutnya. Selain itu masih ada lagi daftar sejumlah bank untuk diledakkan, plus rumah dokter-dokter kaya untuk dirampok.
Harian The Sunday Times dari Singapura belum lama ini menulis bahwa jaringan itu juga sedang mengincar berbagai hotel di kota-kota besar Indonesia yang kerap ditongkrongi orang asing. Waktunya sudah dipatok: akhir tahun ini.
Bukan cuma hunian bule, kantor aparat pun masuk dalam target. ”Mereka telah mensurvei Markas Besar Kepolisian RI dan Kepolisian Daerah Metro Jaya,” kata Komisaris Jenderal Erwin Mappaseng, Kepala Badan Reserse Kepolisian RI, mengutip keterangan beberapa tahanannya.
Benarkah? Para tersangka sendiri menolak segala tuduhan itu. Siswanto alias Antok, yang mengaku membuat tiga buah timer seukuran kotak sabun, bilang bahwa ia membuat peranti itu semata karena dipesan Mustofa, bukan untuk keperluan merakit bom, melainkan untuk alat elektronik rumah tangga seperti lemari es.
Heru Setiawan, yang ditahan setelah penggerebekan Semarang, juga menyangkal. ”Saya baru tahu bahwa yang ada dalam bungkusan itu adalah bahan peledak setelah ditahan polisi,” katanya.
Yang lain pun menyatakan tak tahu-menahu ihwal berbagai bahan peledak dan dokumen rencana operasi JI yang ditemukan polisi di rumah kontrakan di Taman Sri Rejeki itu. Mereka mengaku sebatas tahu bahwa barang-barang itu kepunyaan Mustofa. ”Mereka tak pernah menyentuhnya,” kata Sasongko, pengacara para tersangka.
Ribuan mil dari Semarang, sebuah kabar heboh lain muncul. Dua pekan lalu, majalah Time merilis ”bocoran” hasil interogasi aparat intelijen AS dengan Riduan Isamuddin alias Hambali, yang konon ditahan di pangkalan militer AS di Diego Gracia, sebuah pulau terpencil di tengah Samudra Hindia. Ditulis mingguan itu, salah satu pimpinan terpenting JI yang lahir di Pamokolan, Cianjur, Jawa Barat, itu telah membuat pengakuan penting, bahwa setelah pengeboman Bali dan Marriott, jaringannya membidik sejumlah sasaran strategis lain seperti gedung Kedutaan Besar Inggris dan AS di Bangkok, klub-klub malam di Thailand, serta pusat bisnis Makati di Manila, Filipina. Hambali juga menyebutkan target-target Yahudi sebagai prioritas utama. Masuk daftar itu antara lain Kedutaan Israel dan sinagog (rumah ibadat Yahudi) di Manila.
Time juga menulis, kepada aparat yang memeriksanya, Hambali berkisah bahwa Al-Qaidah amat puas dengan hasil bom Bali. Itu sebabnya, organisasi itu lalu mengirim dana US$ 100 ribu. Dari jumlah itu, US$ 45 ribu diperuntukkan bagi jaringan JI di Indonesia, US$ 15 ribu untuk keluarga para pelaku, dan US$ 30 ribu sisanya untuk mendanai serangan-serangan baru.
Benar-tidaknya kabar ini memang sulit diuji kesahihannya. Soalnya, jangankan ditemui wartawan, utusan resmi pemerintah Indonesia saja hingga kini tak kunjung dipertemukan dengan Hambali. Mungkin karena itu aparat Kepolisian RI tak buru-buru menarik kesimpulan. ”Kita percaya Hambali ditangkap di Thailand, tapi hasil pemeriksaan mereka cukup dijadikan informasi saja,” kata juru bicara Kepolisian RI, Komisaris Besar Zainuri Lubis, menanggapi artikel Time.
Buat menangkal ancaman teror di hadapan kita, kiranya patut disimak pendapat Sidney Jones, Direktur International Crisis Group (ICG) Indonesia: Abang Sam ada baiknya belajar dari pemerintah Indonesia dalam menggelar pengadilan terbuka buat para tersangka teroris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini