Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tidak Soeharto, Fulus pun Jadi

Pemerintah sudah mengendapkan perkara mantan presiden Soeharto, tapi pengusutan harta kekayaan Soeharto masih berlanjut. Kejaksaan Agung bersiap menelusuri duit di tujuh yayasan milik penguasa Orde Baru ini. Kini yayasan-yayasan itu masih dipegang kroni-kroninya. Ke mana aliran keluar-masuk duit di tujuh yayasan tersebut? Bagaimana dana itu dikelola?

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

head0913.jpg
Perbesar
head0913.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

RAPAT itu berlangsung tiga jam. Dipimpin Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, pertemuan Rabu pekan lalu itu dihadiri semua petinggi Kejaksaan Agung. Sa-lah satu agendanya adalah mencari jalan mengambil alih yayasan Soeharto. Setelah gagal (atau ogah-ogahan?) menyeret penguasa Orde Baru itu ke peng-adilan pidana karena kesehatannya dianggap tak memenuhi syarat, kini jalur perdata yang akan ditempuh kejaksaan. Di pengadilan yang terakhir ini, Soeharto tidak bisa mangkir. Ia memang tak diwajibkan hadir dalam ruang sidang. Setelah ia mangkat, perkarannya bisa dialihkan ke ahli waris atau peng-urus yayasan yang lain (lihat wawancara dengan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, ”Orang Hanya Tahu Sebagian Sandirwara Ini”). ”Kami barusan membentuk tim khusus,” kata Arman—begitu Jaksa Agung biasa disapa—kepada Tempo. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Alex Sato Bya, ditugaskan menyiapkan gugatan perdata. Alex kini sibuk menelisik lalu lintas dana tujuh yayasan itu.

Kejaksaan Agung sesungguhnya sudah memberkas kasus ini. Tapi penguasa Orde Baru itu jatuh sakit begitu hendak diseret ke pengadilan. Berkas dakwaan Kejaksaan Agung yang diperoleh Tempo menunjukkan bagaimana rupa-rupa cara pengumpulan uang, juga ke mana uang itu mengalir. Hingga ak-hir 1999 total kekayaan semua yayasan, m-asya Allah, sekitar Rp 7,5 triliun.

Fulus menggunung yayasan-yayasan itu disedot dari berbagai sumber: uang masyarakat, kocek para taipan, laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), juga setoran bank pelat merah.

Lihatlah apa yang terjadi dengan Ya-yasan Supersemar, sebuah lembaga yang ditujukan untuk memajukan pendidik-an. Didirikan pada 16 Mei 1974, modal awal cuma sepuluh juta. Tapi Soeharto cerdik mengumpulkan uang: sejumlah perusahaan swasta, masyarakat dan pemerintah diminta menjadi Sinterklas yayasan ini. Dari cara ini saja uang terkumpul sekitar Rp 1,2 triliun.

Soeharto juga mengeluarkan Peratur-an Pemerintah Nomor 15 pada 23 April 1976. Isinya memerintahkan sejumlah bank pelat merah menyumbang sisa la-ba bersih ke yayasan. Berkat keputus-an sakti itu pundi yayasan terisi sekitar Rp 309 miliar. Surat dakwaan Kejaksaan Agung menunjukkan hingga 31 Juli 1999 pundi Supersemar melambung hingga Rp 1,5 triliun.

Mestinya fulus segunung itu untuk tujuan sosial yayasan. Faktanya tidak. Pada 1990, Soeharto menerbitkan Surat Perintah Mengeluarkan Uang (SPMU) kepada Ali Affandi, bendahara Supersemar.

Ali diperintahkan menyetor uang ke PT Kiani Sakti, PT Kiani Lestari dan PT Nusamba. Tiga perusahaan itu milik Bob Hasan, bekas Menteri Kehutan-an sekaligus sohib kental Soeharto. Sebagian uang juga mengalir ke saku Sempati Air, perusahaan penerbangan Tommy, anak Soeharto.

Dikelola dengan semangat ”anak manja”, walau disuntik fulus segunung, sejumlah perusahaan itu malah sekarat. Setelah Soeharto tersungkur pada 21 Mei 1998, beberapa perusahaan itu ikut ambruk. Sempati Air divonis pai-lit Mahkamah Agung, Agustus 1999. Uang Rp 19 miliar milik Supersemar yang ditanam di situ ikut musnah.

Nasib apes juga menimpa Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais). Yayasan ini bergerak di bidang kesehatan. Hingga 31 Juli 1999, hartanya sekitar Rp 1,5 triliun. Atas perintah Soeharto yayasan ini menanam uang di Sempati Air. Uang itu ”ke laut” setelah perusahaan penerbangan itu tersungkur.

Yayasan Dana Abadi Karya Bha-kti (Dakab) tertimpa nasib serupa. Pada 14 September 1995, Bob Hasan me-ngirim surat kepada Soeharto, meminta dana untuk PT Kiani Keras, pabrik kertas milik Bob. Yayasan lalu menyetor Rp 150 miliar sebagai penyertaan modal.

Tapi sinar Bob Hasan redup bersama jatuhnya Soeharto. Bank Umum Nasio-nal (BUN) miliknya dibekukan peme-rintah. Sejumlah perusahaan yang menikmati dana yayasan itu lalu diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai jaminan.

Dari semua yayasan Soeharto ini, Ya-yasan Dana Sejahtera Mandiri paling gendut pundinya. Hingga 31 Juli 1999, brankas yayasan ini membubung ke bilangan Rp 4,9 triliun. Selain dikumpul dari sejumlah perusahaan, yayasan ini juga menerima Rp 300 miliar dana proyek tabungan kesejahteraan rakyat.

Sebagian dana ditanam di sejumlah bank milik anak-anak Soeharto. Sekitar Rp 112 miliar ditanam di Bank Andromeda milik Bambang Trihatmo-djo. Bank ini tersungkur pada November 1997. Sekitar Rp 330 miliar ditanam di Bank Alfa, milik anak Soeharto juga. Maret 1999, pemerintah membekukan bank itu. Modal yayasan ikut modar.

Juan Felix Tampubolon, kuasa hukum Soeharto, membantah berkas dakwaan itu. Semua tuduhan jaksa itu, katanya, belum dibuktikan di pengadilan. Jadi, ”Semuanya masih khayalan,” katanya. Tapi sejumlah petinggi yaya-san mengaku uang yang ditanam di sejumlah perusahaan memang tak kembali karena perusahaan-perusahaan itu bangkrut. ”Tapi itu risiko bisnis,” kata Soebagyo, bendahara Yayasan Supersemar.

v v v

BABAK belur begitu rupa, pundi sejumlah yayasan tetap saja berlimpah. Harta itu kini ngendon sejumlah per-usahaan raksasa, dipakai membangun gedung menjulang serta ngendon di sejumlah bank.

Yayasan Supersemar, misalnya, mengendapkan Rp 234 miliar di Bank Danamon. Jumlah itu masih utuh. Cuma bunganya saja yang disedot menyantuni penerima beasiswa.

Semula dana itu nong-krong di Bank Duta. Sesudah Bank itu tersungkur, f-ulus yayasan pindah ke Bank Danamon, yang belakangan se-karat dan dirawat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Ketika menyidik Soeharto, Kejaksaan Agung memanggil mantan peting-gi Bank Duta sebagai saksi. Berdasarkan ketera-ngan pe-tinggi itu, Kejaksaan Agung memerintahkan BPPN memblokir rekening Super-se-mar di Danamon. Ikut pula diblokir dana Yayasan Dharmais sebesar Rp 30 miliar dan dana Dakab Rp 135 mi-liar. Pengurus yayasan protes keras.

Atas permintaan pengurus yayasan, Menteri Sekreta-ris Negara era Megawati Soe-karnoputri, Bambang Kesowo, ”Memerintahkan BPPN mencair kembali dana-dana itu,” kata Soebagyo. Perintah itu tertuang dalam surat Bambang Kesowo kepada BPPN April 2004.

Selain Danamon, uang yayasan itu juga berdiam di sejumlah bank dengan bunga deposito yang terus mengalir. Supersemar juga menanam uang di sejumlah perusahaan raksasa seperti Indoncement, Indosat, dan deposito syariah Bank Muamalat.

Supersemar, kata Soebagyo, ”Rutin menerima dividen dari sejumlah per-usahaan itu.” Selain menanam uang di mana-mana, yayasan ini memiliki sejumlah aset. Bersama sejumlah yaya-san lainnya, Supersemar mendirikan PT Graha Dana Mandiri (Granadi) yang mengelola gedung Granadi di Kuni-ngan, Jakarta Selatan.

Soebagyo membantah dakwaan kejaksaan yang mencatat harta Supersemar hingga 1999 mencapai Rp 1,5 triliun. ”Paling sekitar Rp 600 miliar,” kata-nya. Bantahan serupa juga datang dari Haryono Suyono. Harta Danamandiri, katanya, cuma sekitar Rp 1,2 triliun.

Semua duit itu kini disimpan di sejumlah Bank Pembangunan Daerah (BPD). Lewat bank-bank itu uang disa-lurkan kepada masyarakat berupa bantuan pendidikan dan kredit kepada masyarakat.

Anehnya, walau dikumpulkan dari per-usahaan pelat merah, pemerintah pas-ca-Soeharto sama sekali tidak punya hak kendali atas harta yayasan. Hingga kini kunci brankas masih dipegang anak buah Soeharto.

v v v

Sebetulnya Soeharto sempat menyerahkan pengelolaan yayasan itu kepada pemerintah. Beberapa hari se-sudah lengser ia membuat nota tak resmi soal pengelolaan yayasan itu kepada presiden yang baru, B.J. Habibie.

Berbekal surat itu, Habibie lalu me-merintahkan Haryono Suyono, Men-teri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang juga pengurus Danamandiri, menyusun draf keputusan presiden.

Sumber Tempo menuturkan ba-hwa Haryono menyusun keputusan yang aneh. Rancangan keputusan itu berbu-nyi: pengelolaan yayasan diserahkan kepada Menko Kesra, yakni Haryono sen-diri. Habibie yang tak setuju membu-buhi kata ex officio di depan nama Haryo-no. Artinya, siapa pun Menko Kesra, dialah yang mengelola dana-dana itu.

Keputusan yang tertuang dalam Keppres Nomor 195/1998 itu juga menunjuk Menko Kesra menentukan profesio-nal pengelola yayasan. Tapi Haryono tidak mengubah pengelola yayasan. Artinya, Soeharto masih resmi se-ba-gai ketua pengelola semua yayasan.

Habibie kemudian digantikan Abdurrahman Wahid. Menko Kesra berpindah dari Har-yono kepada Hamzah Haz. Tapi pengelolaan yaya-san tetap saja di tangan Har-yono Suyono.

Padahal, sejumlah menteri bidang sosial Abdurrahman Wahid ketika itu pontang-panting cari uang. Khofifah Indarparawansa, Menteri Pem-berdayaan Perempuan, misalnya, sempat u-ringuringan karena tak puny-a uang membantu korban bencana alam. Ibu Menteri ini terpaksa ke sana-kemari meminta saweran dari aktivis perempuan.

Di tengah kepusingan itu, Khofifah menerima setumpuk dokumen mengenai pe-ngelolaan yayasan Soeharto dari seorang karyawan yayasan. Khofifah kemudian menyodorkan dokumen dalam sebuah rapat kabinet.

Presiden Abdurrahman la-lu memerintahkan Menko Kesra mengambil alih yaya-san-yayasan itu. Tapi hingga Abdurrahman jatuh dari kursi pre-siden, bahkan hingga hari ini, pengelola yayasan masih di tangan anak buah Soeharto.

Cerita lain tentang pengelolaan yaya-san datang dari Soebagyo, bendahara Supersemar. Katanya, setelah Soeharto lengser, kendali seluruh yayasan dipegang bekas wakil presiden Sudharmono. Sesudah mantan wakil presiden itu wafat, kendali dikembalikan kepada Soeharto. ”Kami masih memberikan laporan kepada Pak Harto,” kata Soe-bagyo. Tapi ia membantah kalau peme-rintah tak mengetahui pengelolaan harta yayasan. Katanya, ”Kami rutin memberi laporan kepada pemerintah.”

Cerita mana yang benar? Wallahu a’lam. Yang pasti duit segunung itulah yang kini sedang dibidik Jaksa Agung Abdul Rahman. Jalan tampaknya tak mulus. Seperti orang hendak berburu, kerja kejaksaan baru sampai tahap menyiapkan senapan dan amunisi. Bukan tak mungkin buruan sudah melesat di balik bukit.

Wenseslaus Manggut, Purwanto, Eduardus Karel Dewanto (Jakarta), Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus